x

Iklan

SYAHIRUL ALIM

Menulis, Mengajar dan Mengaji
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Reuni 212, dari Semangat Kegamaan, Pentas Seni, dan Politik

Bagi saya, nuansa keagamaan yang dimunculkan dalam gerakan ini sekadar menjadi daya tarik bagi siapapun untuk bersimpati

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sebenarnya tak harus dipermasalahkan soal munculnya sebuah gerakan politik yang mengatasnamakan semangat keagamaan, seperti yang sejauh ini dimotori oleh gerakan 212. Dalam banyak hal, gerakan ini mampu menjadi sebuah kekuatan penyeimbang dalam suatu dominasi politik kekuasaan. Terlepas dari unsur suka dan tidak suka, gerakan ini tampak solid dalam menyuarakan aspirasi politik dengan terutama menghadirkan suasana religius didalamnya. Religius yang dimaksud tentu saja semangat keagamaan yang melatarbelakangi setiap orang yang terdorong untuk ikut hadir dalam berbagai kegiatan yang diinisiasi gerakan 212. Bayangan politik tentu saja kental, karena keberadaannya dinilai hadir ditengah ekspektasi pergantian kekuasaan.

Bagi saya, nuansa keagamaan yang dimunculkan dalam gerakan ini sekadar menjadi daya tarik bagi siapapun untuk bersimpati dimana kehadirannya paling tidak, bukti bahwa mereka memang sedang membela agama dan keyakinannya ditengah fenomena degradasi moral yang sedemikian parah. Walaupun istilah “reuni” yang dipergunakan tentu saja tidak mencerminkan diksi keagamaan, lain halnya ketika gerakan ini menggunakan istilah “silaturahmi”, mungkin terasa kental nuansa keagamaannya dibanding kepentingan politiknya. Silaturahmi tentu saja berkonotasi kedekatan ikatan solidaritas, mengangkat nilai-nilai persaudaraan yang kuat baik secara lahir maupun batin.

Banyak kritik yang muncul terhadap rencana digelarnya Reuni Akbar 212 yang akan digelar di Monas, tepat pada 2 Desember mendatang. Kritikan tentu saja muncul dari berbagai kalangan yang tidak simpati terhadap upaya “politisasi agama” yang selama ini dituduhkan kepada kelompok yang menamakan dirinya Persaudaraan Alumni 212 ini. Disisi lain, gerakan-gerakan ini dianggap sebagai perwujudan Islam politik yang mencoba meng-counter berbagai wacana yang seringkali dirasakan sangat memberikan tekanan politik terhadap para pemimpin-pemimpin mereka. Gerakan ini lalu muncul untuk menunjukkan kepada publik, bahwa mereka tetap solid, menyuarakan setiap aspirasi politiknya sebagai bagian dari kekuatan oposisi diluar kekuasaan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Reuni 212 yang akan digelar bulan depan, sepertinya “melunak”, sebab meskipun tema yang diusung soal Bendera Tauhid yang dinilai kontroversial, rencananya akan juga diisi oleh pagelaran kesenian. Biduan gambus milenial, Nisa Sabyan dan penyanyi balada legendaris Sang Alang direncanakan bakal hadir meramaikan kegiatan reuni akbar ini. Ini artinya, fokus mereka tak lagi pada urusan-urusan politik-kekuasaan, namun mulai mengangkat aksi seni yang lebih bernilai tradisi dan budaya. Bahkan, pentolan PA 212, Novel Bamukmin mempertimbangkan untuk tidak menggelar orasi politik karena dikhawatirkan mengganggu proses kampanye pemilu yang saat ini sedang bergulir.

Soal rencana akan dikibarkannya sejuta bendera tauhid memang terkesan menggelitik, terutama karena isu bendera tauhid ini sempat menjadi isu kontroversial ditengah publik. Setelah peristiwa pembakaran bendera tauhid oleh oknum Banser di acara Hari Santri Nasional, terjadi perdebatan panjang yang hampir tak ada titik temu soal polemik apakah yang dibakar adalah bendera tauhid atau bendera HTI. Isu ini seperti dimanfaatkan oleh gerakan 212 dengan mempertegas bahwa tak ada bendera ormas tertentu, kecuali bendera umat Islam dengan simbol tauhid didalamnya. Bendera tauhid tentu saja milik umat Islam—terlepas dari pemanfaatan oleh oknum ormas tertentu—dan simbol itu tentu saja dianggap sebagai “pemersatu” umat tanpa harus dikaitkan dengan upaya radikalisme yang melawan eksistensi simbol-simbol negara.  

Pemanfaatan “politik bendera” sepertinya memang kental dengan nuansa Islam politik, dimana simbol kegamaan diangkat secara formal demi tujuan kepentingan kekuasaan. Kalimat tauhid tentu saja “simbol pemersatu” dalam agama Islam, terlebih Islam muncul menjadi agama monotheisme sejak awalnya, memberangus seluruh eksitensi kekuatan apapun yang dianggap “syirik” dan hanya mengakui secara haqqul yaqin bahwa Allah-lah satu-satunya sumber kekuatan Maha Agung. Itulah sebabnya, ketika kasus pengibaran bendera tauhid ini muncul di Arab Saudi tepat dirumah penggagas utama aksi 212, Rizieq Syihab, tak begitu menjadi masalah bagi otoritas pemerintahan disana. Bendera tauhid—dengan demikian—dapat dibedakan dengan bendera dengan tulisan serupa yang dipakai oleh organisasi teroris terlarang di dunia.

Saya melihat, serangkaian kegiatan aksi yang diinisasi gerakan 212 memang terus mengalami perubahan dalam konteks sosial-politik, dari mulai semangat keagamaan pada awalnya, lalu berubah menjadi aksi politik, dan saat ini “melunak” karena tema besar Islam politik hanya diekspresikan melalui pengibaran bendera seraya mempersembahkan kreativitas seni islami yang belakangan memang digandrungi masyarakat. Tak perlu ada yang dikhawatirkan dari gerakan seperti ini, karena sejatinya inilah ekspresi politik masyarakat dalam menanggapi dan menerjemahkan isu-isu politik dan keagamaan kedalam aspirasi yang diwujudkan melalui serangkaian aksi.

Jika memang kegiatan reuni 212 nanti benar-benar wujud dari pagelaran silaturahmi antarelemen yang terlibat dalam berbagai aksi di Jakarta, karena “reuni” tentu saja identik dengan silaturahmi, maka jelas tak sedang mempertontonkan atraksi politik melalui bentuk dukungan terhadap salah satu kandidat manapun. Namun demikian, himbauan agar para pegiat aksi yang akan hadir di Monas untuk tidak berada di Masjid Istiqlal karena sedang ada kegiatan Maulid Nabi yang dihadiri Presiden Jokowi, maka ini sudah menunjukkan bentuk atraksi politik. Bagaimana tidak, gerakan 212 memang dikenal tak mendukung Jokowi dalam Pilpres 2019 mendatang, sehingga otomatis melarang massanya untuk tidak berada di Istiqlal karena khawatir terjadi “benturan” kepentingan politik.

Diakui maupun tidak, gerakan yang diinisiasi aktor 212 ini memang lebih kental nuansa politiknya dibanding semangat keagamaannya. Wajar jika kemudian, KH Ma’ruf Amin memberikan komentar bahwa gerakan 212 ini semakin menunjukkan ketidakjelasannya karena semangat keagamaan yang terus menerus dibayangi kepentingan politik-kekuasaan. Padahal, jika menjelma sebagai kekuatan politik, justru mempertegas keberadaan kelompok ini, sehingga dapat memperjelas posisi politik dukungannya di Pilpres 2019 nanti. Mendukung salah satu capres tertentu, jelas memperjelas posisi politik, bukan terus-menerus menonjolkan simbol agama, tetapi dimanfaatkan secara terselubung untuk hal-hal yang bersifat politis. Saya tetap menghargai upaya apapun—termasuk aksi dan demonstrasi—sebagai saluran aspirasi politik masyarakat, asal masih tetap dalam suasana kedamaian yang tak melanggar konsekuensi dalam berdemokrasi.

Ikuti tulisan menarik SYAHIRUL ALIM lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler