x

Iklan

Syarifuddin Abdullah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pesawat LionAir JT610 Jatuh di Tanjung Karawang

Terus menegaskan pentingnya menerapkan aturan keselamatan penerbangan dengan mekanisme yang tanpa pilih kasih.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Waktu kejadian: Senin, 29 Oktober 2018, sekitar pukul 06.33 WIB.

TKP: Tanjung Kerawang, kedalaman laut sekitar 30-40 meter, berjarak sekitar 25 mil laut dari pantai terdekat, yang masuk dalam Area Mike, lapangan minyak lepas pantai blok ONWJ milik Pertamina di laut utara Bekasi.

Jenis pesawat: Boeing 737-8 Max, dengan jam terbang baru sekitar 800 jam, yang baru dioperasikan oleh LionAir sejak 15 Agustus 2018.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penumpang: Total 189 penumpang (178 penumpang dewasa, 1 anak, 2 bayi, 2 penerbang, 6 awak kabin).

Kronologi kecelakaan:

Pukul 06.20 WIB, pesawat take-off dari Bandara CGK (Cengkareng) Jakarta, dengan tujuan Pangkal Pinang, Bangka Belitung. Setelah mengudara beberapa lama, pilot pesawat konon sempat mengontak Menara Kontrol di Halim Perdana Kusuma (HLP) Jakarta dan meminta RTB (Return to Base) untuk kembali ke darat.

06.33 WIB, pesawat mengalami lost contact (kehilangan kontak). Diperkirakan pada saat inilah, pesawat kehilangan kendali dan nyungsep ke dasar laut, setelah mengudara selama 13 menit.

06.50 WIB, pihak Basarnas menerima berita awal kecelekaan, dan langsung meresponnya dengan mengirim tim Basarnas ke TKP.

Catatan awal:

Pertama, total 189 penumpang diperkirakan telah tewas, dan nantinya sebagian jenazahnya mungkin tidak akan ditemukan lagi. Bisa karena terperangkap dalam bangkai pesawat, atau dimakan ikan. Karana kedalaman laut di TKP sekitar 30 sampai 40 meter, pesawat diperkirakan mengalami patah atau bahkan hancur, sebab salah satu ujung pesawat (kepala atau ekor) diperkirakan akan menancap di dasar laut ketika masih dalam kecepatan tinggi.

Kedua, informasi awal Direktur Umum Lion Air Grup Edward Sirait kepada beberapa media bahwa “Pihak LionAir tengah menelusuri informasi... Masih simpang siur, ada yang bilang mendarat di Halim, ada yang bilang di Karawang... pesawat kehilangan kontak terjadi sejak terbang jam 6.00 WIB dari Cengkareng” merupakan pernyataan yang kurang profesional. Sebab pernyataan ini, yang disampaikan sekitar pukul 08.00 WIB menunjukkan bahwa sistem distribusi dan sharing informasi di LionAir belum optimal. Tidak sepantasnya seorang Direktur Umum di maskapai penerbangan belum mengetahui detail kecelakaan pesawatnya lebih dari 1 jam.

Ketiga, informasi bahwa pesawat naas itu relatif anyar, baru dioperasikan dua bulan lebih dikit, dengan jelajah terbang sekitar 800 km, dan memiliki sertifiksi layak terbang sampai 14/08/2019, menyisakan seabrek pertanyaan. Jika LionAir punya pesawat sejenis, mestinya langkah awal yang harus diambil: menghentikan sementara operasi pesawat sejenis sampai dipastikan kelaikan dan keamanan terbangnya.

Keempat, ketika terjadi kecelakaan, cuaca di sekitar TKP relatif baik. Artinya, penyebab kecelakaan cenderung bukan karena faktor cuaca. Lagi pula, jika benar bahwa sebelum lost contact, pilot sempat meminta ke Menara Kontrol di darat untuk kembali mendarat menunjukkan bahwa pesawat mengalami gangguan teknis yang diketahui oleh pilot, makanya meminta untuk kembali mendarat.

Kelima, dalam setiap kasus kecelakaan, khususnya pesawat, sebelum ditemukan penyebab utama kecelakaan, maka segala kemungkinan harus diperhitungkan dan dianalisa, termasuk faktor sabotase. Dan tentu, rentang dan latar belakang sabotase bisa sangat lebar dan bervariasi. Termasuk kemungkinan aksi teror.

Keenam, berdasarkan pengalaman di Indonesia dan juga di negara-negara lain, pihak berwenang tentang kecelakaan transportasi, yang di Indonesia diwakili oleh KNKT (Komite Nasional Kecelakaan Transportasi), biasanya akan pelit membeberkan penyebab kecelakaan pesawat, khususnya jika penyebabnya adalah faktor human error, karena dapat memdiskreditkan bahkan menghancurkan suatu perusahaan penerbangan.

Masih ingat kan kecelakaan pesawat LionAir juga di perairan saat akan mendarat di Bandara Ngurah Rai, Bali (13 April 2013) atau pesawat AirAsia di Selat Karimata (28 Desember 2014), dan sebrek kecelakaan pesawat lainnya. Publik tak pernah diberitahu secara utuh dan lengkap tentang hasil final penyelidikannya.

Ketujuh, dalam kecelakaan pesawat, tidak pernah ada penyebab tunggal kecelakaan. Meski bisa terjadi ada penyebab yang paling dominan. Kecuali mungkin jika ditembak seperti diduga terjadi pada pesawat MH-17 saat terbang di wilayah udara Uraina (17 Juli 2014).

Kedelapan, dalam tiap kecelekaan pesawat, ada kosakata yang selalu dominan: black box (kotak hitam), yang menurut spesifikasi teknisnya didesain untuk merekam semua suara di dalam pesawat sejak take-off sampai mendarat, termasuk semua komunikasi yang dilakukan oleh pilot. Karena itu, begitu terjadi kecelekaan pesawat, perhatian semua orang terkonsentrasi ke black box.

Namun, meski akhirnya black box itu ditemukan, namun jangan terlalu berharap rekaman black box akan dipublikasikan ke publik secara utuh. Alasan utamanya, karena black box adalah ranah atau konsumsi para ahli teknis kedirgantaraan. Bahkan konon kontennya hanya bisa ditranskrip di markas besar produsen pesawatnya.

Kesembian, sebagai orang yang tidak paham soal kedirgantaraan, saya cuma bisa mengulangi imbauan agar pemerintah cq Kementerian Perhubungan dan instansi terkait lainnya agar sungguh-sungguh menerapkan peraturan keselamatan penerbangan sipil dengan mekanisme penegakan aturan yang tanpa pilih kasih.

Dan biasanya, selama seminggu pertama dari terjadinya kecelakaan pesawat, kita akan mendengar beberapa pejabat terkait akan memberikan keterangan dan penegasan keras akan menindak para pihak yang bersalah atau bertanggung jawab. Tapi harus dicatat juga, di Indonesia dan juga di negara-negara lain, saya belum pernah mendengar ada proses pengadilan terhadap mereka yang dianggap bersalah dalam suatu kecelakaan pesawat.

Terkait ini, saya berimajinasi adanya sebuah perangkat hukum, yang memungkinkan menetapkan tersangka pertama dari pihak maskapai penerbangan dalam setiap kecelakaan pesawat. Katakanlah Direktur Teknis, yang secara otomatis dan langsung dijadikan tersangka dalam tiap kecelakaan pesawat. Tersangka pertama ini belum tentu terbukti bersalah, namun mekanisme seperti ini juga bisa dijadikan instrumen untuk memaksa pihak maskapai tidak menganggap enteng faktor keselamatan penerbangan.

Kesepuluh, secara keagamaan, kecelakaan adalah musibah, dan tiap musibah tidak bisa diintervensi sepenuhnya oleh manusia. Keluarga korban tewas pasti akan sedih. Sebagian besar publik, nasional ataupun internasional, juga akan ikut berduka, dan pada saat yang sama, akan mengirim doa terbaiknya kepada para korban. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Dengan siraman doa dari banyak orang itu, kita berharap semua korban pesawat Lion Air JT610 mendapatkan tempat layak di sisi-Nya.

Syarifuddin Abdullah | 29 Oktober 2018/ 20 Safar 1440H

Sumber foto ilustrasi: tempo.co

Ikuti tulisan menarik Syarifuddin Abdullah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu