Ketika sumpah pemuda, dulu, di manakah paralansia?
Mereka sedang siaga di depan mushala
Subuh baru berakhir, dan mereka
berdoa. Dilepasnya kata
sebagai senjata.
Ketika sumpah pemuda, dulu, di manakah paralansia?
Mereka sedang khusu berdzikir, dan berfikir
Sadar tidak ada yang bisa menolak takdir
Usia tidak bisa dipilintir. Maka supir
Memang harus bergilir.
Ketika sumpah pemuda, dulu, di manakah paralansia?
Mereka sedang menarik ketat ikat sorban
Dilepasnya dengan sebuah keyakinan
Tentang sebuah masa depan
Yang harus diwariskan
Ketika sumpah pemuda, dulu, di manakah paralansia?
Mereka sedang khidmat menepi ke dalam diri
Menggeser ke titik tengah posisi hati
Dorong ke depan para pengganti
Persilakan harapan berlari
Ketika sumpah pemuda, dulu, di manakah paralansia?
Mereka sedang gagah dan garang berjuang
Mengalahkan diri yang bimbang
Keraguan pada yang datang
Remaja di pintu gerbang
Jika akhirnya, kini, pemuda mesti bersumpah kembali
Sejatinya orang tua juga berjanji
Untuk tidak terus ngotot berdiri
Menjadi penguasa di hulu negeri
Beralibi menjadi sang pengabdi
Nyatanya ngurusi ambisi pribadi
Bukankah tidak bisa disingkahi
Tua dan jadi lemah itu kodrati
Ini bukan perkara ajal dan mati
Tapi, ikhwal otot paha dan kaki
Tentu, itu hanya bisa dipahami
Oleh ia yang cakap mengaji diri
Ketika sumpah pemuda, hari ini
Sejatinya negara-bangsa
telah dewasa!
Jakarta-Bandung/Argoparahiangan/27/10/18
Ikuti tulisan menarik Acep Iwan Saidi lainnya di sini.