x

Iklan

Anggito Abimanyu

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Tekanan Pertumbuhan Ekonomi

Saat ini Indonesia masih dapat tumbuh di sekitar 5 persen karena ketahanan dari konsumsi rumah tangga.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tekanan Pertumbuhan Ekonomi

Oleh: Anggito Abimanyu

Dosen UGM, Yogyakarta

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Tahun 2018, ekonomi Indonesia mengalami tekanan dari sumber eksternal, kenaikan suku bunga AS dan perang dagang AS-China, serta internal dari defisit neraca transaksi berjalan.  Kedua faktor oertsebut telah menimbulkan ketidakstabilan dalam ekonomi makro kita dalam bentuk depresiasi nilai tukar dan kenaikan suku  bunga. Pada akhirnya berdampak pada tekanan pada pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Tekanan pertumbuhan ekonomi Indonesia akhir-akhir ini  berasal dari naiknya nilai impor. Naiknya impor melebihi ekspor akan berdampak pada defisit neraca tranksaksi berjalan.  Apabila cara menekan defisit dilakukan dengan menunda impor barang modal, akan berakibat pada penurunan investasi langsung. Apabila menekan defisit dengan cara apresiasi atau depresiasi nilai tukar akan berakibat pada penurunan cadangan devisa. Penurunan cadangan devisa akan menaikkan risiko ekonomi dan biaya peminjaman (cost of borrowing).  Begitulan seterusnya.  Ujung-ujungnya pada perlambatan pertumbuhan ekonomi dan gangguan penciptaan lapangan kerja.

Sumber pertumbuhan ekonomi berasal dari konsumsi rumah tangga, investasi swasta, ekspansi pemerintah atau APBN dan net ekspor. Saat ini Indonesia masih dapat tumbuh di sekitar 5 persen karena ketahanan dari konsumsi rumah tangga. Pertambahan penduduk per tahun 2 persen akan menambah secara otomatis tingkat konsumsi rumah tangga. Rendahnya tingkat inflasi juga akan meningkatkan pendapatan riil masyarakat. Program-program bantuan langsung melalui APBN dan APBD akan menopang daya beli masyarakat menengah ke bawah. Faktor yang paling penting dalam menekan inflasi dan juga daya beli masyarakat adalah stabilitas harga beras dan kebutuhan pokok pangan lainnya.

Investasi terutama infrastruktur meningkatkan rasio investasi ke tingkat di atas 30 persen dari PDB Indonesia, dan sebetulnya sudah mendekati rasio investasi di India. Tetapi efisiensi investasi infrastruktur kita cenderung menurun. Efisiensi investasi dapat diukur dari besarnya ICOR (Incremental capital output ratio), rasio antara tambahan investasi dengan tambahan output. Angka ICOR yang dianggap efisien secara konvensi adalah 3, sementara menurut perhitungan saat ini ICOR Indonesia mencapai sekitar 5. Investasi dalam bentuk infrastruktur juga tidak dapat dilihat hasilnya dalam jangka pendek. Dampak pembangunan jalan tol paling cepat 3-5 tahun setelah konstruksi, pembangkit listrik lebih lama 5-10 tahun, dan seterusnya.

Kontribusi anggara pemerintah dapat diukur dari tingkat ekspansi dan kontraksi APBN, khususnya besarnya pengeluaran belanja pemerintah di luar gaji. APBN selama ini mengalami defisit atau ekspansi, namun belum tentu menghasilkan pertumbuhan ekonomi karena tergantung pada sumber defisit, apakah belanja modal atau belanja sosial, termasuk subsidi. Defisit APBN yang disebabkan alokasi belanja modal akan berpengaruh positif pada pertumbuhan ekonomi, sementara alokasi belanja sosial lebih berfungsi untuk mempertahankan daya beli dan inflasi.

Pengeluaran untuk ekspor dan impor berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi. Apabila ekspor lebih besar daripada impor neto akan berpengaruh positif pada pertumbuhan ekonomi. Indonesia telah sejak lama mengalami surplus neraca perdagangan, namun mengalami defisit dari nerara transaksi berjalan atau neraca perdagangan plus neraca jasa. Pada 2018 ini defisit neraca transaksi berjalan sudah melampaui batas kurang aman, 3 persen dari PDB.

Pertumbuhan ekomomi tinggi sangat dibutuhkan untuk menciptakan lapangan pekerjaan dan sumber keperacayaan pelaku ekonomi. Apabila menghendaki pertumbuhan ekonomi tinggi dan jangka panjang maka sumber utama adalah investasi. Cina pernah mencapai pertumhuhan ekonomi di atas 10 persen selama 10 tahun (2000-2010), sumbernya adalah investasi yang mencapai 40 persen dari PDB. Di samping itu Cina juga mengalami surplus neraca transaksi berjalan.

Ekonomi Indonesia mengalami penyakit struktural, yakni kenaikan investasi harus ditopang dengan impor barang modal, sehingga menghambat ekspansi investasi. Kalau mau investasi mengakselerasi pertumbuhan ekonomi maka masalah defisit transaksi berjalan harus dibenahi terlebih dahulu. Dua sektor utama yang perlu dibenahi dalam defisit neraca transaksi berjalan adalah sektor migas dan sektor konstruksi, dua-duanya mengalami defisit yang sangat besar. Di samping itu, Indonesia juga mengalami penyakit lain yakni impor BBM yang cukup besar.

Sungguh sayang perbaikan di sektor keuangan dengan peningkatan peringkat utang tidak diimbangi dengan perbaikan di sisi peningkatan kemampuan produksi dalam negeri. Kemampuan perusahan  untuk meraih pembiayaan relatif murah tidak dapat dimanfaatkan secara optimal karena hambatan dalam impor barang modal. PLN adalah salah satu korbannya. Dengan alasan tingginya impor, maka beberapa proyek pembangkit harus ditunda.

Kalau Indonesia hanya mengharapkan dari sumber konsumsi maka petumbuhan ekonomi Indonesia tidak akan bergerak di atas 5,5 persen. Kebijakan konsumsi yang bertumpu stabilitas ekonomi tidak dapat bertahan lama karena stabilitas ekonomi tidak dapat diperoleh dengan gratis begitu saja. Membutuhkan intervensi Bank Indonesia untuk menstabilkan rupiah dan subsidi bahan kebutuhan pokok yang tidak kecil.

Pertumbuhan ekonomi jangka panjang di atas 6 persen hanya bisa dicapai jika Indonesia mendorong investasi dan perbaikan struktur neraca transaksi berjalan. Kedua kebijakan ini terkait dengan kebijakan Bank Indonesia dalam stabilitas makro ekonomi, reformasi kebijakan fiskal dan pendalaman  sektor keuangan.

2

Ikuti tulisan menarik Anggito Abimanyu lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler