x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Dari Politikus Menuju Negarawan

Kesetiaan negarawan melampaui batas-batas partainya, sebab ia harus memikirkan orang yang jumlahnya jauh lebih banyak.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Tatkala menerima kunjungan Sandiaga Uno di rumahnya, di Sleman, Ahad, 2 Desember 2018, Buya Ahmad Syafii Maarif—mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah—memberi nasihat: “Jikalau nanti terpilih, jadilah wapres rakyat Indonesia, bukan wapres hanya partai pendukung. Nasihat ini bukan hal baru. Nasihat Buya Syafii itu senada dengan perkataan John F. Kennedy: “Kesetiaanku kepada partai berakhir saat kesetiaanku kepada negara dimulai.”

Makna kata-kata Kennedy dan Buya Syafii itu mewakili dua tataran yang berbeda antara politikus dan negarawan. Meminjam kata-kata James Freeman Clarke (1810-1888): “Politikus memikirkan pemilu mendatang, negarawan memikirkan generasi yang akan datang.” Politikus sibuk mengatur siasat agar partainya meraih kursi parlemen sebanyak-banyaknya, sedangkan negarawan sibuk mempersiapkan dunia baru bagi generasi penerusnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kesetiaan negarawan melampaui batas-batas partainya, sebab ia harus memikirkan orang yang jumlahnya jauh lebih banyak—bahkan lebih banyak dibandingkan jumlah pemilihnya, apalagi dibandingkan jumlah anggota partainya. Horison negarawan mestilah melampaui horison ketua partai, apalagi horison petugas partai. Karena itulah, Buya Syafii mengingatkan Sandi agar jika kelak terpilih, jangan jadi wapres yang sibuk menerima tamu dari partai-partai pengusung dan pendukungnya. Pintu rumahnya harus terbuka bagi tamu dari kalangan manapun.

Tantangan pertama untuk menjadi negarawan sebenarnya bukan datang dari luar, seperti partai-partai pendukung, melainkan dari diri sendiri. Mampukah seorang politikus yang terpilih jadi presiden/wakil presiden itu teguh pada cita-cita dan niatnya untuk mengabdi kepada negara dan bangsa. Jika ia seorang yang teguh hati, ia tidak akan mudah tergoda dan tunduk kepada kepentingan partainya secara sempit, melainkan setia kepada kepentingan rakyat secara umum.

Apabila horison seorang presiden/wakil presiden sebagai pemimpin telah melampaui kepentingan dirinya sendiri maupun kepentingan partai pendukungnya, ia tidak akan memikirkan cara-cara mempertahankan kekuasaan. Ia akan sepenuhnya memikirkan rakyat dan generasi penerusnya. Sebagai negarawan, ia tidak lagi bersikap partisan.

Dengan tidak lagi bersikap partisan, seorang pemimpin bangsa akan sanggup bersikap adil. Tuntutan rakyat akan keadilan sangatlah besar, dan jika seorang pemimpin tidak mampu memberikan keadilan, hidup rakyat tidak akan tenang. Ketika berkuasa, orang kerap lupa bahwa kekuasaan adalah alat untuk menegakkan keadilan, dan bukan untuk menciptakan serta membela ketidakadilan. “Keadilan tanpa kekuatan tidaklah berdaya, dan kekuatan tanpa keadilan hanya tirani belaka,” kata Blaise Pascal, orang Prancis yang hidup di abad ke-17 (1623-1662).

Menjadi kontradiktif dengan peran dan tangungjawab yang semakin besar bila seorang pemimpin masih mengistimewakan tempatnya berasal—partai, organisasi, golongan, kelompok. Dan dengan tidak meninggalkan tanggungjawabnya yang lama, menjadi sukar baginya untuk bersikap adil kepada rakyatnya. Inilah persoalan yang seringkali menimpa politikus yang tidak kunjung meningkat untuk menjadi negarawan. Ini pula yang menimbulkan sikap tidak adil. Seperti kata Martin Luther King, Jr.: “Di manapun, ketidakadilan adalah ancaman terhadap keadilan.” Dan ancaman ini bukan datang dari siapapun, melainkan dari sosok yang seharusnya memberi keadilan, yakni pemimpin dan orang-orang yang memegang kekuasaan. (Foto: tempo.co) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler