x

Iklan

Jalal

Keberlanjutan; Ekonomi Hijau; CSR; Bisnis Sosial; Pengembangan Masyarakat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Catatan (Tidak) Kritis atas Bohemian Rhapsody

Para kritikus menyatakan pendapat yang bercampur soal film ini. Para fans Queen tak peduli. Kami sangat menyukainya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Di tahun 1990, ketika beres-beres barang hendak meninggalkan kota Manado untuk kuliah di Bogor, saya baru sadar bahwa ternyata saya masih menyimpan sebuah kaset yang saya beli pertama kali dalam hidup.  Kaset itu The Royal Philharmonic Orchestra Plays Queen.  Di situ saya menerakan Feb 1982.  Saya memang lebih dahulu mengenal keindahan orkestra klasik daripada musik-musik Queen, The Beatles, dan Simon & Garfunkel—tiga grup yang saya paling kagumi di antara seluruh grup musik hingga sekarang.

 

Kalau di tahun 1982 saya terpesona pada keindahan flute solo di Bohemian Rhapsody yang dimainkan oleh orkestra itu, saya kemudian mendapatkan ‘pendidikan’ tentang Queen dari adik ibu saya yang paling muda di tahun 1984. Kami cuma berbeda umur 6 tahun, sehingga hubungan kami lebih seperti kakak-adik.  Dia memberikan banyak sekali wawasan soal musik dengan kasetnya yang seabreg, dan dengan pengetahuan musiknya yang luar biasa luas, dia bisa bercerita soal lagu apa saja yang saya tanya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Pengaruh dari dialah saya kemudian menjadikan saya sebagai penggemar berat Queen.  Ketika tahun 2011 seluruh album Queen di-digitally remastered, dan setiap album dilengkapi dengan versi live paling penting dari beberapa lagu terpilih, saya memborongnya.  Jadi, ketika saya mendengar rencana pembuatan film tentang grup musik ini, saya tak sabar menunggu.  Yang menyebalkan, rencana ini terus terdengar, dengan sutradara, penulis, dan bintang yang berganti-ganti.  Sampai akhirnya datanglah Bohemian Rhapsody yang ditangani Bryan Singer (digantikan di penghujung jalan oleh Dexter Fletcher) dan dibintangi Rami Malek di bulan Oktober 2018.

 

Jauh hari sebelum menonton filmnya, saya sudah membaca entah berapa puluh artikel soal film itu.  Malek bisa bernyanyi dengan baik, tapi saya sudah tahu bahwa suara Freddie Mercury-lah yang bakal keluar dari mulutnya di sepanjang film.  Jadi, Malek akan melakukan lip sync saja.  Di sini, jebakannya sudah besar.  Beberapa film yang menggunakan teknik yang sama menjadi sangat menyebalkan lantaran kegagalan bintangnya untuk meyakinkan penonton bahwa dialah yang benar-benar menyanyi.  Saya sendiri mengagumi hasil teknik rekaman langsung seperti yang dilakukan Hugh Jackman dkk dalam Les Miserables; dan yang mutakhir, Bradley Coopers dan Lady Gaga dalam besutan keempat A Star is Born.

 

Ketika trailer film tersebut keluar, saya mungkin jadi salah satu penonton awalnya di saluran Youtube.  Saya terpukau.  Malek sebetulnya tak begitu mirip dengan Mercury.  Tapi, dia bisa sangat meyakinkan bukan saja dalam lip sync, melainkan dalam body sync.  Dia seakan kesurupan arwah Mercury.  Ketika kemudian saya menyaksikan bagian awal film itu untuk pertama kali, gerakan tubuhnya di belakang panggung Live Aid itu sungguh mempesona.  Mercury terlahir kembali.

 

Entah sudah berapa ratus video penampilan Queen saya saksikan, jadi seharusnya saya punya memori cukup untuk menilai apakah Malek sukses sebagai Mercury atau tidak.  Buat saya, dia sukses besar.  Tak perlu dia menggunakan prostetik di wajahnya, cukup dibuatkan gigi yang ikonik itu.  Beberapa ketidakmiripan fisik yang menonjol benar-benar dikompensasi oleh kemampuan Malek bergerak meliuk seperti sang legenda, dan menirukan caranya bernyanyi.  Saya tak tahu apakah Sacha Baron Cohen atau Ben Wishaw, dua aktor jempolan yang tadinya hendak menjadi Mercury akan bisa berperan sebaik Malek.  Mungkin bisa juga, tapi Malek sudah sangat memuaskan, jadi tak perlu juga berandai-andai untuk soal ini.

 

Mereka yang menjadi Brian May, Roger Taylor dan John Deacon—yaitu Gwilym Lee, Ben Hardy, dan Joseph Mazzello—juga tak kalah mempesona.  Mereka bahkan lebih mirip lagi dibandingkan dengan Malek/Mercury.  Saya menyaksikan setiap gerak mereka dengan tersenyum.  Bukan hanya kesamaan wajah yang menakjubkan, melainkan juga aura dan gerakan tubuh mereka.  Buat saya, casting director film ini tak bisa lebih gemilang lagi dalam melakukan pekerjaannya.  Ada video wawancara tentang ketika Lee untuk kali pertama kali dipertemukan dengan May, dan Lee bercerita bahwa selama tiga menit May terkagum-kagum.  Tentu, siapapun yang mengakrabi sosok May juga bakal begitu.

 

Jadi, kalau mereka sudah sangat mirip, berakting bagus, lip sync-nya sempurna, apa yang kemudian mau dikritik?  Ketidakakuratan sejarah yang banyak ditemukan di film itu.  Begitulah yang banyak sekali disampaikan oleh para kritikus film dan sejarah musik.

 

Kalau memang hendak belajar sejarah Queen, kini bahan bacaannya ada seabreg.  Kalau mau menonton sejarah Queen, bahannya juga tak kurang.  Baru satu tahun lampau ada Queen: Rock the World, yang berisikan potongan-potongan video keren terkait album News of the World (1977).  Album itu adalah sarang dari dua lagu yang selalu membuat aliran darah pendengarnya menjadi lebih cepat, We Will Rock You dan We are the Champions.  Tentu, narasi sejarahnya sangat jempolan, sehingga setelah menontonnya tetiba kita bisa menjadi ‘pakar’ soal album dan kedua lagu itu. 

 

Dua tahun sebelumnya, ada dokumenter 45 menit tentang bagaimana lagu Bohemian Rhapsody diciptakan.  Kalau Anda terpesona dengan bagian itu di dalam film, termasuk oleh sosok ayam yang muncul sebelum Taylor meneriakkan “Galileoooo….”, bersiaplah merinding sepanjang film dokumenter bertajuk Inside the Rhapsody itu.

 

Di tahun 2011 dan 2012 ada dua film dokumenter yang tampak dibuat seperti sekuel.  Yang pertama, Queen: Days of Our Lives.  Ini adalah film yang oleh fans berat Queen selalu dinyatakan sebagai film dokumenter terbaik tentang grup pujaan mereka.  Bukan cuma kita disajikan dengan potongan-potongan di belakang panggung yang membuat seakan kita betul-betul menjadi bagian dari sejarah, melainkan juga kita dihadiahi kumpulan wawancara yang sangat bagus.  Dan bukan cuma para dedengkot itu yang bicara, melainkan juga para legenda lain yang berpapasan karier dan kehidupannya dengan Queen.  Mulai dari Elton John hingga David Bowie nongol di situ.

 

Dokumenter (yang seakan seperti) sekuelnya, lebih berpusat pada Mercury.  Judulnya Freddie Mercury: The Great Pretender.  Lantaran sifat itu, kita bisa belajar banyak soal Mercury di sekitar pilihan karier solonya.  Ada potongan suara sang legenda bernyanyi bersama Michael Jackson, yang sangat jarang diketahui.  Juga, tentu saja, duetnya yang maha-terkenal dengan Monserrat Caballe dalam Barcelona.  Bulu kuduk dijamin meremang.

 

Dan, kalau mau belajar soal sejarah Queen tetapi bisa bertahan hanya dengan mendengarkan percakapan, maka ada Becoming Queen yang diluncurkan 14 tahun lampau.  Di sini banyak cerita soal Queen di periode awal, sehingga kita bakal tahu soal bagaimana sebetulnya mereka bertemu, membentuk band, menyusuri berbagai bar dan kafe, sebelum akhirnya membuat album-album yang dahsyat itu.

 

Pendeknya, mereka yang menggilai Queen itu sudah punya segunung material yang bisa diakses.  Kalau para kritikus hanya mau melihat biopik yang setia dengan sejarah sepenuhnya, itu pilihan mereka.  Namun, dari perbedaan yang jelas antara penilaian penonton dan kritikus—ketika tulisan ini dibuat, di Rotten Tomatoes, kritikus kini memberi nilai 61 (minggu lalu, nilainya masih kepala lima), sementara para penonton memberi ponten 94—penonton tak peduli apa kata kritikus.  Dengan nilai 94 yang diberikan para penonton, jelaslah ini merupakan film yang memuaskan mereka.

 

Sahabat saya yang menonton film ini di New York City bersama putrinya bertutur bahwa seluruh isi bioskop bernyanyi bersama sepanjang ada lagu yang muncul.  Di ujung film, penonton bertepuk tangan riuh, dengan berdiri, seakan sedang menyaksikan konser Queen secara live.  Ketika saya menonton, antusiasme yang sama juga ditunjukkan.  Dan, sama seperti sahabat saya yang membawa serta anak remajanya untuk menikmati Bohemian Rhapsody, wajah-wajah belia juga banyak saya saksikan di teater yang memutar film ini di Indonesia.  Ada yang datang bersama orangtua dan kerabatnya yang seusia penggemar Queen yang ‘seharusnya’, tetapi banyak pula yang datang dengan orang seumuran mereka.

 

Buat saya We Will Rock You akan selalu jadi lagu yang menjanjikan guncangan besar terhadap dunia.  We are the Champions selalu akan jadi lagu perayaan kemenangan yang paling kerap dinyanyikan.  Love of My Life adalah lagu cinta paling indah sekaligus pedih—dan Lucy Boynton yang menjadi Mary Austin patut diacungi jempol lantaran begitu pas memerankan karakter yang menjadi ilham lagu itu.  Bohemian Rhapsody adalah lagu yang membuat kita menerima bahwa kita tak perlu tahu pasti soal substansi untuk bisa mengapresiasi keindahan dan kemegahan.  

 

Lagu Bohemian Rhapsody dalam dunia musik rock adalah padanan Monalisa dalam karya seni lukis—kita menerima keduanya dengan kekaguman, walau tak betul-betul paham apa dan mengapanya.  Dan film Bohemian Rhapsody, di tengah nyinyir para kritikus, akan tetap dikenang sepanjang masa oleh para fansnya sejak lama sebagai film yang membangkitkan kembali kenangan atas dan merayakan kecintaan terhadap empat legenda musik rock itu; sekaligus sebagai film yang mampu menjaring jutaan fans baru.  Fans will be fans—begitu pelesetan judul lagu Queen yang terbayang di kepala saya atas perilaku kami semua.    

 

****

Sumber Gambar: http://freddiemercury.queen.pl/wp-content/uploads/2018/05/bo-rhap-6.jpg

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Jalal lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB