x

Iklan

Xavier Quentin Pranata

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Dari Tampang Boyolali Sampai Raja Jokowi

Rakyat yang ingin hidup tenang jelas terganggu dengan perang tagar, perang psikologi, perang maya di medsos maupun perang di ladang tempur.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kader PDIP terlihat mencopoti alat kampanye bergambar ‘Raja Jokowi’ dengan tulisan “AYO KITA BEKERJA UNTUK RAKYAT”. Kok aneh? Apalagi di X-banner itu ada lambang banteng bermoncong putih. Ternyata gambar yang tersebar luas di Jateng itu bukan alat peraga resmi pasangan Jokowi-Ma’ruf, melainkan dipasang oleh pihak tertentu dengan bayaran 5 ribu rupiah per gambar.

Lalu mengapa dicopot? Bukankah menguntungkan jika ada pihak lain—bahkan pihak lawan sekalipun—yang memasang gambar kampanye lawan politiknya? Tentu tidak. Di satu sisi bisa saja alat kampanye itu menguntungkan pihak Jokowi. Apalagi yang tidak mengerti filosofi sindiran dan sinisme tajam di balik gambar itu. Namun, bagi partai sebesar PDIP, penggambaran Jokowi sebagai Raja Jawa itu sungguh menusuk sangat dalam. Seorang raja diasosiasikan sebagai orang berdarah biru yang minta dilayani. Bukan melayani. Jadi, tulisan “Ayo Bekerja untuk Rakyat” lebih ke arah sindiran ketimbang sanjungan.

Kasus yang heboh dan viral ini mengingatkan saya kepada buku karya Adam Schwarz berjudul A Nation in Waiting: A Search of Indonesia’s Stability yang sempat dilarang. Dampak yang terjadi justru sebaliknya. Karena dilarang, banyak orang justru mencarinya sampai di luar negeri. Itu pun harus antre dan menunggu (in waiting he, he, he). Mereka yang tidak sabaran menyambar begitu saja buku yang difoto kopi dan diedarkan secara ‘sembunyi-sembunyi’ dari mulut ke mulut eh dari tangan ke tangan. Mengapa kata ‘sembunyi-sembunyi’ saya pisahkan dengan tanda kutip? Karena sudah menjadi rahasia umum bahwa dengan sejumlah uang, kita bisa mendapatkan kopinya. Mirip dengan soal Unas yang bocor, bukan?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Isinya memang banyak mengkritik penguasa saat itu dan kebijakan-kebijakan poleksosbudhankamnas yang tidak bijak sehingga membuat rakyat terpuruk dan gedung MPR-DPR diluruk. Namun, menurut saya, persoalannya lebih terletak kepada judulnya yang ‘menampar’ dengan cerdik. Kata ‘in waiting’ bisa bermakna ganda. Di satu sisi bisa saja berarti ‘menunggu’ kasus besar dibereskan, misalnya saja bail out Bank Century. Bisa juga artinya ‘melayani’. Siapa melayani siapa? Siapa lagi kalau bukan rakyat melayani penguasa pada saat itu? Dugaan saya—sekali lagi asumsi saya—bagian kedua inilah yang ditembakkan ke kubu petahana. Gambar Raja Jawa di situ dikontraskan dengan frasa ‘Bekerja untuk Rakyat’. Bisa saja yang punya ide ingin bertanya sarkas, “Sebenarnya, siapa yang melayani siapa?”

Jika intinya seperti itu, sejalan bukan dengan puisi ‘Sontoloyo’ dan ‘Genderuwo’ versi Fadli Zon? Tentu saja PDIP tidak mau capres yang diusungnya dipersepsikan begitu.

Asumsi dan persepsi, siapa yang bisa menebak ke arah mana? Contoh paling gamblang adalah waktu Prabowo bicara soal ‘tampang Boyolali’ dikaitkan dengan hotel-hotel termahal di dunia. Meskipun diklarifikasi oleh pihak Prabowo dan yang bersangkutan sudah meminta maaf, orang-orang Boyolali yang merasa terhina tentu saja tidak terima. Bupatinya pun bahkan membalasnya dengan kata-kata yang dianggap haram untuk diucapkan.

Soal ejek-mengejek, olok-mengolok, hina-menghina ini dialami banyak pemimpin negara baik di Indonesia maupun manca negara. Almarhum Yosef Rizal dianggap putus urat takutnya saat membawa seekor kerbau bertuliskan ‘SiBuYa’ dengan huruf putih besar dengan foto SBY dengan judul ‘TURUN!!!!” dalam demonstrasi menyikapi 100 hari pemerintahan SBY-Boediono.

Jika SBY yang berpenampilan kalem dan berwibawa saja bisa diterpa cela, apalagi tokoh kontroversial seperti Donald Trump dan Kimg Jong Un. Apa yang bisa diejek dari pemimpin AS dan Korut ini? Donald Trump rambutnya yang bak jagung dan ucapannya yang memang ceplas-ceplos. Ketika Trump sedang berkampanye di Trump Plaza, saya yang kebetulan mendapat undangan bicara di New York City, sempat mendengar celotehan miring orang-orang terhadapnya. Dia dianggap predator wanita cantik dan anti-Islam. Patung telanjangnya bahkan dipasang di public area dan dijadikan selfie eh wefie orang-orang Amrik. Tanda tangan Kim Jong Un yang garisnya tajam naik turun dilecehkan sebagai ‘rudal jatuh’. Mungkin karena pemimpin Korut yang dianggap diktator ini gemar mengancam negara mana pun—terutama Korsel—dengan hujan rudal.

Kita yang terlalu sibuk menanggapi ‘psywar’ ini lupa bahwa Yesus pun pernah mendapatkan olok-olok mirip seperti yang Jokowi alami. Jika Jokowi diserang via gambar, Yesus mengalaminya langsung. “Kemudian serdadu-serdadu wali negeri membawa Yesus ke gedung pengadilan, lalu memanggil seluruh pasukan berkumpul sekeliling Yesus. Mereka menanggalkan pakaian-Nya dan mengenakan jubah ungu kepada-Nya. Mereka menganyam sebuah mahkota duri dan menaruhnya di atas kepala-Nya, lalu memberikan Dia sebatang buluh di tangan kanan-Nya. Kemudian mereka berlutut di hadapan-Nya dan mengolok-olokkan Dia, katanya: "Salam, hai Raja orang Yahudi!" Mereka meludahi-Nya dan mengambil buluh itu dan memukulkannya ke kepala-Nya. Sesudah mengolok-olokkan Dia mereka menanggalkan jubah itu dari pada-Nya dan mengenakan pula pakaian-Nya kepada-Nya. Kemudian mereka membawa Dia ke luar untuk disalibkan.”

Rakyat yang ingin hidup tenang jelas terganggu dengan perang tagar, perang psikologi, perang maya di medsos maupun perang di ladang tempur. Sikap bijaksana bukan berkata, “Ah, masa bodoh. Aku tidak mau bermain politik.” Orang yang tidak berpolitik sebetulnya sudah berpolitik. Golput pun sikap politik. Gerakan non-Blok yang digagas Perdana Menteri India Nehru pun ternyata membentuk blok baru kan? Bahkan jumlahnya mencapai lebih dari 100 negara atau 55% penduduk dunia.

Membalas air tuba dengan air susu bisa jadi solusi praktis. Ketika berada di depan pecahan Tembok Berlin, saya mendapat kisah inspiratif. Sebelum tembok yang memisahkan Jerman Barat dan Jerman Timur itu runtuh—tepatnya dirobohkan—ada ‘perang’ antar warga di sekitar tembok. Mungkin karena iri dengan kemakmuran Jerman Barat, penduduk Jerman Timur di sekitar tembok tebal itu suka melempari tetangga sebangsa dan setanah air itu dengan sampah. Menanggapi ‘serangan’ saudaranya itu, warga Jerman Barat di dekat tembok membalasnya dengan melemparkan daging, roti, sayur dan makanan kaleng dari Jerman Barat ke Jerman Timur. Serangan dari Jerman Timur langsung berhenti. Perdamaian lokal itu menjadi salah satu pendorong kedua pemimpin untuk duduk di meja perundingan. Hasilnya? Jerman bersatu.

Bisakah cebong dan kampret menghentikan ‘perang’ di berbagai sendi kehidupan ini agar Indonesia bisa menjalankan pesta demokrasi tanpa berubah jadi ‘democrazy’? Saat menulis kolom ini, seorang sahabat mengirimi saya meme dengan tulisan: “Menurut ilmu kedokteran, rata-rata tubuh manusia terhadap 350 sendi. Ada satu sendi yang paling menyakitkan, apa itu? SENDI-RIAN.” Jika kita berjuang sendiri-sendiri, bisa jadi ada negara lain yang ingin mengulang kesuksesan Belanda saat menjajah Indonesia dengan metode devide et impera. Ketimbang diadu domba dan selalu mencari kambing hitam, mengapa tidak merayakan kebersamaan dengan sate kambing dan kambing guling saja? Atau bagi yang doyan, swikee dan paniki?

Xavier Quentin Pranata, pelukis kehidupan di kanvas jiwa.

 

Ikuti tulisan menarik Xavier Quentin Pranata lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler