x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Creative Writing

Teknik menulis cerpen dan novel

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Creative Writing – Tip dan Strategi Menulis Cerpen dan Novel

Penulis: A. S. Laksana

Tahun Terbit: 2007

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Mediakita

Tebal: ix + 163

ISBN: 979-794-001-0

 

Ketika kulihat buku ini di meja di antara piring-piring dan gelas-gelas kami saat sarapan pagi, kesan pertama saya adalah kasihan. Mengapa ada buku yang disiksa sedemikian rupa? Wajahnya lecek dan kusam. Sudutnya terlipat-lipat bagai mobil murah yang tertabrak kereta. Maka sayapun mengajukan permintaan untuk meminjamnya. Tujuan awal saya sebenarnya hanya untuk menyelamatkan buku tersebut dari penyiksaan yang sangat kejam oleh pemiliknya. Kasihan.

Setelah buku tersebut di tangan saya, mulailah saya tertarik pada judulnya. (Saya tidak suka buku berbahasa Indonesia diberi judul dengan kata dalam Bahasa Inggris.) Namun saat saya membaca anak judulnya, yaitu “Tip dan Strategi Menulis Cerpen dan Novel,” saya tertarik untuk membacanya. Sebab saya tidak pernah berhasil menulis novel, meski banyak draf yang pernah saya buat. Orok-orok novel yang tak pernah lahir itu mangkrak di sudut hard drive saya entah sudah berapa tahun. Bahkan beberapa cerita yang saya gadang menjadi novel telah aku lupakan ide utuhnya. Tentang cerpen pun saya hanya menghasilkan beberapa. Itupun menurut beberapa teman yang membacanya, tokoh-tokoh yang aku ciptakan tidak berkarakter. Jadi, mungkin buku yang mendekati sakaratul maut ini bisa membantuku memperbaiki kemampuanku menulis novel dan cerpen. Siapa tahu setelah saya selesai membacanya, serta-merta bisa sejago seorang Eka Kurniawan, Andrea Hirata, Leila Chudori atau Hamsad Rangkuti dalam menulis novel dan cerpen.

Saat membuka bab pertama dan kedua, saya hampir memutuskan untuk tidak melanjutkan membacanya. Sebab dari bagian pertama dan kedua ini saya merasa bahwa buku ini hanyalah untuk para pemula yang ingin menjadi penulis. Saya yang sudah menulis dari sejak SMP tentu tidak membutuhkan motivasi lagi untuk menjadi penulis. Tentang semua orang bisa menulis, semua orang harus menulis itu jargon yang sudah saya kenal dari guru Bahasa Indonesia saya di SMP.

Namun saat saya secara acak membuka-buka buku ini – sebenarnya saya mencoba memperbaiki tampilan buku ini dengan meluruskan lipatan-lipatan di ujung halaman, saya jadi tertarik dengan isinya. Ternyata buku ini juga membahas hal-hal serius yang perlu dipelajari oleh seorang penulis yang ingin lebih mahir menulis. Misalnya “Show, Don’t Tell,” “Dialog’” dan “Menghidupkan Bahasa Dengan Metafora.” Setelah mencicipinya, saya memutuskan untuk membacanya secara lebih serius.

Ternyata buku ini disusun dengan sangat runtut. Mulai dari bagaimana memulai menulis, menuang gagasan, mengedit dan berdisiplin untuk terus berkarya. Cara bertuturnya pun sangat renyah, sehingga kita tak perlu berkerut dahi sambil memonyongkan bibir untuk mencerna isinya.

A. S. Laksana membumbui bukunya dengan contoh-contoh yang sangat kongkrit yang membuatku manggut-manggut tanda setuju. Di beberapa tempat saya disuguhi keusilannya dalam menggunakan beberapa bahan. Di bagian “Dialog” misalnya, A. S. Laksana secara cerdik meminta para peserta kelas menulis yang diasuhnya membandingkan dialog yang ditulis oleh Hemingway (penulis keren pemenang nobel sastra) dengan Fira Basuki (ini juga penulis keren, tapi dari Indonesia). Jika dua dialog ini disajikan lengkap dengan penulisnya saya yakin semua peserta kelas menulis akan mengatakan bahwa dialog Hemingway lebih bagus (sindrom rendah diri). Namun karena A. S. Laksana menghilangkan nama penulisnya dan mengganti nama-nama tokoh dan tempat, maka para peserta kelas menulis tersebut bisa menganalisis dengan lebih jujur tanpa dihinggapi rasa minder sebagai orang Indonesia. (Pasti para peserta kelas menulis ini kurang suka membaca, atau setidaknya tidak pernah membaca karya Hemingway dan Fira Basuki, sehingga tidak mengenali dialog yang pernah ditulis oleh keduanya.)

Saya sangat tertarik dengan bagian “Konstruksi.” Sebab keterampilan membangun konstruksi inilah yang menyebabkan saya gagal menulis novel. Ternyata ada muslihat untuk membangun sebuah cerita panjang supaya pembacanya tidak mati terjengkang. Penulis novel harus membangun ceritanya secara seimbang. Ada bagian yang intens dan mendebarkan, ada bagian yang mengalun lembut seperti sungai Bengawan Solo saat kemarau.

Setelah selesai membaca seluruh buku, saya jadi mahfum mengapa buku ini hancur penampilannya, seperti kakek berumur 70 tahun yang kebanyakan minum bir dan makan steak. Ternyata buku ini tak bisa dibaca sekali buka. Buku ini adalah kawan yang memberi nasihat saat kita menulis, mengedit dan menyempurnakan sebuah karya tulisan. Jika anda sedang ingin membuat tulisan yang melibatkan berbagai indera, maka anda harus membelai bagian dimana nasihat-nasihat A. S. Laksana tentang hal ini; yaitu di halaman 41. Jika anda merasa tidak puas dengan karakter-karakter yang anda ciptakan, anda bisa mengulik halaman 49. Jika anda merasa bahwa perlu untuk menarik pembaca dengan paragraf pembuka yang kuat, anda bisa berwisata ke halaman 125.

Jadi wajarlah kalau buku ini rusak parah penampilannya. Namun, apa iya sebagai pecinta buku kita tega menyiksanya sedemikian rupa?

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler