x

Iklan

Yudel Neno

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menjadi Mahasiswa Panca Solusi

Menjadi mahasiswa serba kritis adalah tuntutan utama untuk zaman serba modern ini

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

oleh

Fr. Yanerius Manek

Mahasiswa Semester Satu pada Fakultas Filsafat Unwira Kupang

 

 

Salam

Yang saya hormati

Yang saya hormati

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Pertama-tama, mari kita lantunkan syukur kepada Tuhan yang Mahakuasa atas berkat dan perlindungan-Nya kepada kita semua hingga saat ini kita semua tetap dalam keadaan sehat dan selamat.

          Dalam lindungan Sang Mahakuasa, saya akan membawa anda sekalian untuk berkutat secara intelektual dan nasionalis dalam terang judul pidato saya ; Menjadi Mahasiswa Panca Solusi.

 

Hadirin yang saya hormati!

Presiden pertama Republik Indonesia; Ir. Soekarno pernah mengatakan; berikan padaku seorang anak muda maka aku akan menghancurkan  bukit di seberang sana, dan bila kau berikan sepuluh anak muda maka aku akan ubah wajah dunia”. Ungkapan ini menegaskan kepada kita tentang pentingnya peranan kaum muda bagi kemajuan bangsa tercinta ini. Kaum muda sebagai kaum intelektual, kekuatannya ada pada daya berpikir kritis, analitis dan komperehensif. Atas cara ini,  kaum muda mampu memainkan peranannya sebagai agen perubahan yang mampu mengkritisi hajatan politik yang terkesan carut-marut disebabkan oleh berbagai strategi politik yang lemah aspek humanitasnya.

Sebagai tulang punggung bangsa ini, kita perlu mencermati realita dunia perpolitikan dewasa ini. Mentalitas kaum muda mesti ditegakkan; nurani kita sebagai mahasiswa mesti dimurnikan. Agar kelak, bangsa ini berlaksa-laksa karena kekayaan muda-mudi yang berbudi luhur dan berhati mulia. Sebagaimana tertera dalam salah satu lagu wajib nasional, Bangun Pemuda-Pemudi,  mari kita satukan tekad dan komitmen “masa yang akan datang kewajibanmulah menjadi tanggunganmu terhadap nusa”. Atas nama tanggung jawab ini, sebagai mahasiswa, keterlibatan kita tidaklah lengkap jika hanya terbatas pada lingkup aktivitas kampus tetapi berusaha agar ilmu pengetahuan yang kita dapatkan menemukan konteks aplikasinya dalam realitas sosial masyarakat dengan aneka problematikanya seperti apa yang ditandaskan oleh Filsuf Raul Raimon Pooper, “Kita bukan mahasiswa beberapa mata kuliah tetapi mahasiswa persoalan-persoalan”.

 

Hadirin yang saya hormati!

      Situasi perpolitikan bangsa kita dewasa ini,  boleh dikatakan telah masuk dalam lingkaran yang menyedihkan bahkan menyengsarakan. Berbagai praktik ketidakadilan merasuk masuk dan merusaki sendi-sendi luhur politik. Maraknya politik identitas, politisasi agama, money politic, hoax, KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) dan permasalan sosial lainnya ketika berjumpa dengan lemahnya etika dan rationalitas politik akhirnya bermuara pada mentalitas hedonistik, konsumeristik, dan materialistis. Mentalitas seperti ini mengakibatkan suatu tantangan baru  yakni minimnya integritas setiap pribadi manusia.

Melihat realita ini, tentunya sangat disayangkan kalau  kita; kaum muda duduk diam, berpangku tangan apalagi cenderung terlibat secara diam-diam menyuburkan praktek ketidakadilan ini. Jean Francoys Lyotard (seorang Filsuf Prancis kontemporer) mengatakan demikian,” Yang membedakan kaum muda sebagai kaum intelektual  dan kelompok masyarakat lainnya terletak pada modalitas intelektual yang dimiliki kaum muda sehingga masyarakat mengharapkan bahwa mereka memiliki kemampuan untuk memisahkan benar-salah, rasional-irasional, asli-palsu, moral-imoral”. Namun fakta menunjuk lain. Banyak kaum muda lebih terpesona dengan situasi hura-hura semata, ikut arus dalam berbagai tindakan kriminal. Pertanyaannya; di tengah mentalitas seperti ini, layakkah kaum muda masih menyebut diri sebagai tulang punggung bangsa?

 

Hadirin yang saya hormati!

Manusia adalah zoon politicon; makhluk politik, demikian kata Filsuf Aristoteles. Sebagia makhluk politik, setiap kita berjuang untuk mencapai kesejahteraan bersama. Perjuangan politik ini, diakomodir secara lebih tegas melalui partai-partai politik. UU nomor 2 tahun 2008  mendefenisikan partai politik sebagai organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga Negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik masyarakat, bangsa dan negara serta memlihara keutuhan  Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Republik Indonesia tahun 1945.

Berkaca pada pengertian ini, muncul pertanyaan dalam benak saya dan mungkin juga kita semua; apakah betul partai politik bangsa kita selama ini berjalan sesuai fungsi dan tujuannya sesuai pengertian di atas?  Saya yakin kita cukup kesulitan untuk memberi sebuah jawaban yang realistis terhadap pertanyaan ini. Mengapa? sebab seringkali mulut tak seiring dengan laku. Pertarungan politik bangsa ini lebih membawa keuntungan bagi mereka yang kuat, kaya dan berkuasa. Atas konspirasi mereka,  yang tuan tetap menjadi tuan bagi mereka yang lemah, miskin dan terlantar dan sebagainya, padahal mereka yang disematkan tuan adalah mereka yang tahu dan mengerti tentang apa itu demokrasi yakni pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Di sinilah, banyak kali konspirasi kepentingan kaum elite politik kita memasung hak politik rakyat. Para elit politik akhirnya dinilai membutakan demokrasi itu sendiri atas cara-cara amoral yang mereka halalkan dalam meraih kemenangan politik.

 

Hadirin yang saya hormati!

Sebagai mahasiswa; kaum muda yang berintelektual; tulang punggung bangsa tercinta ini, mari kita bergandengan tangan, bersatu dan berjuang bersama, bulatkan tekad untuk mengkritisi dan mengubah sandiwara perpolitikan ini. Sebagai kaum muda, tentu kita tidak mau terulang kembali sistem politik orde lama dan orde baru. Untuk itu, saya menawarkan panca solusi dalam terang pemikiran kritis filosofis.

Yang pertama ; Mari kita mengemas kembali semangat para mahasiswa dalam perjuangan politik yang melakukan TRITURA (tiga tuntutan rakyat) untuk memperbaiki kesengsaraan, kemelaratan, dan kegelisahan rakyat akibat konspirasi politik yang melahap begitu gencarnya nasib rakyat. Mari kita menanamkan semangat reformasi yang sesungguhnya dan meninggalkan masa orde baru yang otoritarian, yang seringkali dimainkan dengan halus pada zaman kita.

Yang kedua; Mempelajari perilaku elit politik yang tidak populis. Sebagai kaum muda, tugas kita ialah menanamkan semangat nasionalis, berjiwa patriotis, menekuni pendidikan politik agar dengan itu kita dibantu untuk menyusun suatu strategi baru bercorak transformatif demi menemukan akar masalah dan mengatasi berbagai kekurangan yang tengah melanda bangsa kita yang tercinta ini.

Yang ketiga; Sebagai mahasiswa, kepekaan kita tidak perlu kita tunjukkan melalui sikap bringas, agresif yang bermuara pada kerusakan fasilitas negara dan bahkan menelan korban nyawa untuk memperjuangkan kebenaran politik. Di tengah perhelatan politik yang chaos, kita tidak perlu memperparah situasi dengan menimbulkan suatu chaos baru. Mari kita benahi pola pikir kita, mantapkan hati nurani kita, tegakkan semangat nasionalis kita, rumuskan visi-misi yang transformatif untuk membangun bangsa ini.

Yang keempat; Mari kita galakkan semangat tahu diri, sadar diri dan tanamkan sikap patriotisme untuk menghidupi kembali hakikat politik sebagai usaha untuk mencapai kesejahteraan bersama bukan untuk kepentingan segelintir orang saja.

Yang kelima; Agere sequitur esse ; Cara bertindak menurut cara berada. Sebagai mahasiswa, tugas kita ialah berpikir kritis untuk mencermati segala fenomena sosial termasuk politik. Dalam terang pemikiran kritis, kita pun harus mampu melahirkan sikap dan tindakan kritis yakni  memilih yang baik dan mengindari yang jahat. Ibarat seorang pioner sepak bola kaki, ia disebut hebat karena tekniknya memainkan bola, demikian juga sebagai mahasiswa, kita pun patut bertindak dengan teknik-teknik kritis ala akademik.

 

Hadirin yang saya hormati!

Sebagia mahasiswa, kita tidak perlu menjadi anggota partai politik untuk memperjuangkan politik yang baik. Kita tidak perlu menjadi pemimpin birokrasi untuk melahirkan melahirkan birokrasi yang bersih. Mari kita satukan tekad, murnikan motivasi, tinggikan Sang Saka Merah Putih. Merah pertanda berani; putih pertanda suci dan murni. Itulah Indonesia.

Mari kita bermitra menuju Indonesia yang lebih baik. Akhirnya kalau ada kata yang kurang berkenan saya mohon maaf.

 

Sekian dan terima kasih

 

Pidato ini dibawakan dalam rangka momen final PISMA 2 (Pekan Ilmiah Seni Mahasiswa) Unwira Kupang

Aula Unwira, Kamis, 25/10/18

Peserta berhasil keluar sebagai juara III dari lima konstestan

 

Penulis : Fr. Yaner Manek

Editor : Yudel Neno

Ikuti tulisan menarik Yudel Neno lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB