x

Iklan

Anggito Abimanyu

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kenapa Perdagangan Luar Negeri Defisit?

Neraca perdagangan Indonesia memang masih surplus, tetapi ditambah dengan kegiatan jasa ekspor impor maka neraca transaksi berjalan menjadi negatif.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kenapa Perdagangan Luar Negeri Defisit?
 
Oleh: Anggito Abimanyu
Dosen UGM, Yogyakarta
 
Pada dua dasa warsa dan sebelumnya, penyakit ekonomi makro Indonesia adalah inflasi. Inflasi Indonesia selalu berada di kisaran dobel digit atau di atas 10 persen. Dalam sepuluh tahun terakhir ini inflasi sudah di turunkan ke tingkat satu digit bahkan menuju ke tingkat di bawah 5 persen.
 
Saat ini penyakit ekonomi makro Indonesia berpindah dari inflasi ke defisit neraca perdagangan dan jasa Indonesia yang cukup akut. Cita-cita agar perekonomian Indonesia dapat tumbuh di atas 6 persen selalu terhambat dengan meningkatnya defisit neraca transaksi berjalan (neraca perdagangan plus jasa). Bahkan Bank Indonesia sudah mewarning jika defisit neraca transaksi berjalan di atas 3 persen dari PDB sudah pada tahap yang waspada. Defisit neraca transaksi berjalan di atas 3 persen dari PDB berarti ancaman bagi stabilitas makro ekonomi. Volatilitas Rupiah akan terjadi dan inflasi impor akan mempengaruhi inflasi umum, dan akhirnya laju pertumbuhan ekonomi Indonesia terhambat.
 
Setiap kali laju pertumbuhan ekonomi dipacu dengan investasi, maka upaya tersebut harus dibiayai dengan kenaikan impor barang modal, bahkan dengan impor yang semakin banyak. Kebutuhan belanja modal untuk investasi pada saat ini harus berasal dari barang impor. Sementara ekspor Indonesia, pada umumnya berasal dari ekspor komiditas primer. Ekspor manufaktur juga meingkat tetapi dengan laju yang lebih rendah dibandingkan dengan impor barang modal. Apalagi ekspor olahan dan impor barang modal memerlukan biaya jasa, seperti biaya logistik dan asuransi yang tidak sedikit.
 
Neraca perdagangan Indonesia memang masih surplus, tetapi ditambah dengan kegiatan jasa ekspor impor maka neraca transaksi berjalan menjadi negatif.
Sejak tahun 2004, kegiatan ekspor dan impor minyak Indonesia juga mencatatkan net ekspor yang negatif. Artinya Indonesia telah menjadi net importer dari minyak mentah dan BBM, setiap kali ada kenaikan harga minyak dunia, maka transaksi berjalan sector minyak akan negatif. Beruntung Indonesia masih punya gas yang menjadi penyangga ekspor Migas kita. Sebagain besar dari hasil natural gas Indonesia diekspor, meskipun saat inipun surplus gas semakin menurun karena gas olahan juga dibutuhkan di dalam negeri untuk LPG dan bahan bakar industri.
Dalam 20 tahun terakhir, komposisi ekspor Indonesia juga masih belum berubah, sebagian besar masih bertumpu pada ekspor komiditi primer, seperti minyak, gas, batubara, mineral dan produk pertanian serta perkebunan. Ekspor olahan kita masih terbatas pada produk kelapa sawit (CPO) dan olahan, minyak olahan, makanan, garment dan kerajinan.  Sementara impor kita terutama adalah BBM, mesin-mesin, elektronik, besi baja dan lain-lain yang banyak digunakan di industri dan manufaktur.  
Kenapa selama 5 tahun lebih kondisi transaksi berjalan kita memburuk?
Pertama lambatnya proses hilirisasi industri manufaktur kita. Investasi di bdiang manufaktur hilir sangat terbatas. APBN dan APBD pemerintah tidak diprioritaskan untuk membangun kapasitas manufaktur kita, baik dalam bentuk riset dan pengembangan serta SDM terampil pembuat mesin-mesin. Tidak ada insentif yang nyata bagi industry membangun industri berbasis mesin dalam negeri.
Kedua, SDM lulusan S1 ataupun SMK kita tidak diorientasikan untuk membangun mesin dan pengolahan. 10 tahun lebih SDM kita tertinggal dengan negara lain yang membangun kekuatan industri dari SDM sekolah vokasi.
Ketiga, Indonesia mulai membangun infstarstuktur fisik secara masif dalam 5 tahun terakhir tanpa persiapan SDM dan industry penghasil mesin sendiri yang cukup.
Keempat, Indonesia tidak memiliki instrumen kebijakan perdagangan luar negeri yang efektif untuk mendorong terjadinya surplus neraca transaksi berjalan. Prioritas perdagangan tidak diikuti oleh pengusaha, kebijakan penyediaan logistic terhambat masalah-masalah eksternal, instrumen tarif bea masuk dan bea keluar tidak dapat digunakan karena ikatan perjanjian perdagangan regional dan bilateral. Disamping itu juga terjadinya volatitas dalam nilai mata uang rupiah kita.
Upaya memperbaiki deficit neraca transaksi berjalan Indonesia saat ini dilakukan dengan kebijakan tidak cukup komprehensif. Kebijakan perdagangan saja terdapat di beberapa kementerian, perdagangan, pertanian, ESDM, keuangan dan Industri. Belum lagi apabila menyangkut pertanahan, perhubungan dan ketenaga kerjaan, maka kementerian terkait dan Pemda juga ikut terlbat. Tanpa kebijakan makro, khususnya nilai tukar dan dukungan sector keuangan sector, perdagangan sulit untuk berkembang. Dalam hal dilakukan perjanjian perdagangan luar negeri, kementerian luar negeri juga terlibat. Dalam hal diperlukan peraturan pemerintah atau setingkat UU, maka kementerian sekretaris kabinet dan sekreraris negara serta kementerian hukum dan HAM ikut terlibat.
Kebijakan menegmbangkan teknologi dan SDM kedepan, maka kebijakan kementerian Ristek dan Dikti harus sejalan dengan peta jalan pembangunan Industri Indonesia. Revolusi Industri 4.0 sudah berada didepan mata, tanpa inovasi dan tenaga terampil di bidang industri dan digital, industrialisasi atau hilirasi ekonomi kita akan tertinggal, transaksi berjalan akan terus mengalami defisit dan Indonesia akan terus mengalami destabilitas makro ekonomi.

2

Ikuti tulisan menarik Anggito Abimanyu lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu