x

Iklan

Mohamad Cholid

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

#SeninCoaching: Gagal Paham atau Kriminal?

“The customer is the center of business strategy”, kata Peter Drucker,

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

#Leadership Growth: Severe Misunderstood or Criminal?

Mohamad Cholid

Practicing Certified Executive and Leadership Coach

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

There are no bad industries; just bad leadership -- Verne Harnish

Pada pembukaan ScaleUp Summit di Denver pekan ketiga Oktober kemaren, Verne Harnish memperlihatkan foto mobil Ford Model T dan kuda. Kehadiran mobil ketika itu -- utamanya Ford Model T yang diluncurkan Ford Motor Company mulai 1908 dengan harga terjangkau bagi kalangan menengah Amerika – diperkirakan bakal menyingkirkan kuda dari peta bisnis transportasi.

Kenyataannya tahun lalu equine industry secara global menghasilkan US$ 300 milyar (billion). Bisnis kuda berhasil tumbuh dengan mengubah haluan, dari sekedar sebagai sarana transportasi masuk ke sektor entertainment – segmen usaha dengan tingkat pertumbuhan tercepat dalam ekonomi global. Entertainment di sini di antaranya bisa berupa pacuan kuda dan film.

Sesungguhnya tidak ada jenis industri yang jelek, problem muncul selalu lebih karena soal leadership, kata Verne Harnish, co-founder Gazelle – Growth Institute. Ini lembaga re-edukasi bisnis yang telah membantu ribuan organisasi di dunia melakukan scale up, tumbuh secara lebih sistematis dan sehat.

Para peserta ScaleUp Summit, atau program lain re-edukasi bisnis Growth Institute, umumnya para eksekutif perusahaan yang tengah tumbuh, rata-rata dari kelompok dengan revenue sekitar Rp 100 milyar sampai Rp 5 trilyun.

Berdasarkan best practices organisasi-organisasi yang sukses dibantu Growth Institute, empat urusan penting yang mesti aligned dalam proses pengambilan keputusan para leaders adalah People, Strategy, Execution, dan Cash.

Sekarang kita fokus pada Strategy dan perilaku kepemimpinan seperti apa yang paling efektif untuk ditampilkan para eksekutif dan leaders di organisasi Anda.

Bicara strategi, upaya utamanya adalah bagaimana membangun diferensiasi yang benar-benar kuat dibanding kompetitor. Persepsi adanya keunggulan atau keistimewaan produk/jasa organisasi Anda, penilaian yang paling valid tentunya datang dari customers.

Di sini ajaran Peter F. Drucker sejak 40 tahun silam tetap relevan, ”The purpose of  a company is to create customer. .. The only profit center is the customer.”  Kalau kata Jack Welch, CEO General Electric 1981 – 2001, sebagaimana dia sampaikan kepada karyawannya, “Tidak ada yang dapat menjamin kalian bisa tetap kerja. Hanya para pelanggan yang dapat memberikan jaminan pekerjaan kalian.”

Peter Drucker sepertinya berhasil mendahului zaman. Strategi yang berbasis pada filosofi bahwa tujuan utama bisnis adalah memberikan benefit sebanyak-banyaknya bagi pemegang saham, sebagaimana masih diyakini banyak organisasi sampai hari ini, terbukti layak ditinjau ulang.

Karena kenyataannya, dalam Abad 21 ini, praktik bisnis yang konsisten operasionalnya berdasarkan paham “the customer is the center of business strategy”, sebagaimana ditekankan Peter Drucker, justru yang sukses secara eksponensial – dengan demikian jadinya dapat memberikan benefit lebih besar pula bagi para pemegang saham.

Contoh kongkrit organisasi-organisasi yang sukses secara fenomenal karena memposisikan pelanggan sebagai inti dari strategi mereka, diantaranya, adalah: Uber, Go-Jek, Rent the Runway, Amazon.com, Google, Facebook, Airbnb.

Di dunia hospitality paling menonjol antara lain Ritz Carlton. Dengan mengembangkan corporate value Respect, jaringan hotel Ritz Carlton mempraktikkan “ladies and gentlemen serving ladies and gentlemen.” Moto yang menjadi semangat kerja semua lini, dari direktur, general manager, sampai staf room service, dan bell captain, lebih dari membuat bisnis mereka sukses, tapi juga dapat memuliakan tim dan tamu secara bersamaan.

Pola pikir dan action nyata yang mirip seperti itu, yaitu memuliakan tamu – dengan demikian juga dapat memuliakan diri sendiri dan organisasi – sudah lama dipraktikkan juga oleh sebuah hotel ekslusif di Paris.

General manager hotel tersebut, waktu itu Jean-Pierre, dalam periode tertentu memfungsikan dirinya sebagai staf level bawah, masuk kerja dari pintu karyawan biasa, mengisi daftar hadir, pakai seragam tim, makan di kantin bersama karyawan lain. Dalam periode itu, Jean-Pierre kadang seharian menyambut tamu di depan hotel atau di pinggir jalan tempat kendaraan tamu berhenti. Membantu mengangkat koper, saat hujan memayungi tamu, dan mengantar mereka sampai check-in beres dan tamu bersama koper mereka masuk ke kamar (Ron Kaufman, UpLifting Service).

Selama memposisikan diri jadi staf biasa tersebut, Jean-Pierre selain memberikan contoh kepada seluruh timnya bagaimana memberikan service prima bagi para pelanggan, juga mengumpulkan pendapat dan keinginan para tamu, apa saja yang mereka harapkan agar lebih dari puas dan happy di hotel itu. Informasi ini jadi landasan continuous improvement di bidang pelayanan.

Di bisnis tranportasi udara, contoh pelayanan pelanggan yang jauh di atas rata-rata – dan mereka berhasil mempertahankannya selama berpuluh tahun – adalah Singapore Airlines (SQ) dan Southwest Airlines.

Untuk SQ, sebagai maskapai penerbangan yang kualitas service-nya sudah melegenda, bagi Anda mungkin sudah biasa, kan penerbangan tarif normal. Untuk Southwest Airlines menjadi istimewa karena ini maskapai bertarif murah, dengan kualitas pelayanan istimewa.

Tampaknya Southwest Airlines berhasil merealisasikan misinya: “The mission of Southwest Airlines is dedication to the highest quality of Customer Service delivered with a sense of warmth, friendliness, individual pride, and Company Spirit.” Southwest Airlines -- selain faktor cuaca dan hal lain di luar kendali manusia -- dikenal selalu tepat waktu, pelayanannya fun-tastic.

Para penumpang sudah membuktikannya. Para pemegang saham juga menikmati benefitnya: 45 tahun sejak berdiri secara berturut-turut maskapai ini profitable.

Selama puluhan tahun beroperasi, Southwest baru dua kali kecelakaan, yang menewaskan penumpang sampai saat ini hanya sekali terjadi, 17 April 2018. Diakibatkan mesin rusak setelah lepas landas dari LaGuardia Airport, New York-- itu hanya satu orang penumpang yang meninggal, sementara lainnya luka ringan.

Transportasi darat yang berhasil meningkatkan kualitas pelayanan dan kini jadi rebutan penumpang adalah Kereta Api Indonesia (PT KAI). Dulu moda transportasi darat yang bebas terkena kamecatan lalu-lintas ini dijauhi publik, utamanya kalangan menengah ke atas. Karena beli karcis repot, toilet jorok, tidak tepat waktu, dst.nya. Belakangan, sekitar sepuluh tahun terakhir ini, kendati monopoli di trasportasi darat bebas macet, KAI berhasil melakukan transformasi – bahkan sebagian dari kita melihatnya sebagai revolusi dalam pelayanan pelanggan.

Disamping kemudahan membeli tiket, para penumpang KAI sekarang senang karena perjalanan tepat waktu, kereta bersih (ada petugas on-trip cleaning service), pilihan kenikmatannya bervariasi, dari kelas ekonomi premium sampai kelas yang tempat duduk penumpangnya mirip di first class SQ. Tiket KAI di akhir pekan, bahkan bukan di musim liburan, sering sold out di semua kelas dan jalur. Termasuk yang harganya lebih mahal dibanding tiket pesawat terbang dari jarak yang sama (misalnya Semarang-Jakarta) juga habis.

Kalau di sana-sini masih ada kekurangan, itu jadi peluang KAI untuk perbaikan. Karena upaya peningkatan service adalah sebuah journey, bukan tujuan akhir. Selalu perlu dikembangkan seirama dengan kebutuhan pelanggan. SQ dan Southwest Airlines bisa meraih kualitas pelayanan seperti sekarang ini juga memerlukan proses pelatihan terus-menerus, secara periodik.

Jadi, kalau sampai hari ini masih ada organisasi, lebih utama di jasa transportasi – karena berkaitan dengan keselamatan nyawa pelanggan – yang service-nya masih dibawah standard, boleh dipertanyakan niat tulusnya dalam membangun bisnis.

Apakah Anda setuju jika perusahaan-perusahaan yang merugikan pelanggan, dari sektor perbankan, media, sampai transportasi, kita sebut organisasi yang “gagal paham” tentang pentingnya customer sebagai titik sentral strategi dan bahwa memuliakan manusia dapat memberikan benefit bagi semua pihak, tentunya juga pemegang saham?

Kalau bisnis mereka hanya mengandalkan lip-service dan marketing gimmick kosong makna dan bukti, faktanya sering menimbulkan penderitaan pelanggan. Dari ketidaknyamanan, delay, cancel, sampai kematian ratusan nyawa manusia.

Di Asia ini ada maskapai-maskapai yang dipersepsikan beberapa kali merugikan penumpang. Bahkan, kalau kata orang Amerika, ‘’arrogancy kills people….” Mereka sebut arogan karena indikasinya tidak rendah hati untuk mematuhi check list dari sejak ground handling, bahkan untuk technical issues, sampai take off. Masukan dan keluhan pelanggan selama ini sepertinya juga tidak digubris.  

Kalau dilihat dari perspektif Ron Kaufman, pelayanan yang merugikan konsumen dapat dikategorikan criminal. Dalam upaya peningkatan pelayanan pelanggan, Ron Kaufman layak kita simak, mengingat reputasinya sebagai konsultan dan praktisi UpLifting Service sudah teruji. Ketika saya mengikuti workshop-nya sekian tahun silam. dia sudah belasan tahun menjadi konsultan Pemerintah Singapura, untuk bisnis, sektor pendidikan, sampai pelayanan publik.

Ron Kaufman memperkenalkan The Six Levels of Service. Kualitas paling bawah adalah criminal level, lalu basic, expected, desired, surprising, sampai unbelievable. Katanya, “Criminal level service breaks a service promise, it violates even minimum expectation.”

Memberikan pelayanan publik dan pelanggan yang membahagiakan, agar bisnis lebih profitable dan sekalian meningkatkan derajat manusia, adalah pilihan para eksekutif dan leaders di organisasi masing-masing untuk mewujudkannya.

Organisasi-organisasi yang sukses berkelanjutan karena faktor pelayanan hebat  ternyata tidak dimonopoli generasi baru, seperti Airbnb atau Go-Jek – yang dapat memberikan kenyamanan pelanggan sesuai dengan maunya mereka (based on their time and their term). Ada juga organisasi lama dan besar yang sukses di sini.

Di tingkat dunia contohnya multinasional General Electric (GE) yang sudah berusia lebih dari 130 tahun dan salah satu organisasi besar (konglomerat) yang telah bekerja sama dengan Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching (MGSCC) mengembangkan efektivitas kepemimpinan para eksekutifnya.

Di Indonesia contoh keberhasilan transformasi pelayanan pelanggan antara lain PT KAI, perusahaan yang sudah puluhan tahun monopoli angkutan darat, tapi telah rendah hati dan terbuka pikirannya melakukan perubahan signifikan.

Di GE, melaksanakan lean management adalah mengubah mind-set agar lebih lincah, cekatan, dan siap tumbuh mengantisipasi perubahan. “Lean management calls for customers to be at the center of every decision. Have them be not just a recipient of our products and services but also a participant of the process,” kata Raghu Krishnamoorthy, penanggung jawab pengembangan human capital dan kepemimpinan GE (Peter Drucker’s Five Most Important Questions, Enduring Wisdom for Today’s Leaders, 2015).  

Kompetensi leadership para eksekutif hari ini diukur utamanya dari keberhasilan megembangkan organisasi mengimplementasikan customer-first thinking sebagai business model. Keberhasilan Anda bergantung pada kemampuan Anda memberikan kontribusi kepada para pelanggan dalam upaya mereka meraih sukses. Itu merupakan proses berkelanjutan. A never ending journey.  

 

Mohamad Cholid  adalah Head Coach di Next Stage Coaching.

n  Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching

n  Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment

Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman

(http://id.linkedin.com/in/mohamad-cholid-694b1528)

(http://sccoaching.com/coach/mcholid1)

 

Ikuti tulisan menarik Mohamad Cholid lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler