x

Iklan

Mohamad Cholid

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

#SeninCoaching: Menang Tiap Hari cara Jiro

Upaya peningkatan efektivitas kepemimpinan jadi beban?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

#Leadership Growth: Winning Like Jiro

 

Mohamad Cholid

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Practicing Certified Executive and Leadership Coach

 

“Setiap kali menyajikan sushi, saya seperti meraih kemenangan.” ---Jiro Ono.

 

Bagi penggemar masakan Jepang usahakan jangan meninggal dulu sebelum menikmati hidangan sushi di restoran Sukiyabashi Jiro. Untuk makan siang atau makan malam di restoran Jiro, kita perlu membuat reservasi jauh hari, bisa lebih dari tiga puluh hari sebelumnya.

Sukiyabashi Jiro restoran khusus sushi, didirikan Jiro Ono 1965 di stasiun subway Ginza, Tokyo. Jiro Ono sekarang sudah berusia 92 tahun dan tetap ikut semangat menyajikan sushi untuk para tamu restoran, didampingi Yoshikazu Ono, anak sulungnya. Selebritas yang sudah menikmati sushi di sana antara lain Tom Cruise, Arnold Schwarzenegger, David Beckham, dan Anne Hathaway. Pada 2014, Presiden Barack Obama dan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe sempat makan malam di Sukiyabashi Jiro.

Sudah 11 tahun Sukiyabashi Jiro terus-menerus mendapatkan tiga bintang Michelin Guide – ini penghargaan tertinggi untuk restoran-restoran yang membuat seseorang layak terbang dari wilayah lain hanya untuk makan di situ. Harga satu set sushi di restoran Jiro, bisa terdiri dari 20 macam, adalah US$ 300. Setelah menikmati sushi sekitar 40 menit, rasanya kita akan sungkan untuk lebih lama duduk di sana, karena tamu-tamu lain sudah menunggu. Di Sukiyabashi Jiro hanya ada tempat nyaman untuk 10 tamu.

Kemampuan mempertahankan tiga bintang Michelin bertahun-tahun merupakan prestasi kelas dunia yang sangat didambakan kalangan chef profesional. Kehebatan sushi Sukiyabashi Jiro adalah hasil dedikasi, strategi, dan komitmen profesional Jiro Ono -- yang tampaknya diteruskan oleh Yoshikazu Ono. Bagi mereka, setiap hari adalah upaya mengejar kesempurnaan. Continuous improvement.

“Pada usia sekarang, setelah puluhan tahun terus menerus berusaha menjadi lebih baik, lebih baik lagi, rasanya saya masih perlu terus memperbaiki diri,” kata Jiro Ono. Cerita pendakian menuju puncak kesempurnaan dalam menjalankan profesi yang dilakukan Jiro dan Yoshikazu Ono, didampingi tim mereka, dapat kita simak lewat film dokumenter Jiro Dreams of Sushi (2011) disutradarai David Gelb.

Kita dapat mempelajari upaya-upaya mereka meningkatkan kualitas, menyiapkan repertoire yang hebat dalam menikmati sushi, dimulai sejak dari persiapan bahan baku dan bumbu. Suatu hari bisa saja menu di Sukiyabashi Jiro ada perubahan, jika Jiro atau Yoshikazu tidak berhasil memperoleh tuna kelas premium dari para vendor yang sudah mereka percayai di pasar ikan Tokyo.

Bahan baku premium, cara kerja fokus, didukung disiplin tinggi, dilengkapi dengan hati yang lapang dalam memburu cakrawala kesempurnaan – meraih tingkat mastery -- adalah kunci sukses Sukiyabashi Jiro secara berkesinambungan. Bagi Jiro, saat memperoleh bahan baku premium membuatnya merasa mantap dan berhasil menyajikan sushi superior bagi para tamu adalah momen kemenangan.

Setiap hari yang dilakukan Jiro adalah upaya memenangi diri sendiri, menegakkan prinsip kerja profesional, terus berupaya menjadi lebih baik, menuju kesempurnaan hidup.

Cara kerja Jiro dapat kita jadikan pembelajaran bahwa untuk meraih level mastery perlu proses berkesinambungan. Fokus pada tanggung jawab profesional, disiplin mengerjakannya, dan obsessed.

Ini lebih dari sekedar passion -- banyak kok orang yang bekerja berdasarkan passion dan kerja keras saja hasilnya tidak optimal atau malah membuat mereka menderita. Kalau kita obsessed pada suatu hal dan berniat kuat meraih hasil extraordinary, yang mesti dilakukan selain fokus dan disiplin adalah selalu mengukur setiap tahapan yang kita capai, ada proses learning loop. Ukur, feedback, modifikasi, dan do/redo (Morten Hansen).

Jiro adalah satu contoh chef profesional yang rajin mencatat pencapaian harian, learn, lalu menyiapkan repertoar lebih baik lagi untuk esok hari. Para master atau top performers kelas dunia dari pelbagai jenis profesi, termasuk dari dunia korporasi, lazimnya memiliki perilaku kepemimpinan seperti itu.

Kalau Anda nonton golf Masters Tournament di Augusta, Georgia, misalnya, coba simak: Para golfer profesional selalu mencatat hasil yang dicapai setiap hole, berikut kelemahan yang harus diperbaiki – di luar itu mereka juga didampingi coach, kadang lebih dari satu, untuk meningkatkan hasil di ronde berikutnya.

Di dunia korporasi, John D. Rockefeller dikenal sangat disiplin memantau tahap demi tahap perkembangan usaha, sehingga setiap hari makan siang bersama para direksi sekaligus meeting – yang kemudian diperluas bersama para eksekutif lainnya. Kedisiplinan seperti itu dipopulerkan sebagai The Rockefeller Habits (2002) oleh Verne Harnish, co-founder Growth Institute.

Sekitar 100 tahun setelah Rockefeller, pengukuran rutin pencapaian usaha dipraktikkan juga oleh Steve Jobs, yang dalam posisinya sebagai CEO setiap Rabu siang menginvestasikan waktu tiga jam menemui para klien penting Apple Inc.

Anda masih perlu lebih yakin pentingnya konsistensi meningkatkan kompetensi, walaupun sekarang sudah (merasa) sukses?

Simak Magnus Carlsen, World Chess Champion asal Norwegia. Dalam dunia catur dikenal istilah peak rating dan Magnus mencapai 2882 poin, diraih pada 2014 -- merupakan yang tertinggi dalam sejarah. Para grandmasters lainnya menyebut Magnus jenius. Orang bilang dia memang sangat berbakat, sehingga pada usia 23 tahun, pada 2013 Magnus berhasil meraih gelar juara dunia catur.

Bukankah di lingkungan catur banyak pula bakat-bakat istimewa dari pelbagai negara? Morten T. Hansen, pengajar di Harvard Business School, terkait dengan studinya (bersama tim) terhadap 5.000 manajer dan profesional untuk mengungkap rahasia para top performers, termasuk yang penasaran kenapa Magnus selalu dapat melebihi deretan pemain catur berbakat istimewa lainnya.

Setelah melalui penggalian, Morten Hansen dan tim menemukan keistimewaan Magnus, yaitu pada unique learning attitude-nya.

Dalam buku Great at Work (2018), hasil studi Morten Hansen, diceritakan bagaimana Magnus usai memenangi kejuaraan dunia tetap rendah hati untuk terus meningkatkan diri: “I am still far away from really knowing chess, really. There is still much I can learn. And there is much I still don’t understand. And this makes me motivated to keep going, to understand more and more and develop myself.”

Komitmen profesionalisme Magnus, seperti juga semangat untuk terus meraih kesempurnaan cara Jiro, mengingatkan pernyataan seorang CEO sebuah perusahaan yang masuk dalam Fortune 100: “Success can lead to arrogance. When we become arrogant we quit listening. When we quit listening we stop changing. In today’s rapidly moving world, if we quit changing, we will ultimately fail.” (MGSCC).

Perilaku kepemimpinan yang rendah hati dan action-nya konsisten dalam mengembangkan organisasi juga dicontohkan oleh Tan Suee Chieh, waktu itu (2007) CEO NTUC Income, perusahaan asuransi di Singapura, berdiri 1970.

Tanpa ada perubahan apa pun sesungguhnya perusahaan sehat-sehat saja. Namun dalam perspektif Mr. Tan dapat membahayakan masa depan, karena kehilangan vitalitas, utamanya kualitas pelayanan kepada pelanggan masih biasa-biasa saja.

Mr. Tan kemudian berhasil mengubah citra cara bisnis asuransi -- yang sebelumnya dikenal sering cidera janji, kurang tranparan, dengan pelayanan menyakitkan hati -- menjadi kegiatan usaha yang melayani para nasabah lebih bermartabat, transparan, dan dapat dipercaya.

Caranya? Dalam proses pelatihan para manajer dan team leaders untuk meningkatkan service kepada pelanggan, sebagai CEO Mr. Tan dengan senang hati ikut menjadi peserta – kendati tidak penuh sepanjang program. Keteladanan ini dan semangat untuk terus meningkatkan diri membuat transformasi service di NTUC Income sukses (Uplifting Service, Ron Kaufman). Belakangan total asetnya 36,3 milyar dolar Singapura.

Di banyak organisasi, utamanya di negara-negara yang baru belajar maju (emerging market), ada kecenderungan para eksekutif senior/GM/atau VP memilih nyaman dengan abdikasi, menyerahkan urusan pelatihan peningkatan kompetensi tim kepada para fasilitator/konsultan sepenuhnya.

Perilaku tersebut menimbulkan pertanyaan: Sesungguhnya mereka care atau tidak kepada tim (plus kualitas engagement mereka), serta terhadap upaya-upaya yang lebih sungguh-sungguh untuk meningkatkan kinerja organisasi, antara lain melalui pelayanan pelanggan yang lebih bermartabat?

Dalam arena kompetisi usaha yang makin menantang belakangan ini, ternyata masih ada pula para eksekutif dan yang mengaku sebagai leader di organisasi membiarkan diri mereka memuja mediocrity. Jabatan sekarang dan sukses di masa lalu membuat mereka mengalami leadership blind spot.  

Indikasinya? Lebih senang sibuk pada hal-hal trivial, mudah disetir pihak lain, atau hobi cerita masa silam dan kelemahan orang, ketimbang fokus pada tantangan saat ini dan upaya serius meningkatkan kompetensi. Bahkan ketika oleh organisasi diberi kesempatan mengikuti program leadership growth, agar menjadi pribadi-pribadi yang lebih efektif, masih ada yang mengatakan seperti ini: “Saya terlalu sibuk urusan kerjaan untuk ikut pelatihan atau coaching, yang bisa nambah beban.” Upaya peningkatan efektivitas kepemimpinan jadi beban?

Cara mensyukuri hidup sebagaimana dicontohkan Jiro Ono, atau oleh para top performers  dengan mental dan perilaku seperti Magnus Carlsen, yang dengan rendah hati, disiplin, terus meningkatkan kompetensi, layak kita contoh. Orang-orang cerdas seperti Anda, apalagi dalam posisi kunci di organisasi, mestinya sudah menerapkannya sekarang.

Di sini pentingnya tiga virtues (kebajikan) Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching (MGSCC) -- yaitu courage, humility, dan discipline – terus dipraktikan dalam bekerja dan mengolah kehidupan, agar keberadaan kita selama di dunia ini tetap relevan. 

 

Mohamad Cholid  adalah Head Coach di Next Stage Coaching.

n  Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching

n  Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment

Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman

(http://id.linkedin.com/in/mohamad-cholid-694b1528)

(http://sccoaching.com/coach/mcholid1)

 

Ikuti tulisan menarik Mohamad Cholid lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu