x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Luruhnya Keteladanan di Tahun Politik

Para elite punya waktu 20 tahun sejak tumbangnya Orde Baru pada 1998 untuk menunaikan apa yang mereka rumuskan sebagai agenda reformasi, namun realitasnya?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Dalam pidatonya pada pembukaan Muktamar Pemuda Muhammadiyah, 26 November 2018, Haedar Nashir—Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah—mengutarakan perihal ‘adanya kecemasan akan luruhnya keteladanan’. Kata ‘teladan’ yang dimaksud Haedar mungkin merujuk kepada orang yang selayaknya memberi keteladanan kepada rakyat banyak. Karena ia berbicara dalam konteks tahun politik, boleh jadi yang ia maksud adalah para elite politik.

Kita dapat perluas lingkup elite politik menjadi elite nasional, yaitu orang-orang yang sedang memperoleh amanah untuk memegang posisi penting yang bertanggung jawab atas negeri ini maupun orang-orang yang didengar suaranya karena ketokohannya. Mereka bukan hanya para pemimpin partai maupun institusi legislatif dan eksekutif—dua lembaga yang bersentuhan langsung dengan politik, tapi juga para jenderal, hakim, elite pebisnis, pemuka agama, maupun orang-orang berpengaruh dalam pengambilan keputusan yang menyangkut nasib bangsa dan negara.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di tengah keriuhan tahun politik, para elite cenderung memakai beragam cara untuk mempertahankan kuasanya ataupun untuk meraih kekuasaan. Perang kata-kata hanyalah salah satu contoh konkretnya, yang terlihat dan kasat mata. Mengungkap aib orang lain sebagai contoh yang lain. Banyak manuver lain yang tidak terlihat oleh masyarakat. Orang awam seringkali hanya mampu menangkap nuansa ketegangannya namun tidak mengetahui persis apa yang sebenarnya sedang terjadi.

Sebagai ketua umum salah satu organisasi kemasyarakatan besar, Haedar Nashir niscaya mendapatkan masukan beragam informasi yang tidak beredar bebas di khalayak umum. Karena itu ia menyatakan ada kecemasan akan luruhnya keteladanan. Namun, saya kira, banyak warga masyarakat merasakan hal yang sama ketika menyaksikan para elite berbicara semaunya. Ungkapan lisan itu menandakan adanya ketegangan di balik manuver-manuver yang tengah mereka lakukan.

Luruhnya keteladanan para elite nasional itu juga ditunjukkan dengan masih maraknya kasus-kasus korupsi, suap, jual-beli jabatan, penyelewengan wewenang, maupun nepotisme—menempatkan kerabat dan kawan untuk jabatan-jabatan penting. Kita tidak menutup mata bahwa praktik ini masih berjalan dan bahkan melibatkan orang-orang yang menempati posisi penting dalam institusi negara.

Bukan pikiran yang bijak bila menyalahkan Soeharto sepenuhnya sebagai orang yang paling bertanggungjawab atas apa yang terjadi sekarang. Para elite punya waktu 20 tahun sejak tumbangnya Orde Baru pada 1998 untuk menunaikan apa yang mereka rumuskan sebagai agenda reformasi. Jika kondisi negara dan bangsa menjadi seperti sekarang, para elite lebih baik becermin diri ketimbang menyalahkan orang yang sudah tidak ada.

Para elite nasional perlu menyadari bahwa rakyat bingung siapakah di antara mereka yang layak untuk diteladani sepak terjangnya. Terlebih lagi, ketika karakter-karakter asli para elite itu semakin terlihat di tahun politik. Luruhnya keteladanan dalam lisan, sikap, dan tindakan bukan hanya jadi keprihatinan Haedar Nashir,  tapi kecemasan serupa dirasakan oleh masyarakat luas. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler