x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Jendela Seribu Sungai

Novel dengan latar belakang budaya Banjar dengan detail budaya, kuliner dan alamnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Resensi ini sudah pernah dimuat di Harian Suara Merdeka pada tanggal 2 November 2018 dengan judul “Novel Ensiklopedis Mayarakat Banjar
 

Judul: Jendela Seribu Sungai

Penulis: Miranda Seftiana dan Avesina Soebli

Tahun Terbit: 2018

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Grasindo

Tebal: xi + 303

ISBN:  978-602-052-1-863

Ini adalah novel yang sangat berhasil mengungkapkan budaya, tradisi dan alam sebuah komunitas di Kalimantan. Novel yang berisi ensiklopedi masyarakat Banjar di sekitar pegunungan Meratus. Sudah sangat lama kita tidak menemukan novel yang sesungguhnya sebuah ensiklopedi sejak terbitnya novel (yang ditulis dalam bentuk tembang macapat) berbahasa Jawa berjudul Serat Centhini. Novel Serat Centhini yang berisi ensiklopedi disusun atas perintah Adipati Anom yang kelak menjadi Pakubuwono V, raja di Surakarta. Serat Centhini atau dikenal juga dengan Suluk Tambangraras adalah novel sekaligus ensiklopedi tentang Jawa terbit pertama kali pada tahun 1814. Artinya sudah lebih dari 200 tahun gaya penulisan ensiklopedi dengan menggunakan alur cerita novel baru kembali ada.

Kesulitan paling besar untuk memuat begitu banyak pengetahuan dalam sebuah cerita adalah membangun alur. Jika alurnya tidak memadai, maka hasilnya akan mengecewakan. Pengetahuan-pengetahuan tersebut akan serasa berjejal dan tidak sambung dengan cerita yang dibangun. Itulah sebabnya Serat Centhini harus membagi alurnya menjadi tiga bagian. Pengetahuan berkonten desawa harus dimasukkan dalam bagian cerita sepasang pengantin dan sebagainya.

Miranda dan Avesina memilih menggunakan anak-anak sebagai tokoh-tokoh dalam ceritanya. Kedua penulis ini membangun kisah persahabatan sehari-hari anak-anak dan kegiatan sekolah untuk menjelaskan berbagai budaya, kesenian, kuliner, sejarah dan alam suku Banjar. Pemilihan alur ini sebenarnya sangat riskan. Sebab dengan mengambil persahabatan anak-anak, apalagi di lingkungan sekolah, maka mereka tak memiliki kesempatan yang cukup luas untuk memasukkan begitu banyak pengetahuan di dalamnya. Namun ternyata Miranda dan Avesina tak kesulitan menempatkan mengintegrasikan pengetahuan tentang budaya Banjar dan alamnya dalam novelnya. Bahkan ia mampu merekam bukan hanya pengetahuan-pengetahuan budaya tradisional, tetapi juga mampu menangkap kearifan masa kini yang hidup dalam masyarakat Banjar yang bersinggungan dengan suku-suku lain dan modernitas.

Penulis Jendela Seribu Sungai ini begitu lincah memasukkan pengetahuan budaya dalam alur cerita. Contohnya adalah saat menjelaskan tentang nanas pengantin. Penulis mengawali dengan anak-anak yang mendayung jukung melewati jembatan dengan hiasan buah nanas. Dengan sangat lincah penulis membahas nanas dalam kehidupan sehari-hari masayrakat Banjar dan nanas sebagai simbol budaya.

Cara berkisah yang melaju bagai jukung di arus sungai ini sungguh nikmat untuk menikmati pengetahuan budaya – termasuk di dalamnya mantera-mantera, kuliner, kesenian, permainan anak-anak dan alam.

Tokoh utamanya bernama Arian adalah anak seorang seniman lokal. Pemilihan Raja sebagai tokoh yang bercerita membuat Miranda dan Avesina mudah mengeksploitasi kesenian, khususnya KERIDING dari berbagai sisi. Tokoh-tokoh lain dalah KEJORA, seorang keturunan Dayak Meratus yang berjenis kelamin perempuan. Kejora pindah sekolah ke wilayah orang Banjar karena sekolahnya terbakar. Kejora yang terpaksa pulang ke kampungnya harus dijemput supaya bisa melanjutkan sekolah. Kejora dipakai oleh penulis untuk menjelaskan budaya Dayak yang bersinggungan dengan budaya Banjar.

Untuk memperkuat kisah tentang pertemuan antar budaya, penulis memasukkan tokoh BUNGA, anak gadis keturunan Tionghoa yang menderita cerebral palsy, sehingga kesulitan dalam gerak dan bicara. Tokoh Bunga yang kesepian karena sering ditinggal berbisnis oleh papa dan mamanya, membangun pertemanan dengan Raja dan Kejora. Pertemanan anak-anak yang tulus ini membawa perkebangan yang progresif bagi Bunga.

Tetapi entah mengapa Miranda dan Avesina mengakhiri novelnya dengan membunuh tokoh seniman, ayah di Arian. Lelaki yang disebut Abah ini pergi ke Martapura untuk menghadiri haul akhbar Guru Sekumpul. Namun pulangnya mengalami kecelakaan dan meninggal. Bagian akhir ini tentu bukan hanya dimaksudkan untuk mewadahi penjelasan tentang surabi bertabur gula pasir yang dianggap mampu menawar pahitnya kehilangan, yang lazim dididangkan dalam takziah. Tentu ada maksud yang lebih dalam dari hal tersebut.

Apakah Miranda dan Avesina ingin menitip pesan bahwa kuriding tak akan bertahan melawan musik modern ala RAJA? Apakah Miranda dan Avesina ingin menyampaikan bahwa sudah saatnya meninggalkan tradisi dan menggantinya dengan ilmu-ilmu modern? Bukankah dalam novel ini mantera-mantera dikalahkan oleh ilmu kedokteran modern? Balian digantikan oleh bidan dan dokter. Bukankah dalam novel ini sekolah dipilih sebagai cara untuk mempertahankan kelanjutan hidup dan bukan kembali menekuni kearifan memanfaatkan hutan?

Secara samar-samar memang novel ini menyampaikan bahwa kebun sawit telah mengambil alih tanah-tanah adat masyarakat di sekitar Pegunungan Meratus.

Jadi, apakah ini tentang: “Ketika mimpi menyentuh jendela, sungai membawanya menjadi nyata,” atau “Ketika air banjir dari sungai menyentuh jendela, maka mimpi menjadi sirna?” Biarlah Miranda dan Avesina yang menjawabnya.

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler