x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Guru Korupsi Berdiri, Murid Korupsi Berlari

Sungguh tidak produktif apabila wacana tentang kondisi perkorupsian di negeri ini diturunkan tatarannya ke tingkat personal.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Ketika Prabowo Subianto berpidato di Singapura yang antara lain mengatakan bahwa kondisi korupsi di Indonesia sudah mencapai stadium-4, sesungguhnya ia tengah menyampaikan peringatan yang serius bahwa korupsi di Indonesia sudah parah. Namun Ahmad Basarah, Wakil Sekjen PDI-P, entah kenapa, memberi reaksi balik yang bersifat personal dengan menyebut Soeharto—yang notabene pernah menjadi mertua Prabowo—sebagai guru korupsi.

Julukan guru korupsi itu kemudian membuat Tommy Soeharto merasa tidak nyaman. Dapat dimengerti bila ia bermaksud menempuh jalur hukum untuk menggugat Ahmad Basarah karena ayahnya mendapat julukan yang tidak sedap itu. Maka, wacana yang semula sebenarnya dapat berjalan di tataran isu penting, yakni korupsi, dengan cepat anjlog ke tataran yang lebih rendah dan bersifat personal.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jika diskusi masih di tataran isu (yang mesti dilihat sebagai persoalan dan tantangan kita bersama), perdebatan antara kedua kubu kontestan berpotensi untuk berlangsung dengan lebih mencerdaskan rakyat. Misalnya, perihal sejauh mana tingkat keparahan korupsi di Indonesia saat ini, mengapa korupsi semakin merajalela kendati semakin banyak orang dikirim ke dalam bui, dan apa tawaran kedua kubu kontestan dalam mengatasi korupsi?

Dari perdebatan mengenai isu-isu korupsi itu, rakyat dapat menilai komitmen kedua capres dan pendukungnya dalam memberantas korupsi, apa saja yang akan mereka lakukan jika terpilih tahun depan, apakah program kerja mereka realistis atau hanya mengawang-awang di langit, dst. Misalnya juga, apakah dalam memberantas korupsi, mereka akan tebang pilih dengan menyasar orang-orang yang lemah kuasa atau mudah dilemahkan dan tidak berkutik di hadapan yang kuat.

Di negeri ini, korupsi sudah berlangsung sejak lama, bahkan Bung Hatta pada tahun 1970 pernah mengatakan bahwa korupsi sudah membudaya. Mungkin karena saking marahnya Bung Hatta menyaksikan praktik korupsi waktu itu, Bung Hatta menggunakan istilah budaya. Tak heran bila korupsi masih berjalan hingga sekarang karena tidak mudah memberantasnya, walaupun bukan tidak mungkin.

Jika korupsi masih terus berjalan, bahkan semakin inovatif dalam cara-caranya dan lebih cerdik, maka perdebatannya tidak perlu dibawa ke ranah personal. Jika korupsi yang terjadi sekarang dipersalahkan kepada orang yang sudah berlalu masanya, apa lagi disebut guru, maka pepatah lama itu berlaku kembali dengan redaksi yang sedikit berubah. Jadilah ‘guru korupsi berdiri, murid korupsi berlari’.

Sungguh tidak produktif apabila wacana tentang kondisi perkorupsian di negeri ini diturunkan tatarannya ke tingkat personal. Jika diskusi di antara para politikus tetap berada di tingkat gagasan serta program kerja untuk mengatasi korupsi yang merajalela, rakyat akan memperoleh pembelajaran yang bagus. Rakyat dapat terlibat dan berpartisipasi dalam diskusi yang produktif untuk menemukan solusi atas persoalan korupsi, dan bukan malah terjatuh dalam pertempuran kata-kata yang diwarnai caci maki dan sebutan-sebutan yang tidak layak didengar. (Soeharto: Foto tempo.co) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler