x

Menteri Keuangan: Kaveling Anggaran Membahayakan APBN

Iklan

Anggito Abimanyu

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menghadapi Tekanan APBN 2019

Tahun 2019 adalah tahun yang berat bagi perekonomian Indonesia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Menghadapi Tekanan APBN 2019

Oleh: Anggito Abimanyu

Dosen UGM, Yogyakarta

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

APBN 2019 ditetapkan oleh Pemerintah dan DPR RI menjadi undang-undang. Meskipun ditetapkan melalui undang-undang yang mengikat, APBN 2019 diperkirakan akan rawan pada perubahan menghadapi tekanan ekonomi global dan domestik di tahun 2019. Tekanan itu saat ini sedang dan akan datang dari eksternal faktor global serta internal, daya tahan ekonomi domestik.

Tahun 2019 adalah tahun yang berat bagi perekonomian Indonesia. Setelah melalui tahun 2016 dan 2017 dengan relatif mulus, ekonomi Indonesia mulai mengalami ujian lagi di pertengahan 2018 dan diperkirakan lebih berat pada 2019.

Tahun 2016 dan 2017 Pemerintah memperoleh windfall dari penurunan harga minyak dan stabilitas global. Tahun 2018 dimulai dengan gebrakan ekonomi AS di bawah Donald Trumph untuk mempercepat proses new normal, kenaikan suku bunga, kebijakan proteksi perdagangan dan stimulus ekonomi AS. Ekonomi AS di tahun 2018 tumbuh lebih cepat tetap sebaliknya ekonomi China dan Eropa melambat.

Dunia menghadapi kenaikan suku bunga, kenaikan harga minyak, penurunan volume perdagangan dunia, outflow investasi protofolio, inflasi global, gerusan cadangan devisa dan perbankan harus menahan ekspansi pembiayaan. Transmisi tersebut sudah mulai terdeteksi oleh ekonomi Indonesia.

Di dalam negeri, Indonesia akan melaksanakan agenda nasional yaitu pemilu legislatif dan eksekutif. Banyak kebijakan pro stabilitas dan cenderung polusi yang harus dilakukan oleh Pemerintah dan DPR, bahkan hingga di daerah. Kebijakan ekonomi teknokratis harus mengalah dengan ekonomi politis dan menundanya hingga pesta demokrasi berakhir.

Pemerintah di banyak negara memiliki dua sisi kebijakan ekonomi, yakni moneter dan fiskal untuk mengaturnya dan biasanya nenjadi buffer melawan gejolak perekonomian. Di Indonesia, Bank Indonesia mengendalikan kebijakan moneter, dan pemerintah melalui Kementerian Keuangan mengelola kebijakan fiskal.

Dua kebijakan tersebut meskiput bersifat independen namun dapat bergerak dengan leluasa secara koordinatif. Namun gerakan dua kebijakan tersebut tetap saja terbatas. Invervensi Bank Indonesia menahan tekanan nilai tukar dibatasi oleh nilai cadangan devisa yang aman, ekspansi APBN dibatasi oleh batasan defisit dan rasio utang Pemerintah.

Pemerintah bisa saja menyehatkan ekonomi makro dengan menaikkan harga BBM dan listrik yang membebani APBN dan volatilitas rupiah, tetapi sering kalah dengan pertimbangan politik pemerintah dan DPR. Menaikkan tarif pajak untuk meningkatkan pendapatan APBN juga terhambat dengan daya tahan ekonomi, tidak netral dan juga tekanan politik. Sebaliknya di samping subsidi BBM dan listrik dibiarkan terus mengelembung, subsidi-subsidi lain seperti kesehatan, pangan dan lain-lain juga terus ditambah.

Tindakan-tindakan reformasi administrasi pajak atau efisiensi belanja tidak memperoleh hasil yang cepat dan bahkan bisa menghabiskan energi serta biaya birokrasi. Banyak negara yang meluncurkan program kemiskinan, kesehatan dan kesejahteraan ekspoansif tanpa memperhitungkan sumber pendanaan jangka panjang.  Pembiayaan program-program tersebut apabila dibiayai oleh sumber utang dan bukan pajak maka akibatnya akan fatal.

Banyak negara di Eropa yang saat ini mengalami kesulitan ekonomi karena program populis dalam kebijakan fiskal, contoh mutakhir adalah Italia, sedang menuju krisis karena kebijakan fiskal yang keliru.

"One of the main factors that we look at throughout emerging markets and the developed markets, take Italy for example, is the rise of populism leading to irresponsible fiscal policy. Probably one of the most important political variables we have to look at," said Michael Hasenstab, chief investment officer at Templeton Global Macro, CNBC 3 Oktober 2018.

Kebijakan fiskal di Indonesia masih tergolong sehat dan sustainable. APBN kita dibuat dengan proses teknokrasi dahulu dan politik kemudian. Dipastikan bahwa dua kunci pokok yakni defisit dan rasio utang didalam batas aman. Rasio pajak juga terus ditingatkan meskipun bergerak sangat lambat, efisiensi belanja kementerian terus diawasi. Satu-satunya inkonsisten yang dialami oleh Pemerintah adalah masalah subsidi BBM dan Listrik.

India dan Indonesia dinyatakan oleh investor global sebagai negara dalam tujuan jangka panjang. Indonesia memang mengalami defisit dalam neraca transaksi berjalan dan volatilitas nilai tukar, tetapi banyak investor tetap menempatkan sebagai tujuan investasi. Persepsi positif dari investor global terhadap Indonesia bisa saja akan berbalik apabila Indonesia terus menjalankan kebijakan ekonomi tanpa mengingat ketahanan fiskal dan stabilitas makro ekonomi.

Ekspansi ekonomi, pembiayaan infrastruktur dan pro subsidi adalah kebijakan mesejahterakan masyarakat namun tetap harus mengingat kemampuan pendanaan dalam negeri. Para ekonom menyebut bahwa Kebijakan Fiskal atau APBN adalah Jangkar Perekonomian.

Ikuti tulisan menarik Anggito Abimanyu lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler