x

Iklan

Fernando Ignasius SH

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Double-Error Penanganan Kasus Labora Sitorus

Analisis Hukum

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kalau kita membaca secara cermat berkas-berkas perkara dan putusan pengadilan atas kasus Labora Sitorus akan tampak dengan jelas inkonsistensi antara pembuktian dan penerapan subjek hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Sejak tahap penyelidikan, Labora Sitorus diposisikan sebagai aparat negara yang mengelola perusahan-perusahaan dengan bisnis ilegal. Maka dia layak diminta pertanggungjawaban atas bisnis perusahaan yang diasosiasikan dengannya. Tapi konstruksi ini kemudian tidak sejalan dengan bukti-bukti dan argumen-argumen hukum yang digunakan.

Error In Persona

Labora Sitorus didakwa dengan tiga tindak pidana (Kehutanan, Migas, TPPU) dalam kaitannya dengan bisnis dua perusahaan yakni PT ROTUA dan PT SAW. Dalam konstruksi hukum yang linear, sebelum dakwaan tersebut dikenakan, penegak hukum mesti terlebih dahulu menemukan bukti-bukti meyakinkan bahwa Labora Sitorus merupakan pengelola kedua perusahaan tersebut sehingga pantas diminta pertanggungjawaban hukum atas ativitas perusahaan. Sebelum sampai pada titik itu, penyidik juga mesti terlebih dahulu menemukan bukti-bukti meyakinkan bahwa kedua perusahaan itu telah melakukan pelanggaran hukum dalam menjalankan bisnis.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dua langkah penting tersebut tidak tercermin dalam bukti-bukti yang diajukan oleh JPU dalam persidangan sehingga pantas diduga bahwa JPU telah melakukan kesalahan fatal dan serius dalam menetapkan subjek hukum yang dapat diminta pertanggungjawaban pidana  ketika menetapkan Labora Sitorus sebagai terdakwa (error in persona). Untuk lebih jelas, kesalahan itu dapat dibuktikan melalui dua argumen pokok.

Pertama, tidak ada fakta dalam persidangan bahwa Labora Sitorus adalah pemilik atau pengelola kedua perusahaan tersebut di atas. Kedua, JPU tidak mampu membuktikan bahwa temuan kayu oleh polisi di lokasi kerja perusahaan tersebut adalah ilegal. Temuan polisi tersebut merupakan awal mula kasus ini sebelum dikembangkan menjadi tiga tindak pidana. Karena itu, polisi semestinya membuktikan bahwa kayu tersebut ilegal sehingga perusahaan layak dipidanakan karena menjalankan bisnis ilegal. Salah langkah substansial dalam pembuktian kayu ilegal adalah melakukan lacak balak sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.30/MENHUT-II/2012. Berpegang pada aturan tersebut Tim Kuasa Hukum telah meminta untuk melakukan pemeriksaan lacak balak untuk menentukan asal usul kayu dan legalitasnya. Permintaan tersebut ditolak sehingga JPU gagal membuktikan secara substansial bahwa perusahaan telah melakukan bisnis ilegal.

Kesalahan dalam menetapkan subjek hukum tersebut terus berlanjut ketika hakim dalam pertimbangan hukum di tingkat kasasi II menggunakan kiasan atau perumpamaan dengan menganalogikan Labora Sitorus sebagai pengurus korporasi, sebagai subjek hukum yang dapat diminta pertanggungjawaban pidana. Selain tidak kompatibel dengan pembuktian di persidangan, penggunaan analogi tersebut juga bertentangan dengan ketentuan dalam hukum pidana yang melarang penggunaan kiasan karena bertentangan dengan asas legalitas dan tidak memberi kepastian hukum.

Error in Procedure

Kesalahan fatal dalam menentukan subjek hukum tersebut juga disertai dengan berbagai kesalahan prosedur (error in procedure) dalam penanganan kasus ini sejak tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di persidangan hingga eksekusi putusan. Di tingkat penyelidikan dan penyedikan, misalnya, Labora Sitorus ditetapkan jadi tersangka tanpa melalui pemeriksaan sebagai tersangka sehingga tidak ditemukan BAP tersangka dalam berkas-berkas perkaranya. Kendati demikian, JPU menetapkan berkas-berkas perkara tersebut P-21 dan meneruskannya ke persidangan.

Dalam proses penahanan dan eksekusi putusan pengadilan, tidak ada Surat Perintah Penahanan (SP2). Dari segi legalitas, Jaksa tak memiliki wewenang mengekseskusi putusan hakim kalau tidak disertai SP2. Lapas juga mesti menolak warga binaan baru jika tidak disertai dokumen lengkap seperti SP2 karena dokumen itu menjadi dasar bagi petugas Lapas untuk melakukan tindakan-tindakan penting terhadap warga binaan seperti menghitung remisi dan lain sebagainya. Ketidakcermatan aparat penegak hukum dalam menerapkan prosedur-prosedur resmi dalam kasus ini pantas diduga sebagai cerminan penegakan hukum yang tidak independen dan praktek seperti ini benar-benar mencederai prinsip keadilan yang semestinya menjadi muara semua proses penegakan hukum.

Ikuti tulisan menarik Fernando Ignasius SH lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler