x

Iklan

SYAHIRUL ALIM

Menulis, Mengajar dan Mengaji
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Sarung Kiai Ma'ruf, Yusril, dan Melemahnya Islam Politik

Bukan tidak mungkin, citra sarungan yang dipelopori Ma’ruf juga telah membuka ruang-ruang keislaman yang lebih mengedepankan nilai kultur secara substantif

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Keberadaan KH Ma’ruf Amin menjadi cawapres bagi petahana Joko Widodo, ternyata memiliki arti penting bagi kaum muslim tradisional. Ciri khas keulamaan dengan simbol sarung dan sorban cukup menjadi magnet politik sebagai citra positif seorang tokoh kharismatis yang menjunjung tinggi nilai-nilai budaya Islam nusantara. Sarung Ma’ruf Amin secara lebih jauh jika diartikan dalam konteks politik memang sedang “melawan” atau menandingi keberadaan jubah atau gamis yang sejauh ini kerap diidentikkan dengan kelompok baru Islam politik. Simbol keagamaan atau kebudayaan ternyata cukup penting bahkan berpengaruh dalam membuat pemetaan kelompok-kelompok simpatisan Islam politik, mana yang moderat-tradisional atau fanatik-radikal.

Hampir belum pernah ada dalam sejarah politik Indonesia, dimana seorang kandidat cawapres justru lebih nyaman “sarungan” daripada menggunakan pakaian resmi lainnya. Sarung tidak saja identik dengan tradisi ke-NU-an dimana para santri berlatarbelakang ormas Islam tradisional ini lekat dengannya, namun juga menjadi citra khas pakaian Nusantara yang mungkin sulit ditemukan di negara lain. Namun yang pasti, Ma’ruf mampu menjadi mesin penggerak elektoral kelompok Islam mayoritas yang belakangan sulit dibendung, karena semakin banyak kelompok-kelompok sarungan yang secara resmi mendukung dirinya dalam Pilpres 2019 nanti.

Bukan tidak mungkin, citra sarungan yang dipelopori Ma’ruf juga telah membuka ruang-ruang keislaman yang lebih mengedepankan nilai kultur secara substansial, sekaligus menghambat kanalisasi Islam politik yang sejauh ini justru dipandang terlampau ketat dalam menyuarakan pergantian kekuasaan. Kelompok Islam politik sejauh ini dapat dibilang sukses meraih simpati publik dengan melakukan kanalisasi formalisme agama dengan memberikan muatan-muatan “nilai baru” yang kurang simpatik dengan tradisi keislaman yang sejauh ini hidup dan berkembang. Ma’ruf justru muncul sebagai ikon baru dalam gelanggang politik melalui penampilannya yang tak lepas dari sarungan, mewakili mayoritas muslim Indonesia yang menolak berbagai formalisme agama.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dukungan yang mengalir dari kalangan NU kepada Ma’ruf Amin, semata-mata bukan sebatas dukungan politik, namun lebih jauh dari itu, berharap ia dapat mewakili kalangan mayoritas muslim menjadi sosok pengawal kultur yang secara sosial-politik mampu merekatkan nilai-nilai solidaritas antarkelompok Islam. Saya menganggap, akan lain halnya ketika bukan Ma’ruf yang dipilih menjadi cawapres, Islam politik akan lebih leluasa mengkanalisasi formalisme agama yang mungkin saja berdampak luas terhadap entitas kebangsaan, kenegaraan, bahkan keberagamaan. Harus diakui, gesekan-gesekan yang menimbulkan gejolak sosial belakangan lebih diakibatkan oleh benturan ideologi-keagamaan yang seolah-olah dicitrakan publik sebagai benturan politik kepentingan.

Mungkin tak berlebihan, jika gaya sarungan Ma’ruf justru mampu menarik simpati masyarakat muslim yang memang gerah dengan fakta politisasi agama yang kian gencar disuarakan. Tak hanya NU yang notabene mewakili kultur mayoritas Islam Indonesia, beberapa tokoh penting yang sebelumnya dicitrakan sebagai “pendukung” Islam politik, belakangan justru membelokkan arah apresiasi politiknya. Sebut saja Yusril Ihza Mahendra, pakar hukum kawakan yang sebelumnya sejalan dengan gerakan Islam politik dan beberapa kali mengawal kasus hukumnya, justru menerima tawaran kubu Jokowi-Ma’ruf bahkan “secara gratis” menjadi bagian penting kaum sarungan.

Persetujuan Yusril untuk duduk menjadi tim pembela hukum Jokowi-Ma’ruf, tidak serta merta diartikan sebagai sekadar bentuk profesionalisme atau keinginan pribadi dirinya, terlebih ia adalah salah satu pimpinan parpol yang dicitrakan sebagai bagian dari gerakan Islam politik. Walaupun terkesan cukup mengejutkan, namun tak ada istilah kawan atau lawan abadi dalam konteks politik-kekuasaan. Yusril tentu saja bukan orang pertama yang membuat kejutan politik, sebelumnya juga ada nama-nama praktisi hukum dan politisi yang juga berubah apresiasi politiknya.

Saya kira, ada benarnya jika mengkaitkan citra diri Ma’ruf Amin dengan simbol sarungnya yang kemudian mengubah citra Islam Indonesia lebih substantif, karena yang dikedepankan adalah mempertegas nilai-nilai kultur dan budaya Islam tanpa harus secara formal diidentifikasikan melalui gerakan-gerakan politik. Sarung Ma’ruf Amin juga merupakan simbol yang meng-counter beragam gerakan Islam politik yang cenderung “dipaksakan” sehingga agama seakan terlampau kaku dalam pengaktualisasiannya. Islam politik secara formal ternyata tunduk dibawah pengaruh sarung Ma’ruf yang tampak menonjolkan nilai-nilai politik keislaman secara substansial.

Disadari maupun tidak, tampak gerakan Islam politik ini semakin melemah terutama dilihat dari cara perjuangannya yang cenderung tidak simpatik menghadapi berbagai realitas politik. Kekuatannya satu-persatu dilucuti bahkan dilemahkan oleh keberadaan mereka sendiri yang tampak tak terkendali. Menariknya, gerakan Islam politik ini justru seringkali menjadi “benalu” yang terdampak merugikan pada salah satu kontestan, karena mereka cenderung memanfaatkannya bahkan sesekali justru tampak mendominasi mengecilkan peran kekuatan politik lain didalamnya. Melemahnya gerakan-gerakan Islam politik justru semakin ditunjukkan oleh cara-cara mereka dalam menyikapi setiap perbedaan melalui aksi-aksi yang kurang terukur dan cenderung tidak simpatik.

Kekuatan sarung Ma’ruf dalam banyak hal justru mampu menggedor kesadaran banyak pihak—terutama kalangan Islam—bahwa Islam tak harus diperjuangkan secara formal dalam bentuk gerakan-gerakan politik, namun dapat diperjuangkan dengan mengedepankan nilai substansialnya, dengan cara “merangkul” bukan “memukul” pihak manapun yang berbeda aspirasi politik. Sarung tak hanya sebatas simbol, tetapi itulah “ruh” Islam Indonesia yang justru mampu mengkoneksikan beragam kepentingan umat, tanpa harus membedakan antara satu dan lainnya. Sarung juga berfungsi menutupi aurat diri sendiri dan disisi lain berarti harus mampu menutup aurat saudaranya yang lain, bukan malah mengumbar auratnya. Itulah saya kira, pesan politik Ma’ruf Amin yang selalu diutarakan di setiap kesempatan dengan cita khas dirinya yang sarungan.   

Ikuti tulisan menarik SYAHIRUL ALIM lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler