x

Iklan

Raditya Wahyuni

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Child Marriage?

Child Marriage

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

J, yang masih berumur 13 tahun, merupakan siswi SD di Kabupaten Bangli, Bali. Suami J, yaitu WC (40), ditetapkan sebagai tersangka atas pelanggaran UU Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara. Informasi mengenai alasan keduanya menikah  pun simpang siur. Ada yang menduga J sudah dihamili WC sehingga dipaksa menikah, namun WC membantahnya. Ia mengaku menikah atas dasar suka sama suka. Tapi ternyata, WC sudah memiliki istri pada saat itu. J melahirkan bayi pada usia kandungan enam bulan. Setelah delapan jam proses persalinan normal, bayi dengan berat 600 gram dan panjang 21 cm itu berhasil dilahirkan. Namun, setelah perawatan intensif di RSUD Bangli, nyawanya tak tertolong. Setelah pulih, J tidak kembali ke sekolah (Rappler).

Early Marriage atau Child Marriage masih sangat marak terjadi di negara kita ini, Indonesia. Namun, apa sih Early Marriage atau Child Marriage itu?

Menurut UNICEF, Child Marriage adalah pernikahan formal atau informal yang terjadi apabila salah satu mempelai berumur sebelum18 tahun, dan merupakan pelanggaran hak asasi manusia [1]. Pernikahan anak tersebar luas dan dapat menyebabkan kerugian dan kekurangan seumur hidup [2]. UNICEF mengatakan, secara global [1]:

  1. 21% anak perempuan & 4% anak laki-laki menikah SEBELUM ulang tahunnya yang ke 18
  2. 12.000.000 anak perempuan dibawah umur 18 tahun menikah setiap tahunnya
  3. 650.000.000 anak perempuan dan wanita yang hidup pada saat ini, menikah saat masih kecil
Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dari poin nomor satu, dapat disimpulkan bahwa Child Marriage jauh lebih banyak terjadi pada anak perempuan dibanding anak laki-laki. Anak perempuan yang menikah tidak hanya mengingkari masa kecil mereka. Mereka terisolasi secara sosial - terputus dari keluarga dan teman-teman dan sumber dukungan lainnya - dengan tentu saja kesempatan yang terbatas untuk pendidikan dan pekerjaan. Dengan demikian, tingkat pendidikan yang lebih rendah ditemukan di kalangan wanita yang menikah di masa kecil. Contonya di Malawi, hampir 2/3 perempuan tanpa pendidikan formal telah melakukan Child Marriage dibandingkan dengan 5%  perempuan yang menghadiri sekolah menengah atau tingkat pendidikan yang lebih tinggi [3]. Selain itu, ternyata hampir setengah dari Child Marriage di Dunia terjadi di Asia Selatan; 1/3nya ada di India [4].

Itu dalam skala Dunia, kalau dalam skala Indonesia?

Berdasarkan hasil SDKI tahun 2012, 17% perempuan yang berusia 20-24 tahun melaporkan bahwa mereka menikah sebelum usia 18 tahun, dan pernikahan diantara anak perempuan berusia 15 tahun adalah 3% [5]. Selain itu, anak perempuan di Indonesia yang menikah sebelum umur 18 tahun setidaknya memiliki kemungkinan 4x lebih kecil untuk menyelesaikan pendidikan SMP [6].

Faktor penyebab adanya Child Marriage ini pun banyak. Mulai dari Tradisi/adat, pendidikan rendah, perjodohan, sampai seks sebelum nikah [7].

Child Marriage disebabkan oleh ketidaksetaraan gender, dan bagaimana anak (laki-laki, maupun mayoritas perempuan) dipandang dalam masyarakat, komunitas, dan keluarga. Jika sebagian besar manusia beranggapan bahwa peran perempuan adalah sebagai ISTRI dan IBU, maka lebih besar pula kemungkinannya untuk dinikahkan pada usia muda. Oleh karna itu pula, semakin kecil kemungkinannya untuk mendapatkan akses dalam meningkatkan pendidikan. Dibanding dengan anak laki-laki, anak perempuan terkena dampak yang lebih berat pula karena mereka melahirkan anak dan bertanggung jawab terhadap rumah tangganya [8].

Selain itu, Child Marriage juga sangat terkait dengan kemiskinan. Anak perempuan di daerah pedesaan 3x lebih cenderung menikah sebelum usia 18 tahun dibandingkan dengan anak perempuan di daerah perkotaan. Anak perempuan dari rumah tangga dengan tingkat pengeluaran terendah hampir 5x lebih mungkin untuk menikah sebelum usia 18 tahun daripada anak perempuan dari rumah tangga dengan tingkat pengeluaran tertinggi [6].

 Dan ternyata, anak perempuan 3x lebih kecil kemungkinannya untuk menikah sebelum usia 18 tahun jika kepala rumah tangga mereka telah menyelesaikan universitas dibandingkan dengan sekolah dasar! [6].

Dan dampak dari Child Marriage ini pun tidak kalah banyaknya, mulai dari drop out sekolah, instabilitas keluarga, KDRT, kesehatan, dan subordinasi perempuan [7]. Kondisi yang fatal dan mengancam jiwa akan dialami oleh 14,2 juta anak perempuan di seluruh dunia yang menjadi pengantin anak setiap tahunnya selama periode 2011-2020 [9].

Dari sisi kesehatan pun terbagi menjadi 2 sisi, yaitu; kesehatan fisik dan kesehatan mental.

Child Marriage menyebabkan kehamilan dan persalinan dini, yang berhubungan dengan angka kematian yang tinggi dan keadaan tidak normal bagi ibu karena tubuh anak perempuan belum sepenuhnya matang untuk melahirkan [10]. Anak perempuan usia 10-14 tahun memiliki risiko lima kali lebih besar untuk meninggal dalam kasus kehamilan dan persalinan daripada perempuan usia 20-24 tahun, dan secara global kematian yang disebabkan oleh kehamilan merupakan penyebab utama kematian anak perempuan usia 15-19 tahun [11]. Anak perempuan menghadapi risiko tingkat komplikasi yang terkait dengan persalinan yang jauh lebih tinggi, seperti fistula obstetri, infeksi, perdarahan hebat, anemia dan eklampsia [12]. Terdapat kajian yang menunjukkan bahwa perkawinan usia anak di Indonesia berhubungan dengan buruknya kesehatan reproduksi dan kurangnya kesadaran anak perempuan terhadap risiko persalinan dini [13].

Berbagai kajian menunjukkan bahwa anak perempuan yang menikah pada usia dini memiliki risiko tinggi untuk mengalami kecemasan, depresi, atau memiliki pikiran untuk bunuh diri, sebagian dapat disebabkan mereka tidak memiliki status, kekuasaan, dukungan, dan kontrol atas kehidupan mereka sendiri [14]. Selain itu mereka juga kurang mampu untuk menegosiasikan hubungan seks aman, sehingga meningkatkan kerentanan mereka terhadap infeksi menular seksual seperti HIV [15]. Kajian lain juga menunjukkan bahwa pengantin anak memiliki peluang lebih besar untuk mengalami kekerasan fisik, seksual, psikologis, dan emosional, serta isolasi sosial, yang merupakan akibat dari kurangnya status dan kekuasaan mereka di dalam rumah tangga mereka [16].

Namun, menurut laporan terbaru dari UNICEF, terdapat penurunan angka pernikahan anak di bawah umur di seluruh dunia. UNICEF juga mengatakan, sekitar 25 juta pernikahan anak berhasil dicegah dalam beberapa dekade terakhir dan negara-negara di Asia Selatan merupakan kawasan yang mengalami penurunan angka penikahan di bawah umur paling signifikan [BBC].

yuk. #ENDchildmarriage

DAFTAR PUSTAKA

  1. UNICEF. 2018. Child Marriage Around The World. Available at:  https://www.unicef.org/stories/child-marriage-around-world
  2. UNICEF. Available at:  https://www.unicef.org/protection/58008.html
  3. UNICEF. 2014. Ending Child Marriage: Progress and Prospects. Available at:  https://www.unicef.org/media/files/Child_Marriage_Report_7_17_LR..pdf
  4. UNICEF global databases, 2014, based on Demographic and Health Surveys (DHS), Multiple Indicator Cluster Surveys (MICS) and other nationally representative surveys, 2005-2013. Population data are from: United Nations, Department of Economic and Social Affairs, Population Division, World Population Prospects: The 2012 revision, CD-ROM edition, United Nations, New York, 2013.
  5. UNICEF. 2016. Kemajuan yang Tertunda: Analisis Data Perkawinan Usia Anak di Indonesia. Available at:  https://www.unicef.org/indonesia/id/Laporan_Perkawinan_Usia_Anak.pdf
  6. UNICEF. Child marriage in Indonesia. Available at: https://www.unicef.org/indonesia/Child_Marriage_SDG_Factsheet_english.pdf
  7. Karniawati & Djamilah. 2014. Dampak perkawinan anak di Indonesia. Available at: https://journal.ugm.ac.id/jurnalpemuda/article/viewFile/32033/19357
  8. AIPJ. (2014). Baseline study on legal identity: Indonesia's missing millions. Jakarta, Indonesia: AIPJ
  9. Marrying Too Young: End Child Marriage, pp. 11, 44.
  10. Centre for Reproductive Rights. (2013). Accountability for Child Marriage: Key U.N. Recommendations to Governments in South Asia on Reproductive Health and Sexual Violence (Fact Sheet). New York: CFRR, p. 4; and Kim, M. et al., (2013). When Do Laws Matter? National Minimum-Age-of-Marriage Laws, Child Rights, and Adolescent Fertility, 1989–2007. Law & Society Review, 47, (3), pp. 589, 591.
  11. WHO. (2014). World Health Statistics 2014. Geneva, Switzerland: World Health Organization; Raj, A. (2010). When the mother is a child: The impact of child marriage on the health and human rights of girls. Boston. Archives of disease in childhood. 95, (11), p. 931.
  12. Accountability for Child Marriage, p. 4
  13. Evenhuis and Burn. Just Married, Just a Child, p. 26.
  14. Raj, A. When the mother is a child, p. 931; Gage, A.J. (2013). Association of child marriage with suicidal thoughts and attempts among adolescent girls in Ethiopia. Journal of Adolescent Health, 52, (5), p. 654; and Evenhuis and Burn, Just Married, Just a Child, p. 20.
  15. Ending Child Marriage: Progress and prospects, p. 4. 50 Jain and Kurz, New Insights on Preventing Child Marriage, p. 8; ICRW. Development Initiative on Supporting Health Adolescents (DISHA) Project; and Raj When the mother is a child, p. 931.
  16. UNICEF. (2012). Progress for Children: A report card on adolescents: Number 10. New York: New York: UNICEF. p. 47.

Ikuti tulisan menarik Raditya Wahyuni lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB