x

Iklan

SYAHIRUL ALIM

Menulis, Mengajar dan Mengaji
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Jika Amien Rais Jewer Haedar Nashir dan Sikap Politik Muhammadiyah

Setiap penafsiran terhadap suatu peristiwa politik yang dikaitkan dengan kekuatan ormas dibelakangnya, jelas terkait dengan kultur demokrasi yang sehat

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Momentum Pilpres 2019 yang akan memilih personal kandidat memang dibutuhkan dukungan resmi dari setiap ormas, mengingat ini merupakan bagian dari demokrasi sebagai bentuk kebebasan dalam memilih. Tak ada salahnya sebuah ormas memberikan dukungan kepada salah satu kandidat capres, karena itu jelas itu merupakan hak demokrasi masyarakat. Amien Rais sebagai tokoh penting di Muhammadiyah memang dirasa perlu “mendesak” Muhammadiyah agar menentukan sikap terhadap ajang kompetisi demokrasi mendatang. Disaat NU juga secara terbuka memberikan dukungan kepada tokohnya yang menjadi cawapres, maka wajar jika Amien Rais juga meminta Muhammadiyah melakukan langkah yang sama dengan NU.

Menarik untuk diikuti, bahwa dukungan ormas Islam terbesar, seperti NU, yang terus bergulir kepada Ma’ruf Amin sudah dikumandangkan jauh-jauh hari. Banyak tokoh-tokoh NU yang juga menjadi bagian dari tim pemenangan kandidat, sehingga sangat nampak kemana sesungguhnya arah dukungan NU secara politik di Pilpres 2019 nanti. Dukungan secara resmi dari ormas NU ditingkat lokal kepada pasangan Jokowi-Ma’ruf sudah seharusnya disikapi Muhammadiyah untuk juga menegaskan arah dukungan politiknya. Dukungan politik itu sudah biasa dan hal itu sangat wajar dalam suatu iklim demokratis, tak perlu dihubung-hubungkan dengan soliditas keumatan yang ditengarai akan mengganggu dinamika sosial-politik.

Melihat kepada arah dukungan yang semakin jelas dari NU untuk mendukung pasangan Jokowi-Ma’ruf, perlu kiranya Muhammadiyah juga menentukan sikap, bukan malah menyerahkan begitu saja soal pilihan politik ini kepada kader. Kritik Amien kepada Haedar Nasir sebagai pucuk pimpinan di Muhammadiyah agar dapat secara resmi memberikan dukungan politik kepada salah satu kandidat di Pilpres, tidak harus dianggap sebagai bentuk pengkhianatan Amien terhadap khittah Muhammadiyah, tapi lebih kepada upaya pembelajaran politik, dimana setiap orang, kelompok, organisasi, atau siapapun agar dengan bebas menentukan aspirasi politiknya secara tegas.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebab, jika Amien dianggap melanggar khittah, lalu bagaimana dengan NU? Yang secara terbuka memberikan dukungan politik kepada salah satu kandidat yang secara langkah organisasi jelas melanggar khittah-nya sendiri sebagai ormas sosial-keagamaan yang bebas menentukan pilihan politiknya. Keduanya jelas tidak sedang melanggar atau bahkan melampaui khittah-nya sendiri, namun setiap dukungan politik merupakan khittah—dalam artian menjadi inti dari garis perjuangan organisasi—mendukung secara demokratis siapa yang paling dekat dengan ideologi politik mereka. Lagi pula, konsep “khittah” tak harus terpisah atau memisahkan diri dari segala rangkaian aktivitas politik, termasuk soal penentuan sikap mendukung salah satu kandidat yang berkontestasi.

Saya kira, keberadaan dua ormas Islam terbesar ini cukup penting dalam menyemarakkan Pilpres 2019 mendatang. Setiap penafsiran terhadap suatu peristiwa politik yang dikaitkan dengan kekuatan ormas dibelakangnya, jelas terkait dengan kultur demokrasi yang pada akhirnya dapat mendorong iklim kompetisi politik secara sehat. NU yang lebih dulu memberikan dukungan politik kepada pasangan Jokowi-Ma’ruf merupakan bagian skenario khittah NU sebagai ormas yang tak mungkin lepas dari segala kepentingan politik. Tak ubahnya dengan Muhammadiyah, yang juga memiliki pengalaman politik praktis cukup panjang, pernah bersama-sama NU dan pernah juga menjadi “rival”nya dalam suatu ajang kontestasi politik.

Menarik saya kira, karena keberadaan PAN—yang notabene partai yang didukung kader Muhammadiyah—telah resmi berjuang dalam koalisi pendukung Prabowo-Sandi. Dan disisi lain, PKB—sebagai perwujudan politik-praktis warga NU—juga secara resmi berada dalam barisan koalisi pendukung Jokowi-Ma’ruf. Jika Muhammadiyah secara resmi memberikan dukungan kepada Prabowo-Sandi, maka akan terbentuk sebuah ajang kompetisi politik yang sangat menarik, dimana NU justru menjadi rivalnya dalam ajang Pilpres tahun depan. Jadi, terasa aneh jika ada yang menyebut Amien Rais keluar dari khittah organisasi karena menyatakan berniat “menjewer” Haedar Nasir jika tak menentukan pilihan secara resmi kepada kandidat di Pilpres 2019.

Tudingan itu seharusnya tak ditujukan kepada Amien, karena sikap Amien dalam memberikan dukungan politik dan mengajak serta organisasi yang membesarkannya untuk melakukan hal yang sama, jelas merupakan pembelajaran bagi demokrasi dan sangat wajar dalam konteks menyikapi setiap perubahan dalam dinamika politik. Amien jelas memahami bagaimana membedakan ranah politik yang seharusnya menjadi wilayah parpol dan mana ranah sosial-keagamaan yang memang menjadi bagian dari ormas. Jika dukungan dalam hal pemilihan legislatif, jelas itu diserahkan kepada masing-masing kader, karena parpol cerminan seluruh kekuatan politik yang ada, tidak tunggal seperti halnya dalam Pilpres. Itulah kenapa, Amien sangat memahami jika Pileg yang berorientasi parpol berbeda-beda, namun tak dapat disamakan ketika Pilpres hanya memilih satu dari dua kanidat yang ada.

Marilah dewasa dalam berpolitik, tak perlu mengkait-kaitkan dengan adanya soal pelanggaran garis keorganisasian yang terimplementasikan dalam istilah “khittah”. Sejauh ini, setiap ormas berhak secara lansung berpartisipasi dalam hal politik, baik mendukung, netral, bahkan menolak untuk tidak memilih salah satu kandidat sekalipun. Justru ketika hanya menyerahkan kepada para kader, tak juga dianggap bahwa suatu ormas itu “netral” dalam hal politik. Justru jika ini dibiarkan, akan berdampak pada arus bawah yang pada akhirnya merasa terombang-ambing tanpa kejelasan dalam soal menentukan pilihan politik. Bukan tidak mungkin, bisa saja timbul perpecahan di arus bawah, karena ormas yang menjadi afiliasinya “membiarkan” para kadernya menentukan sendiri pilihan politik mereka dan ini rentan dimanfaatkan pihak lain untuk memprovokasi pilihan politik mereka.

NU sebagai ormas sosial-keagamaan bahkan telah lebih dulu secara organisatoris—sebagaimana dilihat dari berbagai dukungan pada tingkat lokal—untuk memberikan dukungan politik kepada tokohnya yang saat ini beruntung menjadi salah satu kontestan politik. Sangat disayangkan jika ormas sebesar NU “membiarkan” warganya untuk “netral” dalam menentukan pilihan politiknya. Mendukung salah satu kandidat menjadi bagian penting dari khittah NU, karena NU tak mau kehilangan jutaan suaranya yang terombang-ambing bahkan mungkin menjadi rebutan pihak lain yang sedang berkontestasi. Saya kira, Muhammadiyah sebagaimana diharapkan Amien Rais, sudah semestinya tak ketinggalan, ikut berpartisipasi secara demokratis, memberikan dukungan resminya kepada salah satu kandidat sebagai bentuk partisipasi politik tanpa harus melanggar khittah keorganisasiannya.

Ikuti tulisan menarik SYAHIRUL ALIM lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler