x

Iklan

Anggito Abimanyu

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kenapa Suku Bunga BI Naik Lagi?

BI menaikan suku bunga kebijakan sebagai tindak lanjut untuk memperkuat upaya menurunkan defisit transaksi berjalan ke dalam batas yang aman.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kenapa Suku Bunga BI Naik Lagi?
 
Oleh: Anggito Abimanyu
Dosen UGM, Yogyakarta
 
Pada tanggal 15 November 2018 Bank Indonesia menaikkan suku bunga kebijakan BI atau dikenal dengan istilah 7-day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 6,00 persen. Kebijakan BI juga menyangkut kenaikan suku bunga Deposit Facility sebesar 25 bps menjadi 5,25 persen, dan suku bunga Lending Facility sebesar 25 bps menjadi 6,75 persen.
 
Keputusan tersebut sebagai langkah yang cukup berani dan mengejutkan. Kondisi pasar global saat itu masih belum stabil sebagai akibat lanjutan dari ekspektasi kenaikan suku bunga Fed dan belum adanya solusi dari perang dagang AS dan China. Pelaku pasar mengharapkan BI menahan suku bunga sambil menunggu keputusan kenaikan suku bunga Fed. Sektor riil juga mulai merasakan kenaikan biaya dana dan terjadinya ekses likuiditas di pasar keuangan.
 
Namun BI mengambil pilihan lain. BI menaikan suku bunga kebijakan sebagai tindak lanjut untuk memperkuat upaya menurunkan defisit transaksi berjalan (current account) ke dalam batas yang aman. Kenaikan suku bunga kebijakan tersebut diharapkan dapat menarik arus modal masuk dengan mengantisipasi kenaikan suku bunga global dalam beberapa bulan ke depan. Kebijakan kenaikan suku bunga kebijakan BI menaikkan arus modal masuk atau capital inflow tersebut diperkirakan efektif dengan ingkat inflasi yang rendah.
 
Beberapa waktu lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat perkembangan Indeks Harga Konsumen (IHK) pada Oktober 2018 mengalami inflasi sebesar 0,28 persen. Adapun inflasi tahunan dan tahun kalendernya mencapai masing-masing 3,16 persen dan 2,22 persen. Dengan stabilitas harga pangan, dan menjaga administered prices, serta inflasi inti dalam kondisi yang terkendali, diperkirakan laju inflasi tahun ini akan berada di kisaran 3,2 persen. Inflasi tersebut tergolong rendah dan sesuai dengan sasaran jangka panjang inflasi pada tingkat 3 persen.
 
Dengan suku bunga tahunan pada kisaran, 3,16 persen, maka suku bunga riil lebih dari 2,75 persen adalah insentif yang cukup besar bagi masuknya arus modal masuk melalui obligasi dan saham. Benar juga dalam waktu seminggu sesudah kebijakan tersebut arus modal masuk cukup deras.
 
Dalam release Bank Indonesia pada waktu kenaikan suku bunga tersebut, disampaikan bahwa  Bank Indonesia juga memperkuat koordinasi dengan Pemerintah dan otoritas terkait untuk menjaga stabilitas ekonomi dan memperkuat ketahanan eksternal. Yang paling prioritas pada saat ini adalah untuk mengendalikan defisit transaksi berjalan sehingga menurun menuju kisaran 2,5 persen PDB pada 2019. Per hari ini rasio tersebut masih pada kisaran 3 persen dari PDB.
 
Bauran kebijakan moneter Bank Indonesia dan kebijakan fiskal pemerintah juga sangat diperlukan mengelola dampak perubahan ekonomi global sehingga perekonomian tetap berdaya tahan di tengah ketidakpastian global. Tampak bahwa kebijakan pemerintah dan BI mengutamakan stabilitas ekonomi dan mempertahankan daya beli di tahun politik 2019.
 
Dari sisi upaya mengurangi defisit transaksi berjalan, pemerintah juga menerbitkan relaksasi mengenai peningkatan devisa hasil eskpor (DHE) hasil sumber daya alam (SDA) sebagai bagian paket kebijakan ekonomi ke XVI. Kebijakan DHE sebelumnya yakni untuk migas tidak cukup berhasil menahan dana hasil ekspor migas untuk mengendap di Indonesia. Tantangan DHE SDA juga kurang lebih sama, dana yang masuk dari hasil ekspor SDA perlu instrumen dalam dolar yang likuid dan insentif lainnya.
 
Kenaikan suku bunga bank Indonesia pada waktunya akan diikuti oleh suku bunga penjaminan LPS dan suku bunga deposito perbankan. Kenaikan suku bunga deposito akan membuat dana bank menjadi lebih mahal dan untuk melakukan penyesuaian suku bunga kredit, maka tampaknya bank belum berarni melakukan.  Akibatnya bank mengalami kelebihan likuiditas.
 
Untuk meningkatkan fleksibilitas dan distribusi likuiditas di perbankan, Bank Indonesia menaikkan porsi pemenuhan GWM Rupiah dari 2 persen menjadi 3 persen serta meningkatkan rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial yang dapat dilakukan repo ke Bank Indonesia dari 2 persen menjadi 4 persen, masing-masing dari Dana Pihak Ketiga (DPK).
 
Di bidang kebijakan makroprudensial, Bank Indonesia juga mempertahankan rasio Countercyclical Capital Buffer (CCB) sebesar 0 persen dan Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) pada target kisaran 80-92 persen. Dalam masa gejolak ekonomi makro, Bank Indonesia diharapkan terus menjadi motor penggerak bauran kebijakan guna memastikan tetap terjaganya stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan. Koordinasi bauran kebijakan dengan Pemerintah wajib terus dilakukan. Otoritas kebijakan sektot keuangan, seperti OJK dan LPS harus mengikuti kebijakan makro Bank Indonesia.
 
Jadi kebijakan kenaikan suku bunga BI punya dua sisi, yakni positif dan negatif. Sisi positif adalah menarik masuknya arus modal asing ke Indonesia melalui obligasi dan saham, dan memang terbukti. Sekaligus sebagai penahan arus modal keluar menghadapi ekspekstasi kenaikan suku bunga AS. Rupiah juga akan menguat, meskipun sifatnya masih tenporer, dan akan mengurangi tekanan pada neraca transaksi berjalan. Sisi negatif adalah tekanan pada kesehatan bank. Bank akan mengalami tekanan biaya dana yang meningkat, terjadi ekses likuiditas dan meningkatnya risiko kredit. Ujung-ujungnya adalah tekanan pada pertumbuhan ekonomi dan gangguan pada pertumbuhan sektor riil.
 
Bagaimana menghadapi dilema kebijakan tersebut? Kuncinya menentukan prioritas, pilihan bauran kebijakan, mengelola ekspektasi pasar, penetapan waktu, dan magnitud kebijakan. Saat ini menjadi prioritas pengelolaan ekonomi adalah stabilitas makro ekonomi. Stabilitas mnakro ekonomi adalah jangkarnya, jadi kenaikan suku bunga BI sudah benar.
 
Yang masih menjadi pertanyaan adalah efektivitas bauran kebijakan. Selama ini kebijakan pemerintah terhadap menuju deficit neraca transaksi berjalan lebih
bersifat parsial dan defensif. Kebijakan DHE belum terbukti manjur, pengenaan pajak impor tidak tepat sasaran, kebijakan orientasi ekspor belum terlihat hasilnya. Saatnya merumuskan kebijakan perdagangan luar negeri, investasi dan enarik arus modal secara komprehensif dan nyata, tanpa mengganggu stabilitas ekonomi makro dalam jangka panjang.

 

Ikuti tulisan menarik Anggito Abimanyu lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Sengketa?

Oleh: sucahyo adi swasono

3 jam lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB