x

Iklan

YOHAN MISERO

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Malaysia 1 - Indonesia 0

Malaysia adalah kawan dan lawan sekaligus. Namun kekalahan kali ini sungguh menyebalkan. Betapa responsifnya Malaysia, betapa stagnannya kita.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

30 Agustus lalu, Pengadilan Tinggi Shah Alam menghukum mati Muhammad Lukman karena ia terbukti menguasai, mengolah, dan mendistribusukan minyak ganja. Di rumahnya, penegak hukum Malaysia menemukan 3 liter minyak ganja dan 279 gram yang telah dikompresi. Meski Muhammad Lukman tidak mencari keuntungan dari apa yang ia lakukan dan selalu memberi minyak ganjanya secara gratis pada mereka yang memerlukannya untuk kebutuhan medis, berdasarkan Pasal 39B Dangerous Drugs Act 1952 Muhammad Lukman harus dihukum mati.

Insiden tersebut berbuah pada perubahan narasi publik Malaysia tentang pemanfaatan ganja secara medis dan hukuman mati. Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad menegaskan bahwa pemerintahannya akan mengkaji kembali putusan tersebut secara spesifik. Nurul Izzah Anwar, anggota parlemen Malaysia dari Partai Keadilan Rakyat (PKR) yang menjadi bagian dari koalisi yang mendukung Mahathir Mohamad, Pakatan Harapan, menyatakan akan menyurati Jaksa Agung Malaysia untuk mempertimbangkan kembali tuntutan dan hukuman bagi Muhammad Lukman.

Komentar-komentar tersebut sesungguhnya memberi harapan akan perubahan mengingat Malaysia adalah satu dari 33 negara, termasuk Indonesia, yang masih mempertahankan hukuman mati untuk tindak pidana narkotika. Dan seperti Indonesia, hukum narkotika di Malaysia juga sama konservatifnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Namun, putusan mati terhadap Muhammad Lukman merubah banyak hal. Putusan tersebut mendapat perhatian internasional yang luar biasa besar: New York Times, Washington Post, Al Jazeera, dan lain-lain. Perhatian internasional dan keriuhan nasional terkait putusan ini kemudian mengusik pejabat-pejabat Malaysia untuk mendorong 2 perubahan kebijakan besar: penghapusan hukuman mati dan regulasi ganja untuk keperluan medis.

Menteri Sumber Daya Air, Tanah, dan Alam Malaysia, Xavier Jayakumar menyatakan bahwa kabinet berkuasa di Malaysia saat ini telah membicarakan kegunaan medis ganja secara singkat dalam rapat-rapat kabinet dan mulai diskusi-diskusi informal untuk mengubah undang-undang yang berlaku saat ini. Sebelumnya, Menteri Kesehatan Malaysia berujar bahwa sejauh ini tidak ada data yang cukup untuk mendukung perubahan kebijakan tersebut. Namun, Xavier menyebutkan bahwa hal itu tetap dimungkinkan mengingat negara-negara lain telah menerapkan kebijakan ganja medis. Saat tulisan ini tengah digarap, sebuah petisi di change.org untuk mendukung riset dan pemanfaatan ganja medis di Malaysia terkait dengan kasus Muhammad Lukman ini telah mendapatkan hampir 70.000 tanda tangan.

Terkait hukuman mati, nampaknya posisi Malaysia lebih teguh untuk segera menghapus keberadaan hukuman yang tidak efektif ini. Hal ini ditandai dengan pernyataan Liew Vui Keong, Menteri Hukum Malaysia, bahwa, “Seluruh hukuman mati akan dihapuskan. Berhenti total.” Pernyataan ini menjadi cermin sikap seluruh kabinet berkuasa di Malaysia yang juga akan menghentikan eksekusi pada mereka yang telah diputus mati. Sikap ini kemudian kembali digemakan oleh Gobind Singh Deo, Menteri Komunikasi dan Multimedia Malaysia, yang menyebutkan, “Saya berharap undang-undang ini akan segera diubah.”

Sikap Malaysia yang progresif terkait hukuman mati ini kemudian juga mendapat sambutan positif dari dunia internasional. Dag Juhlin-Dannfelt, Duta Besar Swedia untuk Malaysia, menyebut langkah Malaysia ini sebagai hal yang “impresif dan berani.” Amnesty International menyebutnya sebagai “sebuah pengumuman yang menakjubkan.” N. Surendran, penasihat Lawyers for Liberty, sebuah organisasi hak asasi manusia (HAM) Malaysia kemudian menyebutkan manfaat penting apabila Malaysia benar-benar menghapus hukuman mati, “Ketika hukuman mati benar-benar dihapuskan, Malaysia akan punya otoritas moral untuk memperjuangkan nyawa warga negara Malaysia yang terancam hukuman mati di negara lain.” Sebuah hal penting yang sepatutnya juga jadi perhatian Pemerintah Indonesia, mengingat beban yang serupa di luar negeri, yang tercermin jelas pada eksekusi mati biadab yang dilakukan Arab Saudi pada Tuti Tursilawati.

Lalu, apa kabar Indonesia hari ini? Pada 2017 lalu, Indonesia tercengang dengan viralnya pemberitaan dan besarnya simpati publik pada kasus pidana yang menimpa Fidelis Ari Sudarwoto. Ia menanam ganja dan mengekstraknya untuk membuat obat bagi istrinya, Yeni Riawati, yang menderita syringomyelia, sebuah penyakit langka di mana tumbuh kista di sumsum tulang belakang. Fidelis beralih pada ganja setelah mencoba setiap jalur medis konvensional yang memungkinkan. Ketika Fidelis sadar bahwa terapi ganja yang ia berikan memberikan dampak positif pada kondisi istrinya, ia pergi berkonsultasi ke Badan Narkotika Nasional Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Yang ia dapat dari pemerintah bukanlah solusi, melainkan borgol.

Situasi yang mengenaskan itu kemudian memperoleh dukungan publik yang sangat masif: rupa-rupa tulisan, poster, tagar #SaveFidelis, donasi, dan lain sebagainya. Memang ada satu hal yang kemudian terasa kurang: dukungan politik.

Badan Narkotika Nasional (BNN) merasa tidak ada yang salah dengan sikapnya karena berlindung dibalik narasi penegakan undang-undang. Kementerian Kesehatan pun merasa tidak memiliki alasan tambahan untuk melakukan percepatan terkait penelitian manfaat medis ganja karena menilai bahwa ganja, pada kasus Ibu Yeni, hanya bersifat sebagai penghilang rasa sakit saja – sebuah komentar yang berani dikeluarkan tanpa basis penelitian apapun.

Satu komentar positif datang dari Erma Suryani Ranik, anggota DPR RI yang berasal dari Partai Demokrat, Dapil Kalimantan Barat. Ia menyatakan, “Kasus Fidelis ini memperlihatkan bahwa kita semua harus memberi ruang yang lebih besar pada penelitian yang terukur dari pemanfaatan ganja untuk kesembuhan.” Komentar baik tersebut kemudian, sayangnya, tidak diikuti dengan pemahaman yang baik tentang urusan narkotika. Hal ini ditunjukan oleh beliau dengan menyatakan, “Undang-Undang Narkotika termasuk pada bagian tindak pidana khusus yang dibahas dan akan menjadi bagian dari Buku II KUHP kita kelak.” Tidak bijak untuk meletakan tindak pidana narkotika dalam RKUHP karena banyak sekali aspek yang harus diurus dalam regulasi narkotika. Narkotika jelas membutuhkan undang-undang khusus. 

Dalam urusan hukuman mati, di luar kritik rekan-rekan aktivis HAM, beberapa penegak hukum telah menyatakan bahwa hukuman mati tidak berdampak. Deddy Fauzi Elhakim, saat menjabat sebagai Deputi Pemberantasan Badan Narkotika Nasional, menyatakan, “Vonis hukuman mati memang tidak membuat jera.” Kemudian baru-baru ini, Cahyo Budi Siswanto dari Kabagmitra Ropenmas Divhumas Polri berkata, “Sungguh sangat mengkhawatirkan, kita nyatakan perang terhadap narkoba tapi kenyataaannya efek jera belum ada. Tindakan tegas yang dilakukan Polri sampai dengan hukuman mati tidak beri efek jera.”

Komentar positif juga datang dari seorang anggota DPR, yakni Akbar Faizal dari Partai NasDem (Nasional Demokrat), Dapil Sulawesi Selatan II. Pada 13 Oktober lalu, melalui akun twitter pribadinya, ia mengungkapkan penolakannya terhadap eksistensi dan implementasi hukuman mati. Ia mencatat bahwa hukuman mati dijalankan dalam sistem hukum yang tidak sempurna, jelas-jelas melanggar HAM, menyasar kelompok rentan, dan dapat digunakan sebagai alat politik. Kemudian dalam menutup serial cuitannya, beliau berkata, “Sebegitu marah dan bencinya saya kepada para bandar narkoba yang merusak bangsa ini dari orang tua hingga ke anak-anak balita, bahkan saat ini, tetap saja hukuman mati bukan lagi hukuman yang bermartabat bagiku.” Kemarahan yang tersirat ini lagi-lagi menunjukan betapa lemahnya pemahaman pengambil kebijakan tentang regulasi narkotika kita yang buruk. Mereka yang disebut “bandar” sungguhlah tidak jelas pengertiannya di UU Narkotika saat ini: ia bisa saja orang dengan jaringan luas seperti Freddy Budiman, orang dengan disabilitasi psikososial seperti Rodrigo Gularte, orang yang dijebak seperti Mary Jane Veloso, atau orang yang sedang berusaha menolong istrinya seperti Fidelis Ari Sudarwoto. 

Malaysia mulai menyadari kompleksitas ini dan dengan konkrit memulai diskusi untuk melegalkan ganja medis dan menghapus hukuman mati. Proses hukum yang menyesakan kepada Muhammad Lukman menjadi alasan yang cukup bagi Malaysia untuk menginisiasi perubahan kebijakan. Apakah hati politisi dan pengambil kebijakan negeri ini tidak cukup tersentuh dengan kasus Fidelis? Mengapa komentar-komentar positif di atas tidak berkembang menjadi dorongan perubahan kebijakan yang nyata? Apakah saya dan rekan-rekan reformis kebijakan narkotika yang tidak cukup pandai menggunakan momentum tersebut?

Apapun jawabannya, saya pikir kita patut kesal soal ini. Malaysia adalah kawan yang kompetitif dalam berbagai persoalan: bisnis, pembangunan, pendidikan, budaya, juga olahraga. Namun kali ini sangat menyebalkan untuk menyadari dan mengakui, setidaknya dalam soal inisiatif regulasi ganja medis dan hukuman mati: Malaysia lebih maju dari Indonesia.

Ikuti tulisan menarik YOHAN MISERO lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler