x

Iklan

Izzul Muslimin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Televisi Ogah Siarkan Reuni 212, Save Penyiaran Indonesia

Dalam prakteknya, media penyiaran tidak mudah memposisikan dirinya sebagai lembaga yang independen dan netral.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

SAVE PENYIARAN INDONESIA!
 
(by Muhammad Izzul Muslimin)
 
Salah satu ujian terbesar dunia penyiaran di Indonesia adalah saat menjelang Pemilu. Tarik menarik kekuatan politik menjadikan media penyiaran bisa jadi pelanduk yang mati di tengah-tengah pertarungan para gajah. Seperti diketahui, Undang-Undang Penyiaran mengharuskan media penyiaran (radio dan televisi) untuk bersikap netral dan mandiri. Hal ini agak berbeda dengan media cetak yang diatur oleh undang-undang pers yang tidak secara eksplisit mewajibkan media cetak bersikap netral dan independen. Artinya, jika ada media cetak yang diketahui partisan, mereka tidak dapat dikenai pasal pelanggaran, kecuali hanya soal etika jurnalistik dan kemungkinan hukuman atau boikot publik. Tetapi jika media penyiaran diketahui tidak netral dan tidak independen, maka media tersebut bisa  dicabut hak siarnya. 
 
Mengapa ada perbedaan perlakuan antara media cetak dan media penyiaran? Ini disebabkan karena dalam menjalankan aktivitasnya media penyiaran menggunakan frekwensi yang keberadaannya sangat terbatas. Sesuai dengan UU Penyiaran, frekwensi menjadi hak publik dan Negara menjadi pihak yang berwenang mengatur penggunaannya. Untuk bisa menggunakan frekwensi, pihak media penyiaran harus mendapatkan izin yang dibatasi ruang dan waktu. Jika mereka tidak bisa menggunakan frekwensi sesuai dengan syarat dan ketentuan, maka hak tersebut bisa dicabut dan bisa diberikan kepada pihak yang lain. Salah satu syarat bagi pengguna frekwensi adalah menjaga sikap netralitas dan independen. Artinya, media penyiaran harus berkomitmen bahwa apa yang disiarkan dijamin tidak hanya memihak kepada kelompok dan kepentingan politik tertentu. Media penyiaran dituntut memberikan kesempatan yang berimbang kepada semua pihak.
 
Dalam prakteknya, media penyiaran tidak mudah memposisikan dirinya sebagai lembaga yang independen dan netral. Apalagi ketika media penyiaran tersebut dimiliki oleh pengusaha yang baik langsung maupun tidak langsung beraviliasi kepada kelompok politik maupun kandidat tertentu. Meskipun demikian, jika lembaga penyiaran bersikap profesional mestinya harus tetap menjaga agar siarannya tidak cenderung berpihak apalagi secara sengaja menguntungkan pihak tertentu dan merugikan pihak yang lain. 
 
Kegiatan Reuni Aksi 212 yang berlangsung hari Ahad yang lalu memunculkan polemik terkait sikap media penyiaran dalam menginformasikan kegiatan tersebut. Hampir semua media penyiaran televisi sepertinya secara sengaja tidak menyiarkan acara yang dianggap sangat menyedot perhatian publik tersebut. Bukti bahwa acara tersebut menyedot perhatian adalah adanya polemik soal penyelenggaraan acara tersebut yang justru dimunculkan baik sebagai berita maupun sebagai acara diskusi dan debat publik di hampir semua media. Anehnya, ketika acara reuni aksi 212 tersebut berlangsung, media penyiaran yang sebelumnya membahas polemiknya justru tidak meliput sama sekali. Publik sudah pasti bertanya, ada apa sebenarnya dengan media penyiaran kita?
 
Hampir semua publik memahami bahwa kegiatan reuni aksi 212 selalu dikaitkan dengan kepentingan kontestasi Pilpres 2019 nanti. Ada tudingan bahwa acara tersebut dianggap menguntungkan kandidat yang satu dan merugikan kandidat yang lain. Polemik tersebut wajar terjadi karena memang sejak awal Aksi 212 tidak lepas dengan situasi dan kondisi politik yang berkembang di Indonesia. Tuduhan bahwa Reuni 212 sebagai aksi yang bermuatan politik tentu boleh-boleh saja, dan sebaliknya yang mengatakan bahwa itu hanya sebuah aktivitas kangen-kangenan dan rekreasi juga tidak bisa disalahkan. 
 
Media penyiaran boleh saja berkilah bahwa Reuni Aksi 212 adalah kegiatan yang menurut mereka tidak memiliki nilai jurnalistik yang tinggi sehingga tidak menjadi prioritas untuk diberitakan. Namun kalau alasannya demikian tentu sangat bertentangan dengan berita-berita dan acara debat atau diskusi publik yang mereka selenggarakan sebelumnya. Tentu publik berhak mempertanyakan kebijakan redaksi media penyiaran tersebut. 
 
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai Lembaga Negara Independen yang bertanggung jawab mengawasi dan membuat regulasi penyiaran diharapkan melakukan klarifikasi dan penyelidikan atas kejadian tersebut. Sesuai dengan fungsinya, bahwa KPI adalah lembaga yang mewakili kepentingan masyarakat, seharusnya KPI bisa berperan secara adil dan bijaksana. Kecuali jika KPI lebih menginginkan dirinya menjadi lembaga yang mewakili kepentingan politik tertentu atau mewakili rezim yang sedang berkuasa. Semoga kekhawatiran saya ini tidak menjadi kenyataan. Wallahu a'lam.
 
- Penulis adalah mantan Anggota Komisi Penyiaran Indonesia Pusat Periode 2007-2010.

 

Ikuti tulisan menarik Izzul Muslimin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler