x

Iklan

Kang Nasir Rosyid

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Jalan Menuju Istana

Hingar bingar perebutan Kekuasaan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Banyak jalan menuju Roma, demikian pepatah sering dikatakan orang. Pepatah itu menggambarkan tentang banyak cara untuk mencapai satu tujuan.

Untuk saat ini, pepatah itu saya ganti menjadi "Banyak jalan menuju Istana". Mengapa harus Istana?, ya karena kalau saya ganti menjadi "Banyak jalan menuju Surga atau Neraka", nanti banyak orang yang mengira saya pendukungnya Farhat Abas.

Istana memang punya daya tarik tersendiri bagi orang atau kelompok tertentu. Istana adalah sebagai pusat sekaligus pusaran kekuasaan. Di istana itu ada singgasana, di Istana itu banyak kursi yang empuk, di istana itu banyak jabatan yang menggiurkan, bahkan diluar istanapun banyak kursi atau jabatan yang diburu orang asalkan bersinggungan dengan Istana.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Intinya, bagi kelompok ini, mereka berebut jalan menuju Istana tujuannya hanya satu yakni berebut kekuasaan, lepas dari apapun visi dan misinya. Namun demikian, tidak semua orang berebut jalan menuju Istana hanya ingin mendapatkan kekuasaan, ada juga orang atau kelompok menuju Istana justru ingin bertemu dengan si empu kekuasaan untuk mengadu agar nasibnya di perhatikan.

Untuk menuju dan menduduki Singgasana Istana,  tidak selamanya mulus, kadang terjadi  intrik   bahkan bisa saling bermusuhan. Tentu kita masih ingat sejarah jaman dahulu kala. Untuk menduduki Singgasana kadang terjadi persetruan dan permusuhan antara saudara. Persetruan seperti ini pernah  terjadi, salah satunya di Kerajaan Mataram abad 17  yakni Persetruan antara Raja Amangkurat I dengan Raja Amangkurat II yang tak lain adalah persetruan antara orang tua dan anak. Ini terjadi karena perebutan  kursi Singgasana di Istana lepas apapun latar belakangnya.

Demikian pula halnya dengan posisi kusri dan jabatan lain di lingkungan Istana. Siapapun orangnya  yang punya nafsu untuk duduk di kursi empuk dengan jabatan tertentu di lingkungan Istana, orang bisa  berbuat apa saja, kalau perlu fitnah dan kebohongan di tebar kemana mana. Dalam cerita pewayangan, pernah seorang pembohong dan tukang fitnah bisa menduduki kursi di Kepatihan.

Tokoh itu tak lain adalah Tri Gantalpati, tokoh ini pandai memainkan peran, kadang ia pakai nama Harya Suman, kadang ia pakai nama Sang Maha Julig. Tri Gantalpati ini banyak akal, oleh karena itulah wataknya jadi licik. Adapun tabiatnya ia suka iri dan  haus kekuasaan. Untuk memuluskan keinginnya, Tri Gantalpati tak segan melakukan sesuatu dengan menghalalkan segala cara.

Sebelum menjadi Patih, Tri Gantalpati hanya rakyat biasa, hanya saja karena watak dan tabiatnya seperti diatas, Tri Gantalpati berhasil menghasut  dan menyebar kebencian kepada para kurawa  bahwa Patih Gandamana  yang sedang berkuasa  adalah Patih yang tidak bener.

Kurawa berhasil di hasut, maka Patih Gandamana-pun ramai ramai di bantai para kurawa, jasadnya dimasukkan ke dalam sumur. Segera setelah itu, Tri Gantalpati yang licik dan banyak akal, membuat laporan palsu kepada Prabu Pandhu tentang kejadian yang menimpa Patih Gandamana. Prabu Pandhu  berhasil di kadalin, dengan laporan palsu itu, ahirnya Tri Gantalpati dipercaya menduduki jabatan bergengsi yakni menjadi Patih, sejak saat itu Tri Gantalpati berubah menjadi Patih Sengkuni.

Lantas bagaimana dengan perebutan Singgasana di Istana pada jaman modern atau zaman Demokrasi sekarang ini?, tunggu episode selanjutnya.

Ikuti tulisan menarik Kang Nasir Rosyid lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler