x

Iklan

Anggito Abimanyu

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pentingnya Menghitung Realisasi APBN 2018

Menghitung realisasi APBN tidak hanya dari penerimaan negara, tetapi belanja dan akhirnya realisasi defisit dan pembiayaan APBN.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pentingnya Menghitung Realisasi APBN 2018

 

Oleh: Anggito Abimanyu

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dosen UGM, Yogyakarta

 

Realisasi pencapaian APBN penting untuk disimak karena dia menjadi salah satu sumber penilaian penting dari kinerja pemerintah. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebut untuk pertama kalinya, penerimaan negara akan lebih besar dibanding Target APBN 2018 (Serambinews, 6 Desember 2018)

"Untuk pertama kali penerimaan negara akan mencapai melebihi apa yang ada di dalam UU APBN (2018)," katanya saat ditemui di Kompleks Istana Kepresidenan, Rabu (5/12). Apalagi dilihat dari penerimaan pajak yang tumbuhnya mencapai 15,2%, penerimaan bea cukai tumbuh 14,7% dan penerimaan negara bukan pajak tumbuh 28,4%.

Kalau prognosa ini benar, dia merupakan prestasi yang luar biasa, di tengah-tengah kondisi ekonomi global dan nasional yang tidak menentu. Meskipun yang tumbuh tinggi adalah penerimaan negara bukan pajak khususnya dari PNBP migas karena factor eksternal harga minyak dan nilai tukar, pertumbuhan pajak 15% tetap saja istimewa. 

Kenaikan pertumbuhan penerimaan pajak yang wajar biasanya dapat diukur dari penjumlahan antara pertumbuhan ekonomi (5%), inflasi (3%) dan upaya internal (3%) atau sekitar 11%.  Jadi prognosa laju pertumbuhan penerimaan pajak 15% sudah di atas pertumbuhan pajak yang wajar 11%.

Meskipun menurut Dirjen Pajak, penerimaan pajak dalam APBN 2018 berat untuk dapat mencapai diatas pertumbuhan 15%.  Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memperkirakan penerimaan pajak tahun 2018 sekitar Rp 1.350 triliun. Angka itu sekitar 94,87% dari target APBN 2018 sebesar Rp 1.424 triliun atau 14,24% (Detik finance, 11 Desember 2018).

"Kami harus mengejar Rp 210 triliun, tahun lalu khusus bulan Desember dengan jenis pajak sama kami mengumpulkan Rp 167 triliun. Tahun lalu 14,24% dari total penerimaan. Kalau mencetak 14,24% dari penerimaan 2018 kemungkinan bisa menyelesaikan 94%," kata Dirjen Pajak, Kemenkeu (11/12/2018).

Apakah ini yang tertama kali Penerimaan negara di atas target? Jawabannya bukan.

Pada tahun 2007, target penerimaan APBN sebesar Rp 690,3 triliun, realisasi penerimaan negara melampauinya, sebesar Rp 707,8 triliun. Hal yang mirip juga terjadi di tahun 2008, saat itu target penerimaan APBN sebesar Rp 895 triliun, realisasi penerimaan melampauinya, sebesar Rp 981,6 triliun.

Tahun 2008, realisasi penerimaan negara berada diatas targetnya, bahkan mencapai 10% diatas.

Realisasi pendapatan negara dan hibah di 2008 mencapai Rp 981,61 triliun atau lebih tinggi 9,68% dari anggaran yang telah ditetapkan APBN-P 2008 yang sebesar Rp 894,99 triliun. Realisasi belanja negara di 2008 mencapai Rp 985,73 triliun atau 0,38% lebih rendah dari jumlah yang dianggarkan yang sebesar Rp 989,49 triliun (Detik Finance, 10 Januari 2010).

***

Realisasi pendapat negara yang dalam kendali pemerintah adalah penerimaan pajak, khususnya Pajak penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Penerimaan pajak ini masih banyak PR untuk memastikan basis penerimaan pajak kita sudah sesuai dengan kondisi fundamental ekonomi. Meskipun sudah ada kebijakan tax amnesti dan pertukaran pajak internasional dengan negara G20, rasio pajak Indonesia belum bisa keluar dari 12% dari PDB. Padahal negara setara lainnya sudah berada di atas 14%.

PNBP atau penerimaan negara bukan pajak, sebagian besar berasal dari Minyak dan Gas. Di samping itu adalah pertambangan umum (batubara dan mineral) dan dividen BUMN. Penerimaan negara dari Migas dan Batubara adalah sumber utama dan saat ini dalam kecederungan naik lagi setelah jatuh di tahun 2016 dan 2017. Dividen BUMN bertumpu dari hasil laba Pertamina, Telkom dan BUMN Perbankan. Sumbangan dividen dari bagian laba mereka sudah di atas 70% dari seluruh dividen laba BUMN lainnya di APBN. Dan prospeknya memang cukup bagus dan stabil, kecuali Pertamina yang sarat dengan perubahan kebijakan pemerintah.

Menghitung realisasi APBN tidak hanya dari penerimaan negara, tetapi belanja dan akhirnya realisasi defisit dan pembiayaan APBN.

Jenis belanja juga bermacam-macam dan ukuran realisasi belanja juga beragam. Belanja gaji dan tunjangan biasanya mencapai 100%, bahkan bisa lebih dari 100% jika ada tambahan pegawai atau kenaikan gaji ditengah-tengah tahun. Demikian juga dengan tunjangan, khususnya tunjangan asuransi kesehatan.

Belanja barang dan jasa biasanya dapat dihemat dan mencapai lebih dari 10%, terkait dengan perjalan dinas, ATK dan kegiatan meeting di kementerian. Penghematan i belanja ini biasanya dikategorikan sebagai efisiensi dari proses lelang dan rasionalisasi satuan biaya.

Jenis belanja modal biasanya juga di bawah 100% karena keterlambatan pencairan atas masalah dalam pengadaan barang dan jasa. Dan karena jumlah per proyek tidak kecil ada juga yang tidak dicairkan karena proses pengadaan bermasalah.

Realisasi belanja subsidi seringkali rumit karena banyaknya unsur ketidak pastian menyangkut faktor eksternal (harga minyak, volume subsidi, nilai tukar dan inflasi). Faktor politis juga sering menjadi penghambat pencapaian belanja ini.

Jika direncakan ada kenaikan harga jenis barang subsidi tertentu (misalnya BBM, TDL atau HPP Beras) tetapi urung dilakukan karena faktor politis pemerintah dan/atau DPR akan berpengaruh pada pencapaian realisasi belanja subsidi.

Jika demikian, lalu kenapa pencapaian belanja ini bisa mencapai di bawah 100%?

Jawabannya adalah karena beban subsidi APBN digeser ke biaya bagi BUMN pelaksana penyeluran subsudi, seperti Pertaina, PLN, Bulog, BUMN lainnya dan dalam beberapa tahun terakhir adalah BUMN perbankan penyaur KUR.

Belanja daerah, terdiri dari DAU biasanya 100%, sementara belanja bagi hasil Migas seringkali di bawah 100% pada tahun karena realisasi menunggu hasil pencapaian akhir tahun fiskal.

Jika terdapat perubahan sumber pembiayaan defisit APBN maka akan ditutup dari penerbitan obligasi baik dari SBN (Surat Berharga Negara) maupun SBSN (SUrat Berharga Syariah Negara).

Kondisi pasar keuangan surat berharga tahun 2018 yang kurang bagus karena factor global menjadi factor, namun dari sisi supply masih cukup banyak. Yield (imbal hasil) obligasi memang naik, namun supplynya dapat mencukupi untuk menutup deficit dan sekaligus sebagai sumber pendanaan investasi yang memadai.

Lalu bagaimana penilaian terhadap pencapaian APBN 2018?

Terlepas dari kontroversi mengenai pernyataan pertama kali mencapai target APBN yang perlu diluruskan, pencapaian APBN 2018 cukup melegakan. Penerimaan negara di atas target, defisit, baik dengan perhitungan prime maupun defisit keseluruhan di bawah sasaran merupakan hal yang sangat baik dalam suasana ketidakpastian ekonomi.

Di sisi belanja memang masih penuh tanda tanya karena ukuran belanja tidak selalu pencapaian dibawah target tetapi untuk beberapa jenis belanja diukur dengan hubungan pencairan belanja dengan output dan outcome.

Belanja negara di bawah 100% tidak selalu baik untuk kategori belanja modal pemerintah karena akan menurunkan outcome ekonomi. Semetara belanja subsidi harus dilihat berapa sebenarnya realisasi belanja yang sebenarnya dan dikaitkan degan pengalihan beban dari APBN kepada BUMN.

APBN adalah jangka perekonomian maka kredibilitas dan akuntabalitas kebijakan dan penbcaiapan terhadap APBN adalah salah satui sumber kepercayaan kepada pengelolaan ekonomi dan akan menjadi referensi bagi pelaku ekonomi dan investor.

2

Ikuti tulisan menarik Anggito Abimanyu lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler