x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Orang Tionghoa Padang

Penjelasan mengapa orang Tionghoa Padang mampu mempertahankan tradisinya sekaligus menyerap budaya lokal.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Orang Padang Tionghoa

Penulis: Riniwaty Makmur

Tahun Terbit: 2018

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Tebal: xxii + 346

ISBN:  978-602-412-418-2

Tionghoa di Padang adalah sebuah fenomena menarik. Sebab mereka hidup terkumpul dalam satu wilayah, yaitu wilayah Pondok. Di luar wilayah tersebut, sulit ditemukan rumah atau lahan yang dimiliki oleh orang Tionghoa. Kondisi ini tentu sangat berbeda dengan kota-kota kebanyakan di Indonesia. Komunitas Tionghoa Padang yang terkumpul ini pasti ada sebabnya. Meski pemisahan pemukiman oleh Belanda dipakai sebagai penyebab terkotaknya orang-orang Tionghoa, namun alasan tersebut belumlah memadai. Sebab bukankah kebijakan Belanda tersebut juga dilakukan di seluruh wilayah Hindia Belanda? Mengapa di Padang orang-orang Tionghoa tetap terkelompok?

Buku “Orang-Orang Tionghoa Padang” ini tidak secara khusus menjawab pertanyaan di atas. Riniwaty Makmur memfokuskan kajiannya bagaimana orang-orang Tionghoa Padang bertahan dengan identitasnya ditengah masyarakat yang “berbeda” dari mereka. Riniwaty tidak banyak menjabarkan perbedaan antara Tionghoa dengan Minang yang menjadi penduduk dominan di Kota Padang. Riniwaty juga tidak membahas sebab-sebab mengapa tidak ada rumah-rumah Tionghoa di luar wilayah Pondok.

Apa yang diungkapkan oleh Riniwaty dalam buku ini sangatlah menarik. Ia menjabarkan dengan sangat rinci mengapa orang-orang Tionghoa Padang mampu mempertahankan ke-Tionghoa-annya. Riniwaty justru menunjukkan bahwa faktor kematianlah yang menjadi faktor penting terpeliharanya budaya Tionghoa di Padang. Prosesi penguburan sebagai faktor pendukung keberlangsungan eksistensinya (Tionghoa) (hal. 56). Prosesi penguburanlah yang membuat orang-orang Tionghoa memelihara tradisinya. Lahan kuburan yang berada di puncak bukit dan harus menyeberang teluk membuat orang-orang Tionghoa Padang harus bergotong royong untuk melakukan prosesi penguburan, jika ada anggota keluarganya yang meninggal.

Seperti halnya orang-orang Tionghoa di Indonesia lainnya, orang Tionghoa Padang juga mengalami tekanan dari negara. Mereka juga terdampak kebijakan ganti nama, pelarangan penggunaan Bahasa China dan pelarangan budaya Tionghoa dilakukan di ruang publik. Orang-orang Tionghoa Padang juga banyak yang beralih agama karena sulitnya mempertahankan agama aslinya dalam proses-porses administrasi kependudukan. Namun ternyata orang-orang Tionghoa Padang mampu bertahan dengan eksistensi ke-Tionghoa-annya.

Dengan menggunakan tipe hubungan antara pendatang dengan penduduk lokal, yaitu asimilasi, separasi, integrasi dan marginalisasi (hal. 55), Riniwaty justru menemukan bahwa orang-orang Tionghoa di Padang melakukan hibridisasi, yaitu membangun budaya baru berbasis pada identitas ke-Tionghoa-an. Hibridisasi itu tertuang dalam penggunaan bahasa dan kuliner. Orang-orang Tionghoa Padang berkomunikasi dengan menggunakan Bahasa Minang logat Tionghoa, atau lebih dikenal dengan Bahasa Minang Pondok (hal. 230). Sedangkan dari sisi kuliner, orang-orang Tionghoa banyak mengadopsi masakan Padang yang telah dimodifikasi (hal. 246).

Organisasi kemasyarakatan adalah sarana yang sangat penting bagi orang Tionghoa Padang dalam mempertahankan identitasnya. Ada dua jenis kongsi kemasyarakatan, yaitu kongsi gedang (besar) dan kongsi kecik (kecil). Kongsi gedang, yaitu organisasi lintas marga ada dua. Kongsi gedang tersebut adalah Heng Beng Tong atau telah berganti nama menjadi Himpunan Bersatu Teguh dan Hok Tek Tong atau yang telah berganti nama menjadi Himpunan Tjinta Teman. Sedangkan kongsi kecik adalah organisasi berbasis marga. Ada delapan kongsi kecik, yaitu (1) Perkumpulan Marga Lim, (2) Perkumpulan Marga Lie-Kwee, (3) Perkumpulan Marga Gho, (4) Perkumpulan Marga  Tan, (5) Perkumpulan Marga Huang atau Oei/Ng/Wong, (6) Perkumpulan MargaTjoa dan Kwa, (7) Perkumpulan Marga Ong/Wang, dan (8) Perkumpulan Marga Kho (Xu) (hal. 147).

Kedua kongsi gedang bergerak di bidang sosial kemasyarakatan. Dua organisasi ini membantu mereka yang miskin dan membantu prosesi penguburan anggotanya.  Kedua organisasi ini mensyaratkan simbol-simbol Tionghoa kepada siapapun yang akan menjadi anggotanya dan pada prosesi penguburan. Siapapun yang akan menjadi anggota harus memiliki marga Tionghoa (she). Mereka harus mau dilantik dengan proses embahyang dengan menggunakan hio. Jabatan-jabatan di kongsi tetap menggunakan istilah-istilah Tionghoa. Kongsi merayakan hari-hari besar sesuai kalender Tionghoa seperti Imlek, Cengbeng dan sebagainya. Dalam upacara kematian, apapun agamanya, tuan rumah wajib menyediakan hio untuk para tamu untuk sembahyang menghormati si mati. Bagi pengurus yang meninggal, upacara kematian dilaksanakan sesuai dengan tradisi penguburan cara Tionghoa. Proses rekrutmen anggota dan prosesi penguburan ini adalah alat yang sangat hebat dalam mempertahankan budaya Tionghoa (hal. 178).

Di atas kongsi, kelenteng memegang peranan penting. Kelenteng dianggap sebagai institusi tertinggi yang bisa menjadi pengayom terhadap kehidupan orang Tionghoa Padang. Dalam berkoordinasi dengan pemerintah, kelenteng memegang peran yang sangat penting. Peran kelenteng bagi orang Tionghoa Padang tidak semata sebagai tempat ibadah agama tertentu. Namun kelenteng telah menjadi pusat budaya bagi mereka. Bahkan mereka yang telah memeluk agama Katholik sekalipun.

Di sisi lain, pelarangan penggunaan bahasa Tionghoa menyebabkan mereka mengadopsi bahasa lokal, yaitu Bahasa Minang. Adopsi bahasa ini tidak saja karena pelarangan penggunaan bahasa Tionghoa, tetapi juga disebabkan karena kebutuhan untuk berdagang dan berkomunikasi dengan suku lain yang ada di Padang. Bahasa Minang Pondok telah membuat mereka bisa lebih berbaur dengan masyarakat mayoritas Minang (hal. 277).

Pilihan Riniwaty untuk bertutur dengan menggunakan pengalaman keluarga membuat buku ini menjadi enak dinikmati. Pengalaman penguburan mamanya yang dipakai di awal buku dan kenangan masa kecil yang ditaruh di bagian belakang membuat pembaca tidak capek untuk mengunyah paparan-paparan berbasis teori-teori sosial.

Sayangnya, seperti sudah saya sampaikan di atas, kajian tentang mengapa orang Tionghoa Padang hidup dalam komunitas terisolasi secara geografis tidak teruraikan dalam buku ini. Semoga Riniwaty berkenan untuk memuaskan pertanyaan saya ini di buku berikutnya.

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu