x

Iklan

Yugha Erlangga

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ketika Kuburan Menjadi Perkara Sulit di Indonesia

Perkara makam dan kematian menjadi rumit belakangan ini. Ketika bumi pertiwi berbaik hati menerima siapa saja jasad yang berpulang, namun manusia punya atu

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pada tahun 2008, saya sempat bertemu mendiang Andy Tiellman, musisi dan salah satu personel Tiellman Brothers sekaligus frontman pada band tersebut. Bersama dengan saudaranya, Reggy, Ponthon, dan Loulou, Andy sangat populer di Eropa pada tahun awal 60-an hinggga 70-an. Permainan atraktif mereka di atas panggung , memainkan gitar sambil berguling-guling hingga mengigit gitar, adalah kekuatan dari Tielman Brothers. Mereka membawakan rock and roll sebelum The Beatles populer. Konon, permainan Tielman Brothers pula yang menginspirasi John Lennon yang menyaksikan aksi anak-anak berdarah Flores itu beraksi di salah satu kafe. Tapi orang-orang di Belanda lebih suka menyebut musik Tielman sebagai Indorock, perpaduan antara musik Indonesia dan Barat.

Meski meninggalkan Indonesia sejak tahun 1957, Andy Tielman, satu-satunya personel yang masih hidup pada 2008, masih begitu mencintai Indonesia. Ia sempat menunjukkan kemahirannya berbahasa Jawa dengan dialek khas Surabaya. Saya agak terkejut. Saat bertemu pertama kali itu, saya tidak tahu banyak latar belakang Andy, sang legenda. Betapa bodohnya saya. Meski berdarah Timor, Ayah Andy, Herman Tielman tumbuh di Surabaya.

Tapi, yang mengharukan adalah pentasnya semalam sebelumnya di kompleks Gelora Bung Karno. Andy menyanyikan Rayuan Pulau Kelapa, sebuah lagu yang sentimentil tentang rasa cinta pada tanah air. “Saya ingin meninggal dan dimakamkan di sini,” sambung Andy dalam obrolannya. Rasa cintanya pada Indonesia itu sungguh menggetarkan saya. Namun, takdir berkata lain. Pada 2011, sebuah surat elektronik masuk ke kotak surat saya. Isinya berita duka. Andy Tielman meninggal di Rijswijk pada 10 November 2011 akibat penyakit kanker lambung. Andy tidak sanggup memenuhi mimpinya untuk dimakamkan di tanah air tercintanya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dimakamkan di tanah kelahiran, atau sebuah tempat yang dicintai, adalah mimpi banyak orang. Sama halnya dengan jemaah haji, yang diam-diam memiliki hasrat untuk meninggal di Tanah Suci dan dimakamkan di sana.

Persoalan pemakaman di negeri yang dicintai Tielman bisa begitu rumit. Soal mati juga soal politik. Bung Karno, proklamator dan Pendiri Bangsa, pernah mengungkapkan keinginannya untuk dimakamkan di Istana Batu Tulis, Bogor, Jawa Barat. Namun, penguasa saat itu, Presiden Suharto melalui Keppres Nomor 44 tahun 1970, memutuskan kota Blitar, Jawa Timur, sebagai tempat peristirahatan terakhir Sang Proklamator. Banyak yang menduga bahwa pemilihan Blitar sebagai makam Bung Karno kental aroma politik. Memakamkan Bung Karno terlalu dekat dengan ibukota dapat memberikan pengaruh yang buruk bagi kekuasaan Suharto.

Perkara makam dan kematian menjadi rumit belakangan ini. Ketika bumi pertiwi berbaik hati menerima siapa saja jasad yang berpulang, namun manusia punya aturan mainnya sendiri. Salah satunya ketika terjadi penggalian kuburan massal pembantaian mereka yang diduga anggota/simpatisan PKI pada 16 November tahun 2000 di Wonosobo, Jawa Tengah.  Korban yang berjumlah 21 orang itu diberondong di sebuah hutan di bawah pohon kelapa. Keluarga korban ingin memakamkan secara layak sanak famili mereka setelah 34 tahun.

Ketika tulang belulang itu hendak dimakamkan dengan layak di pemakaman umum, jalan terjal masih menghadang keluarga korban. Sejumlah ormas menolak peti-peti mati berisikan tulang belulang anggota/simpatisan PKI dimakamkan di wilayah mereka. Spanduk berisi penolakan menyambut para anggota keluarga korban saat memasuki gerbang wilayah.  Spanduk itu bertuliskan: Tiada Tempat Bagi Bangkai PKI. Oknum ormas sempat mengamuk dan membakar peti mati kosong. Alhasil, niat keluarga korban untuk memakamkan anggota keluarga mereka berujung kegagalan. Akhirnya, mereka berhasil memakamkan anggota keluarga tercinta di tempat lain.  

Tak hanya korban pembantaian 1965, pelaku terorisme adalah mereka yang kerap ditolak lingkungan untuk dikuburkan di pemakaman umum. Belakangan, bukan hanya mereka yang melakukan “dosa besar” bagi negara, seperti menjadi PKI atau pelaku pengeboman, yang sulit diterima bumi. Mereka yang berbeda keyakinan pun harus melewati syarat-syarat tertentu agar bisa diterima bumi. Narasi bahwa keberagaman adalah berkah bagi pertiwi rasanya harus dibongkar ulang. Keberagaman itu ancaman –barangkali.   

 

Ikuti tulisan menarik Yugha Erlangga lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler