x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menjadi Manusia Merdeka

Proses pendewasaan dan pribuminisasi gereja di Tanah Batak.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Menjadi Manusia Mandiri

Penulis: J.R. Hutauruk

Tahun Terbit: 2018

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: LAPIK

Tebal: x + 295

ISBN: 978-602-18708-3-9
Ketika membicarakan kekristenan di Tanah Batak, pikiran kita akan langsung tertuju kepada Nomensen. Nommensen dikenal sebagai Bapak Gereja Batak karena beliaulah yang pertama-tama membuat organisasi gereja (Batakmission) di tanah Batak. Ia membangun persekolahan di Pansurnapitu dan mendirikan gereja sebagai pusat zending di Pearaja pada tahun 1873. Karena keberhasilannya dalam penginjilan di tanah Batak, Nommensen ditahbiskan menjadi Ephorus pada tahun 1881 oleh RMG.

Padahal ada penginjil-penginjil yang datang sebelum Nommensen, seperti Samuel Muson dan Henry Lyman yang datang dari Boston pada tahun 1834. Kedua penginjil ini dibunuh dan mayatnya dimakan oleh orang-orang Batak di Kampung Lobu Pining. Ada juga Van Asselt, seorang penginjil sekaligus pengelola perkebunan yang merintis penginjilan di Angkola pada tahun 1856. Gereja di Angkola inilah yang menjadi titik berangkat menyebarnya kekristenan di tanah Batak.

Setelah dan bersamaan dengan era Nommensen ada nama-nama yang perlu dicatat. Diantaranya adalah Pendeta P. H. Johannsen dan Pendeta Johannes Warneck. P. H Johannsen adalah pendeta yang dipercaya oleh Nommensen untuk merintis persekolahan misi (seminari) di Pansurnapitu bersama dengan Pendeta J. H Meerwaldt. yang kemudian dilanjutkan dan dikembangkan oleh Johannes Warneck. Pendeta JWeerwaldt pulang ke Eropa, sementara Pendeta Johannson meninggal dunia setahun seteah Warneck datang ke Pansurnapitu.

Buku ini secara khusus membahas peran Warneck dalam mengembangkan gereja yang kemudian dikenal sebagai Huria Kristen Batak Protestan. Buku ini adalah seri ketiga dari lima buku tentang Johannes Warneck yang diyulis oleh J.R. Hutauruk. Dua buku sebelumnya berjudul: (1) Tebarkanlah Jalamu: Johannes Warneck di Nainggolan Samosir, 1893-1895, dan (2) Lihatlah Ladang-ladang yang Menguning! Pelayanan Johannes Warneck di Balige dam Toba Holbung 1894-1896.

Johannes Warneck adalah Ephorus kedua setelah Ludwig Ingwer Nommensen. Seperti halnya para pendahulunya, Warneck bercita-cita untuk membangun gereja yang dikelola secara mandiri oleh orang Batak. Itulah sebabnya ia begitu bersemangat untuk mengelola sekolah guru dan sekolah pendeta yang telah dirintis oleh Jakobson. Warneck tahu bahwa tidak mudah untuk mendidik orang Batak menjadi orang yang mandiri. Warneck menghadapi perbedaan budaya yang begitu tajam untuk mengubah calon-calon guru dan calon-calon pendeta menjadi orang-orang yang mandiri dan bertanggung jawab.

Seperti halnya Nomensen, Warneck juga menggunakan pendekatan pertobatan massal daripada pertobatan individu. Pelayanan melalui pendidikan dan kesehatan, serta hubungan baik dengan raja-raja adalah cara yang terbukti efektif untuk penginjilan di Tanah Batak. Itulah sebabnya Warneck begitu tertantang untuk menjadikan orang-orang Batak menjadi guru Injil dan pendeta. Ia mendidik orang-orang Batak di sekolah/seminari yang ia kelola. Baik Warneck, Johannson dan Nomensen meyakini bahwa orang Batak lebih mampu menjelaskan kekristenan kepada sesama orang Batak.

Meski Warneck sangat percaya bahwa penginjilan akan lebih baik jika disebarkan oleh orang Batak sendiri dengan Bahasa dan budayanya sendiri, namun ia mengakui bahwa mengubah karakter orang Batak sangat sulit. Ia harus menerapkan disiplin yang sangat keras di seminari. Ia berupaya untuk siswa seminari tidak malas, bekerja keras, jujur dan mandiri. Sikap mandiri ini terus ditempakan kepada calon-calon pendeta Batak karena ia menyadari bahwa suatu hari kelak kekristenan di Batak harus mandiri dan tidak tergantung kepada orang kulit putih (mata putih).

Warneck datang ke Seminari Pansurnapitu pada tahun 1896 untuk membantu Pendeta P. H. Johannsen yang ditinggal pulang Pendeta Meerwaldt pulang ke Eropa. Warneck datang bersama keluarganya, yaitu istrinya Gertrud Winkler, dan dua putrinya Elisabeth dan Kaetie. Sayang sekali setelah perayaan Natal tahun 1897, pada awal tahun, tepatnya tanggal 11 Januari 1898 Johannsen meninggal. Warneck harus melanjutkan pengelolaan seminari seorang diri. Namun dengan dukungan RMG seminari bisa berjalan sangat baik, dan akhirnya pindah ke lokasi yang lebih besar di Sipoholon.

Warneck sempat melakukan perjalanan ke Jawa untuk belajar dari perkembangan penginjilan di Jawa. Namun Warneck tidak begitu terkesan dengan perkembangan Injil di Tanah Jawa.

Selain dari mengajar siswa-siswa calon guru daan para calon pendeta, Warneck banyak menyediakan bahan bacaan bagi kekristenan di Tanah Batak. Ia menggunakan terjemahaan Perjanjian Baru dalam Bahasa Batak karya Nomensen dan Perjanjian Lama karya Johannson dalam penyebaran kekristenan baik di seminari maupun di gereja. Ia juga menggunakan Ketekhsimus Martin Luther dalam Bahasa Batak hasil terjemahan Nomensen. Warneck pernah menjadi pimpinan redaksi majalah Surat Parsaoran Immanuel. Melalui majalah ini Warneck memberi kesempatan kepada jemaat-jemaat lokal yang dikelola oleh pendeta Batak untuk memberikan kesaksian perkembangan jemaatnya. Warneck banyak menulis buku tentang kekristenan untuk mengajar. Diantaranya adalah Jamita Huria (Sejarah Gereja) dan Surat ni Markus (Tafsir Injil Markus) pada tahun 1893.

Warneck adalah pendeta yang sangat getol mempelajari budaya Batak. Ia mendirikan musium untuk menyimpan artefak-artefak Batak. Ia menyampaikan bahwa daripada artefak tersebut dibakar karena pemiliknya telah menjadi Kristen, lebih baik barang-barang peninggalan tersebut disimpan di musium yang ia dirikan. Ia juga menulis buku tentang buku budaya Batak berjudul Studien Ueber die Literatur der Tobabatak terbit pada tahun 1899. Pada tahun 1902 ia menerbitkan Umpama Batak; Die Christianisierung der Batakschen Sprache (Pengkristenan Bahasa Batak, 1904); Ilmu Bumi Asia tahun 1905, dan Tobabataksch-deutsches Woerterbuch (Kamus Bahasa Batak Toba – Jerman, 1905). Karena getolnya penggunaan budaya dan Bahasa Batak dalam penginjilan, banyak kata-kata Batak mendapatkan makna barunya. Kata-kata Batak itu menjadi sarana untuk menjelaskan konsep kekristenan dan dengan demikian makna mengalami perubahan.

Dapat disimpulkan bahwa selain dari Nomensen dan Johannson, Warneck adalah bapak kekristenan tanah Batak. Warnecklah yang berupaya sangat keras untuk menggunakan budaya dan Bahasa Batak dalam penginjilan. Dan, Allah ternyata memberkati Warneck dalam upayanya memandirikan Huria Kristen Batak Protestan.

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler