x

Iklan

SYAHIRUL ALIM

Menulis, Mengajar dan Mengaji
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Aksi Bela Tauhid, Politisi Kemarin Sore, dan Tukang Sayur

Jika aksi yang dimaksud adalah “bela tauhid”, justru tampak semakin absurd, mengingat tauhid sebagai entitas tertinggi dalam substansi kehidupan manusia

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dalam suatu iklim demokratis, aksi massa dalam bentuk apa saja tentu saja tak dilarang, termasuk aksi yang menamakan dirinya bela tauhid. Konon, aksi ini muncul karena merasa tersinggung atas peristiwa pembakaran bendera bertuliskan kalimat tauhid, “Laa Ilaaha Illallah” yang dilakukan oknum Banser ketika kegiatan Hari Santri Nasional di Garut. Polemik soal apakah itu bendera tauhid atau bendera HTI yang notabene ormas yang dilarang pemerintah, seakan sulit mendapatkan titik temu. Pihak aparat yang menangani kasus ini menyatakan, itu bendera HTI yang sekaligus diamini pihak Banser, namun disisi lain, itu adalah bendera tauhid bukan bendera ormas, sehingga isu ini menggerakan simpati masyarakat untuk menggelar aksi bela bendera tauhid hari ini.

Saya sendiri belum pernah menemukan istilah “bendera tauhid” kecuali setelah gaduhnya peristiwa pembakaran bendera tersebut di Garut. Tauhid, tentu saja entitas keimanan yang terdalam yang tidak tertuang dalam sebuah tulisan apalagi sekadar bendera. Entitas itu justru mewujud dalam sikap dan prilaku yang menjunjung tinggi aspek pembebasan dari seluruh kekuatan apapun di alam raya ini, kecuali Kemahakuasaan Tuhan. Inti dari ketauhidan yang disakralkan umat Islam ada dalam entitas kalimat tauhid, sebagai puncak tertinggi kebebasan manusia dari segala anasir keduniaan dengan menolak mengakui kekuatan atau kehebatan apapun, kecuali hanya Tuhan yang patut memilikinya.

Jika aksi yang dimaksud adalah “bela tauhid”, justru tampak semakin absurd, mengingat tauhid sebagai entitas tertinggi dalam substansi kehidupan manusia, lalu dianggap “lemah” sehingga perlu dilakukan pembelaan. Saya justru melihat, aksi ini sebagai bentuk solidaritas saja yang memang digerakkan oleh kelompok-kelompok tertentu dengan tujuan-tujuan tertentu pula. Menariknya, perspektif soal tauhid, terlebih dengan benderanya, justru memang tidak mudah dipahami kebanyakan orang. Aksi solidaritas itu muncul sekadar didorong semangat keagamaan yang kosong nilai-nilai pengetahuan yang memadai. Kalaupun aksi ini disisipi agenda politik yang tersembunyi, kemungkinan memang digerakkan oleh sekelompok politisi kemarin sore yang juga sama, hanya memiliki semangat tetapi tak cukup pengetahuan dan pengalaman soal politik.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Realitas politik dan keagamaan yang belakangan ini seringkali bersinggungan, justru karena diramaikan oleh kalangan politisi kemaren sore yang mencoba mencari keuntungan ditengah eskalasi publik yang begitu menggandrungi gairah dakwah. Kemunculan para simpatisan yang “by accident” justru semakin meluas akibat banjirnya informasi yang simpang-siur diterima oleh mereka. Mungkin kita dapat menganalogikannya seperti tukang sayur, yang membaca setumpuk makalah bekas atau guntingan koran sebelum dipergunakan untuk membungkus barang dagangannya. Lalu dengan bangga, ia menceritakan apa yang telah dibacanya kepada para pembeli dengan penuh semangat, seolah-olah ia banyak tahu soal informasi.

Tak berlebihan kiranya, jika kemunculan politisi kemarin sore yang memanfaatkan banyak hal, justru tak ubahnya tukang sayur sebagaimana analogi diatas. Kebanyakan dari kita, memang tak pernah mendapatkan informasi secara utuh ditambah oleh semangat solidaritas yang tinggi sehingga seringkali tiba-tiba menjadi “pembenar” atas hal apapun, termasuk soal politik dan agama. Yang lebih menggelikan lagi, ada sementara orang yang menilai orang lain sebagai politisi kemarin sore, padahal dirinya bukan politisi, atau memang karena dirinya sedang menutupi kebodohannya sendiri. Lihatlah jargon-jargon politik yang bertebaran, semakin menunjukkan bahwa kita semakin sulit memilah suatu informasi, kecuali karena semangat solidaritas yang terlampau tinggi.

Boleh saja kita mempunyai rasa solidaritas yang tinggi, tetapi penting juga bahwa solidaritas harus diiringi oleh nilai-nilai pengetahuan yang memadai. Dalam hal Aksi Bela Tauhid—yang notabene aksi solidaritas keagamaan—justru menurut saya, hanya didasari oleh rasa solidaritas yang tinggi, tanpa mengetahui sebenarnya apa esensi yang sedang mereka perjuangkan didalamnya. Itulah kenapa sebabnya sahabat Umar bin Khatab lebih menyesal ketika melihat seorang yang berilmu pengetahuan wafat, dibanding ribuan orang yang memiliki semangat solidaritas keagamaan yang tinggi, tetapi bodoh. Umar, tentu saja sedang melakukan otokritik, karena betapa pentingnya pengetahuan yang dapat menggerakkan setiap orang dalam mengaktualisasikan nilai tauhid, bukan semangat kosong keagamaan yang tergerak membela kalimatnya.

Politisi kemarin sore belakangan semakin marak, bahkan justru paling banyak menguasai panggung politik. Lihat saja, banyak politisi muda yang tiba-tiba meluncur mendapat sorotan berbagai media sebagai juru bicara kawakan yang sibuk menangkis kritikan lawan politiknya. Anda mungkin paham, mereka-mereka yang duduk dalam puncak tertinggi tim pemenangan kandidat politik justru diisi jajaran politisi kemarin sore. Tak jauh berbeda dengan kemunculan aksi-aksi solidaritas serupa yang juga digerakkan oleh politisi kemarin sore yang memang gemar berhias di atas panggung politik. Wajar saja jika para simpatisan dibawahnya hanya terbentuk karena solidaritas, tanpa diiringi oleh pengetahuan yang memadai.

Para simpatisan, kelompok solidaritas, mungkin cerminan tukang sayur yang sekadar membaca berbagai informasi dari tumpukan makalah bekas atau sobekan koran lama yang tak mewakili pengetahuan apapun. Hebatnya, tukang sayur itu bahkan melakukan presentasi soal politik, agama, atau realitas sosial yang tak hanya dilakukan kepada para pembelinya, tetapi juga kepada si pembuat makalah atau penulis berita di sobekan koran tersebut. Jadi, semakin ramailah jagat politik saat ini, dipenuhi para politisi kawakan, politisi kemarin sore, simpatisan, kelompok solidaritas yang tak jauh beda dengan tukang sayur yang mempresentasikan hasil bacaannya kepada para pembeli. Informasi yang disampaikan tentu saja setengah-setengah, tak pernah utuh, karena tujuannya adalah bagaimana agar dagangannya laku, itu yang penting!   

Kita memang terlampau sulit untuk keluar dari kungkungan realitas sosial yang terlampau dikotak-kotakkan atau digiring sekadar menjadi penyemangat atas solidaritas, kecuali jika kita dibekali cukup pengetahuan dan berupaya melawan arus. Kita justru dihadapkan pada sebuah dilema, antara ikut arus politisi kemarin sore atau menjadi tukang sayur yang sok tahu terhadap informasi apapun, padahal semuanya serba setengah dan tak lagi utuh. Mungkin hanya kewarasan berpikir dan diiringi oleh kekuatan esensi tauhid yang melekat dalam jiwa, kita bisa memilih tidak berada diantara satu atau dua. Namun yang penting, menjaga kewarasan berpikir melalui dasar pengetahuan yang cukup, kita akan menjadi pembelajar sejati, bukan sekadar semangat solidaritas yang tinggi apalagi menjadikan tukang sayur sebagai pihak penting pemberi informasi.

Ikuti tulisan menarik SYAHIRUL ALIM lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu