x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Berhentilah Mengolok-olok

Kecepatan dan keluasan distribusi internet dan media sosial menyebabkan olok-olok dan caci maki menyebar dengan sangat mudah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Dulu, di masa media sosial belum lahir, terlebih lagi sebelum internet lahir, olok-olok dan caci maki beredar di lingkungan yang sangat terbatas. Misalnya saja di satu kelas sekolah, atau di  satu ruang kantor, atau di sebuah tempat kerja. Olok-olok atau caci maki itu hanya didengar oleh orang-orang yang berada di sekitar tempat peristiwa olok-olok itu terjadi. Jika ternyata ada orang lain yang kemudian mengetahui peristiwa olok-olok itu, dapat diduga bahwa dia mendengar kisahnya dari orang yang semula mendengar langsung.

Tapi zaman berubah, internet memasuki setiap rumah keluarga, media sosial bahkan merasuki setiap bilik hati pemilik hape. Kecepatan dan keluasan distribusi internet dan media sosial menyebabkan olok-olok dan caci maki menyebar dengan sangat mudah. Dalam hitungan detik/menit, penjalarannya sudah sangat jauh. Teknologi mengubah interaksi sosial manusia dalam cara, frekuensi, maupun intensitas dan dampaknya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tentang dampaknya, umpamanya. Cerita tentang remaja yang bunuh diri karena tidak tahan diolok-olok di media sosial bukanlah hal baru. Caci maki pemberi komentar di laman-laman berita media online dengan cepat beranak-pinak, sahut-menyahut, dan komentar ini bisa memakan jumlah halaman yang jauh lebih banyak dibandingkan berita yang ditulis jurnalis media itu. Di media sosial, hal serupa terjadi dengan kecepatan penyebaran yang suka dibendung, dengan intensitas ekspresi yang cenderung meningkat.

Memang mengherankan, di negeri ini caci maki dan olok-olok cenderung berkembang menjadi kebiasaan yang dianggap lumrah. Dari kecebong dan kampret, sampai makian yang jauh lebih kasar. Apa yang sebenarnya terjadi dengan masyarakat kita? Lihatlah, produksi kata-kata yang menyakitkan perasaan orang lain—tidak peduli apapun latar belakangnya—terus berlangsung dalam hitungan menit, bahkan mungkin puluhan detik. Produksi kata-kata yang mengolok-olok itu bukan hanya terjadi di dunia maya dengan berlindung pada anonimitas, tapi juga di kalangan elite.

Caci maki dan olok-olok boleh dibilang ada pertanda terbatasnya kemampuan untuk menjelaskan sikap dan pikiran dengan cara yang logis-argumentatif. Keterbatasan kemampuan itu mendorong seseorang untuk mengambil jalan pintas dalam mengekspresikan pendapat dan sikapnya, yaitu dengan kata-kata makian dan olok-olok. Saat itu terjadi, ia melupakan kesantunan dalam berkomunikasi (haahh? Apakah di zaman sekarang, kesantunan masih berguna?)

Ketika orang memaki dan mengolok-olok, seseorang lupa sedikitnya tentang tiga hal. Pertama, ia memperlihatkan diri sudah kehilangan kendali dan tidak mampu lagi mengekspresikan sikap dan pikirannya secara agumentatif dan santun. Kedua, potensi dirinya untuk terserang penyakit akan cenderung meningkat, sebab ia menjadi tegang, kesal, dan marah. Ketiga, ia mungkin lupa bahwa orang yang ia caci maki atau ia olok-olok itu bisa jadi lebih baik ketimbang dirinya. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB