x

Iklan


Bergabung Sejak: 1 Januari 1970

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Sentimen Bahasa Politik; Gaya Licik Orang Politik

Bahasa politik makin dipenuhi sentimen; diracik dari perasaan yang berlebihan. Bisa jadi, inilah gaya licik orang politik.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

SENTIMEN BAHASA POLITIK

 

Siapa yang gak kenal istilah #2019GantiPresiden yang dilawan #2019DuaPeriode. Belum lagi istilah “Cebongers” lalu dilanjutkan “Tahun 2030 Indonesia Bubar” hingga datang “Stuntman Pencitraan” yang menjadi sebab kebohongan “muka bengkak katanya dianiaya padahal bedah plastik” sehingga membuat “99% orang Indonesia hidup sangat pas-pasan” yang jadi sebab “tempe setipis ATM” dan akhirnya muncullah “Politikus Sontoloyo”. Terlepas dari siapa yang ngomong begitu. Tapi sebagian bilang itu kata-kata “suci” sebagain lagi bilang itu kata-kata “kotor”.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Sentimen Bahasa Politik, telah menghiasi jagat politik dan media sosial kita. Kata-kata itu semua realitas bahasa politik di Indonesia. Maklum jelang, pilpres 2019. Semua politisi, semua partai dan koalisinya, semua capres-cawapres sedang menari di atas “panggung politik” untuk satu tujuan; meraih kekuasaan. Sebagai orang bahasa, saya mengamati “teks politik – kata-kata politik” yang beredar dalam 3 bulan terakhir, 90% isinya hanya celotehaan, sindiran, dramatisasi masalah belaka. Tidak ada alasan untuk memberi solusi, tidak ada tindakan konkret untuk mengatasinya. Bahasa yang pandai menemukan masalah, tanpa bisa menyelesaikan masalah. Itulah bahasa politik.

 

Kata-kata kebencian, kosakata cacian dan makian. Hanya cermin bahasa politik yang beredar saat ini. Saling sindir, saling ejek, hingga saling mencaci. Itulah warna bahasa politik yang penuh sentimen. Sebutlah “Sentimen Bahasa Politik”, gejala bahasa yang makin membahana di hari ini dan hari-hari ke depan, hanya untuk kepentingan politik.

 

Sentimen bahasa politik.

Ya itu hanya terjadi pada komentar yang nadanya miring. Kata-katanya bermuatan negatif. Bahkan tidak sedikit yang kosakata-nya berisi kebohongan atau fitnah. Bahkan data dan fakta bisa dibuat sendiri hanya untuk kepentingan politik. Bahasa politik memang penuh sentimen; kata-kata yang ditumpangi ejekan, cacian, hujatan, dan sebagainya. Sekali lagi, sebut saja itu semua “sentiment bahassa politik”. Karena sentimen, basisnya hanya ketidaksukaan, kebencian, dan rasa permusuhan.

 

Suka tidak suka, masyarakat memang harus lebih cerdas dalam menyerap bahasa politik. Sadar atau tidak sadar, masyarakat harusnya tidak perlu mengikuti “gaya bahasa berperang” para elit politik. Karena memang ada strategi di dua kubu itu, untuk menanamkan “bibit” kebencian untuk saling mengalahkan, menjatuhkan.

 

Sentimen bahasa politik, tidak lain sebuah teks sarkasme yang akrobatik.

Panggung politik jelang pilpres 2019, memang tiada hari tanpa sentimen. Apalagi di medsos. Sentimen kian merebak dan kian melimpah ruah. Kata-kata atau kalimat politik, teks politik selalu menjadi sumber kegaduhan. Sentimen bahasa politik kian merajalela. Walau itu sah-sah saja, boleh-boleh saja.

 

Kata orang bahasa. Sentimen itu "pendapat yang didasari perasaan yang berlebih-lebihan". Kadang, bertentangan dengan pikiran, mungkin pula realitas. Sentimen pula yang menjadi sebab suka atau tidak suka kita kepada orang lain. Akibat emosi yang berlebihan. Atau karena iri hati; alias tidak senang. Bentuk reaksinya ya "sentimen". Atau kaum religius menyebutnya "ghirah".

 

Kenapa haru berbahasa dengan sentimen?

Alasannya, tentu banyak sebab. Tapi survei membuktikan. Sentimen itu terjadi karena tidak suka, tidak senang kepada orangnya. Bisa juga sentiment terjadi karena kita tidak kenal orangnya. Atau sentiment akibat beda pendapat, beda pilihan apalagi beda kelas sosial. Siapa yang sentiment? Pasti karena tidak suka, tidak senang. Itu dalih sangat sederhana. Jangankan di urusan pertarungan pilpres atau di urusan negara dan bangsa; di urusan keseharian pun banyak orang yang sentimen.

 

Patut diketahui, sentimen bahasa politik pasti terjadi.

Utamanya pada mereka yang punya ego merasa paling benar. Alhasil, orang-orang yang sentimen jadi lebih mudah "mengecap" orang lain lebih buruk dari dirinya. Bolehlah disimpulkan, orang sentiment lebih suka mencari kesalahan orang lain.

 

Sentimen bahasa politik. Persis seperti “pertarungan liar” yang digelindingkan hingga ke akar rumput, ke kelompok masyarakat kebanyakan. Pelbagai cara ditempuh, mirip silogisme dan logika sederhana yang “diracik” dengan perasaan. Maka jadilan itu barang; sentimen bahasa politik. Bahasa yang dipasang sebagai ranjau politik untuk menjungkalkan lawan politiknya. Semua pihak yang bertarung pasti dalam posisi berseberangan. Mereka berjibaku dengan kata-kata dan teks bahasa untuk menghebatkan diri sambil melecehkan lawan, mensucikan diri sambil menajiskan lawan, membenarkan diri sambil menyalahkan lawan, memuji diri dengan menghina lawan. Sentimen bahasa politik, tak ubahnya hanya permainan licik.

 

Sungguh hari ini, masyarakat pun sudah jengah dengan politik.

Masyarakat pun lelah melihat tingka politikus serakah tanpa amanah. Politik dan politikus, sungguh hanya penjelajah yang esok bakal membantah. Maka kita, jangan sampai terbelah-belah karena sumpah serapah mereka.

 

Waspada atas sentimen bahasa politik.

Sungguh, tutur kata sentimen tidak ada untungnya. Kalimat sentimen pun banyak ruginya. Berbahasa politik penuh sentimen hanya menjadi sebab rugi; untuk orangnya, untuk bangsanya, bahkan untuk orang yang dibelanya.

 

Sentimen bahasa politik, ada di mana-mana. Dan orang-orang sentimen memang lupa.

Bahwa menjauhkan "bahaya" dan dampak buruk dari apa yang dikatakan itu lebih utama daripada memperjuangkan manfaatnya. Menolak terganggunya keharmonian dan persatuan sebagai bangsa itu lebih penting daripada memenangkan orang yang belum tentu bisa memperjuangkan mimpinya….  #TGS #SentimenBahasaPolitik #MenulisIlmiah 

Ikuti tulisan menarik lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler