x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ruang Publik yang Tercemar

Ruang publik yang tercipta oleh teknologi tercemar oleh prasangka, berita bohong, emosi, klaim kebenaran, puja-puji, olok-olok, dan hegemoni opini.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Ketika internet hadir di Indonesia pada pertengahan 1990an, teknologi ini menjadi medium yang sangat bermanfaat untuk mempertemukan beragam persepsi mengenai kondisi sosial-politik di masa Orde Baru. Diskusi berlangsung intensif, baik melalui e-mail maupun grup diskusi yang juga melibatkan orang-orang Indonesia di luar negeri. Media sosial jelas belum hadir.

Satu demi satu, situs pemberitaan mulai muncul, sebagian begitu bersemangat hingga akhirnya ambruk karena infrastruktur teknologinya belum siap untuk mendukung. Akses internet masih sangat terbatas. Namun di tengah keterbatasan itu sebagian masyarakat Indonesia dapat memanfaatkannya untuk berdiskusi. Wacana di grup-grup diskusi di dunia maya maupun pertukaran e-mail boleh dibilang berlangsung produktif karena dipersamakan oleh sebuah gagasan, yaitu sudah waktunya rezim Orde Baru diakhiri.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ketika tujuan bersama itu tercapai, elite lama yang cerdik lantas bergabung dengan tokoh-tokoh yang memelopori perubahan. Infrastruktur telekomunikasi perlahan membaik dan internet kian mudah diakses oleh masyarakat. Ketika pesan pendek (SMS) mulai digunakan, bertambahlah sarana komunikasi warga.

Tumbuh harapan bahwa internet dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk menyuarakan kepentingan publik dan menjadi  alternatif terhadap media arus-utama yang sudah ada: suratkabar, televisi, dan radio. Terlebih lagi ketika apa yang disebut ‘media sosial’ mulai berperan dalam lalu lintas komunikasi antarwarga. Kecepatan dan keluasan penyebarannya memberi kekuatan tersendiri pada media sosial, meskipun kita mengetahui kemudian di dalamnya terkandung kelemahan secara sosial.

Perkembangan teknologi ini dan kemudahan warga dalam mengaksesnya menambah harapan bahwa ruang publik seperti yang dibayangkan oleh Jurgen Habermas dapat diwujudkan di dunia maya—yang kemudian kita tahu bahwa sebenarnya juga nyata. Ruang virtual yang diciptakan oleh koneksi peranti teknologi ini berpotensi menjadi tempat diskursus isu-isu publik secara bertanggungjawab.

Berkat ketersediaan internet, warga (rakyat) dapat menyuarakan pendapat dan sikapnya untuk mengimbangi kekuasaan pemerintah, legislatif, maupun yudikatif. Rakyat juga kerap tidak puas terhadap sikap partai politik. Rakyat juga bisa menawarkan sisi lain terhadap pemberitaan media yang dikelola para jurnalis, sebab sejak di masa lampau selalu ada jurnalis yang menjadi penyambung lidah pemerintah maupun kekuatan politik lainnya.

Habermas mungkin kecewa bahwa internet dan media sosial, dalam perkembangannya, tidak lagi tumbuh menjadi ruang publik yang sepenuhnya menguntungkan perkembangan masyarakat. Para pebisnis dan politikus yang mengembangkan sayapnya di dunia maya dengan membangun situs-situs pemberitaan telah memengaruhi arah perkembangan diskursus publik dan juga demokrasi. Media sosial pun tidak luput dari genggaman kekuatan politik yang lebih sering berpikir tentang bagaimana memenangkan pemilihan dalam waktu dekat ketimbang memikirkan bagaimana nasib generasi mendatang.

Diskursus isu-isu publik di dunia maya, maupun pemberitaan di internet, berkembang ke arah yang kurang sehat. Prasangka begitu mudah tumbuh tanpa cukup usaha untuk menahannya. Warganet kian terbiasa melontarkan tuduhan tanpa melakukan tabayun, menelan informasi mentah-mentah tanpa lebih dulu memeriksa kebenarannya secara berhati-hati. Banyak orang menciptakan kabar palsu dan menyebarluaskannya tanpa merasa bersalah. 

Pasukan buzzer yang merambah ke mana-mana mendorong diskusi ke arah yang tidak fair. Banjir opini digelontorkan untuk memanipulasi persepsi publik agar meyakini apa yang mereka inginkan dan mengabaikan fakta obyektif. Masyarakat luas dipaksa, melalui bombardiran opini, bahwa apa yang mereka sodorkan itu benar dan merupakan kebenaran. Fakta diabaikan, dan tafsir ditekankan. Silih berganti opini bertarung menghegemoni ruang publik digital.

Partisanisme tumbuh dan memancing banyak warga yang tidak begitu memahami situasi untuk ikut serta bersikap serupa tanpa sepenuhnya sadar. Di saat tahun politik seperti sekarang, udara dunia maya pun dicemari oleh puja-puji serta saling mengolok. Klaim kebenaran dikumandangkan tanpa kesediaan secara terbuka untuk mengakui bahwa mungkin saja ada kebenaran di pihak lain. Anjuran untuk bersikap adil dipinggirkan dan bahkan ditertawakan. Sebagian jurnalis pun, yang semestinya mampu bersikap adil sekalipun tidak menyetujui pandangan yang berbeda demi menjaga kepentingnan publik, telah ikut-ikutan menunjukkan sikap partisan.

Ruang publik yang tercipta oleh kehadiran teknologi telekomunikasi telah tercemar oleh prasangka, berita bohong, emosi, klaim kebenaran, puja-puji, olok-olok dan caci maki, manipulasi persepsi melalui banjir opini, serta pengabaian fakta, sehingga dialog dan diskursus cenderung macet. Dengan situasi seperti ini, apakah pilihan ruang publik yang masih tersisa bagi masyarakat luas ketika politikus-pebisnis menguasai media lama dan baru, para jurnalis bersikap semi-partisan, dan media sosial sesak oleh para buzzer dan hoaxer? **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB