x

Iklan

Acep Iwan Saidi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Semiotika Genderuwo

Tinjauan semiotika tentang uangkapan "Politik Genderuowo" yang dilontarkan Presiden Jokowi

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Setelah idiom “politisi sontoloyo,” calon presiden nomor urut 1, Joko Widodo (Jokowi), kembali melontarkan istilah metaforik lain, yakni “politik Genderuwo”.  Istilah ini digunakan untuk menjelaskan situasi politik yang, katanya, menakutkan, isu-isu palsu, hoax, politisi yang mengancam-ancam, dan seterusnya yang membuat publik stress, rakyat ketakutan.

Tapi, bagaimanakah konkretnya situasi politik yang menakutkan tersebut? Siapa pula politisi yang melontarkan teror menakutkan? Dan apakah benar rakyat ketakutan. Jokowi tidak menjelaskannya. Dari sisi semiotika, di sinilah kemudian muncul masalahnya.

Karena tidak ada rujukan yang jelas tentang realitas politik yang menakutkan tersebut, diksi “genderuwo” pun menjadi retorika politik Jokowi semata. Capres nomor urut 1 ini melakukan  “encoding” untuk  menggiring opini publik bahwa sejauh ini tindakan lawan politiknya “menyerupai perilaku genderuwo”.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jadi, secara semiotika, deskripsi situasi politik yang menakutkan adalah sebuah petanda (referensi) yang diciptakan Jokowi untuk menyambungkannya pada diksi “genderuwo” sebagai penanda. Di situ, Jokowi tengah menciptakan mitos baru tentang genderuwo, yakni genderuwo adalah karakteristik para politisi yang menjadi lawannya di pilpres 2019. Dengan demikian, deskripsi menakutkan dan memetaforisasinya dengan sebutan genderuwo adalah praktik penggunaan bahasa semata. Sekali lagi, itu sebuah retorika politik.

Dalam retorika sedemikian, genderuwo adalah “new-coding” (kode baru yang diciptakan) dengan memanfaatkan kode lama yang telah menjadi ingatan masyarakat. Target politis dalam rentang minimal beberepa bulan sampai waktu pemilihan adalah terciptanya relasi timbal-balik antara petanda (konsep) dengan penanda. Jika Anda bicara perilaku lawan politik Jokowi, artinya Anda berbicara tentang gederuwo. Sebaliknya, jika Anda ingat genderuwo, Anda sedang mengingat perilaku lawan politik Jokowi. Ibarat iklan sabun: cantik adalah lux; lux adalah cantik. Pilihan idiom dari dunia mitologis akan memudahkan proses ini.

Apakah proses itu berjalan efektif? Faktanya ia viral, ditangkap media, dan diperbincangkan (dipersoalkan) oleh berbagai pihak. Tapi, dari fenomena ini sekaligus dapat ditemukan keunikan bahasa. Sebagai tanda yang paling sempurna (sebagaimana dikatakan Ferdinand de Saussure),  bahasa merupakan sebuah entitas yang memiliki ruang tafsir tanpa batas. Bahasa yang digunakan seseorang tidak serta merta menjadi objek yang dapat dipermainkan orang tersebut. Alih-alih demikian, ia justeru bisa berbalik “menelannya”.

Dalam kasus idiom “genderuwo” yang dikonstruksi Jokowi menjadi penanda baru di atas, satu hal telah luput dari amatan para konsultan politik capres nomor urut 1 ini. Hal itu adalah terputusnya deskripsi ketakutan dengan realitas riil-nya. Seperti telah disinggung di awal, Jokowi tidak memberikan contoh konkret tentang realitas menakutkan tersebut. Padahal, sebagaimana kita ketahui bersama, sejauh ini situasi politik kita belum parah-parah amat sampai “sangat menakutkan” segala. Karena itu, jangan-jangan deskripsi tentang situasi menakutkan tersebut merupakan ungkapan taksadar, semacam kegalauan karena ketakutan sendiri.

Deskripsi  Jokowi yang “simulatif” atau tidak representatif sedemikianlah yang menyebabkan pernyataan Jokowi menjadi sangat lemah, rapuh, dan karena itu mudah dipatahkan. Maka muncullah kemudian idiom-idiom dari kubu oposisi yang dengan telak menunjuk bahwa genderuwo itu sesungguhnya justru terdapat di kubu Jokowi sendiri. Serangan terhadap petahana (pemerintah) bagaimanapun akan lebih mudah sebab petahana telah menunjukkan “siapa dirinya” selama satu periode yang telah dan sedang berjalan.  Adalah lumrah jika oposisi mengungkap sisi lemah petahana sebagai data dan argumen serangannya—dalam hal ini serangan balik.

Akibatnya, “perang bahasa” pun kemudian menjadi semakin tajam. Polarisasi kian mengkristal. Ketakutan—jika itu ada—kian bertambah. Walhasil, suasana ketakutan sebenarnya muncul (dan/atau menguat) justeru setelah Jokowi mendeskripsikannya dan meng-encodingnya dengan sebutan “genderuwo”. Dengan kata lain, genderuwo itu ada dan menghantui ketika ia disebut (dipanggil) dan dikisahkan. Bukankah demikian karakter mitos. Kita meyakini makhluk mitologis itu ada di dalam cerita, padahal sedikit sekali atau bahkan tidak pernah ada yang bertemu dengannya dalam realitas. Paling banter, ia hanya ilusi.

Semoga para politisi itu tidak terus-menerus membawa bangsa ini ke dalam ilusi***

Ikuti tulisan menarik Acep Iwan Saidi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler