x

Iklan

Elnado Legowo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Amarah Warga Perancis telah Membakar Paris

Kerusuhan di Paris telah mengingatkan kembali kepada peristiwa Revolusi Perancis.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Beberapa pekan terakhir, Kota Paris yang terkenal sebagai kota yang romantis di dunia telah berubah menjadi kota yang kacau dan mencekam. Orang-orang pada berdatangan ke Paris untuk berdemo dan berakhir pada kerusuhan yang tak terkendali.

 

Kerusuhan ini dipicu oleh ketidakpuasan masyarakat kalangan menengah ke bawah atas kebijakan Presiden Emmanuel Marcon yang menaikkan harga BBM. Kebijakan ini diambil untuk memerangi global warming, mencegah penggunaan bahan bakar fosil yang tidak dapat diperbaharui secara berlebihan, dan mengalihkan dari pengguna kendaraan berbahan bakar mesin menjadi elektrik. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Namun, harga mobil elektrik adalah 25.000 euros. Tidak sebanding dengan penghasilan warga kelas menengah ke bawah yang senilai 1.200 hingga 2.400 euros perbulan. Selain itu masih ada berbagai macam pajak tinggi yang harus ditanggung, seperti pajak income, pajak sampah, pajak listrik, pajak gas, pajak bensin, dan lain-lainnya. Belum lagi pemotongan gaji dan uang pensiun. Sedangkan warga yang menengah atas mendapat kelonggaran dalam membayar pajak dan gaji hingga dana pensiun. 

 

Selain itu, sebagian besar warga yang melakukan protes adalah warga yang tinggal diluar kota Paris seperti di pedesaan dan pegunungan. Disana mereka masih membutuhkan mobil sebagai alat transportasi. Sebab transportasi di luar Kota Paris masih belum memadai. 

 

Karena itu rakyat menilai kebijakan Emmanuel Marcon hanya menguntungkan warga yang tinggal di Paris yang sebagian besar berpenghasilan tinggi dengan transportasi yang memadai. Hal ini membuat Presiden Emmanuel Marcon dijuluki sebagai “Presidennya orang kaya”. Dari kasus ini, tampaknya Presiden Marcon kurang melakukan riset dan pertimbangan yang matang sebelum membuat keputusan untuk menaikkan harga BBM, terutama pengaruhnya terhadap masyarakat luar kota Paris.

 

Warga yang tidak puas dengan keputusan tersebut, datang ke Paris dengan menggunakan rompi kuning dan menamakan kelompok mereka sebagai “Gilet Jaunes”. Pada awalnya mereka melakukan aksi demonstrasi besar-besaran di Paris, namun berakhir dengan kerusuhan massal. Mereka melakukan pengrusakan dan penjarahan terhadap bank, perusahaan asuransi, rumah pribadi, kafe kelas atas, dan toko butik mewah. Selain itu mereka juga melakukan pengrusakan dan pembakaran terhadap mobil, terutama mobil mewah. Mereka juga merusak jalanan untuk mengambil bebatuannya untuk dijadikan senjata melawan aparat keamanan. Yang paling buruk adalah mereka juga melakukan vandalisme terhadap monumen bersejarah Perancis yaitu Arc de triomphe yang dibangun pada abad ke-19, sehingga monumen tersebut mengalami kerusakan parah. Kerusuhan ini telah mengubah wajah kota Paris seperti di medan perang.

 

Penyebab kerusuhan massal ini diduga karena disusupi oleh sayap kanan dan sayap kiri, orang-orang berpaham ekstrimis atau radikal, dan pihak oposisi yang ingin menggulingkan Presiden Emmanuel Marcon. Hal ini dibuktikan bahwa aksi demo kenaikan BBM juga diselimuti oleh aksi-aksi lain, yang salah satunya meneriakan Presiden Marcon agar mundur dari kursi presiden.

 

Peristiwa ini berhasil membunuh perekonomian di Paris dalam 3 pekan terakhir. Banyak pesanan kamar hotel yang dibatalkan oleh calon penginapnya. Rencana travel dari berbagai manca negara juga dibatalkan. Banyak toko-toko yang tutup akibat pengrusakan dan penjarahan massal, terutama di jalan Champ Elysees yang terkenal sebagai pusat tokoh mewah. Banyak objek wisata yang ditutup seperti Menara Eiffel, Museum Louvre serta Museum Orsay dan kompleks istana. Menurut Anne Hidalgo, walikota Paris, kerugian akibat peristiwa ini mencapai 3 hingga 4 juta euros atau sekitar 48,7-64,9 miliar rupiah.

 

Kini aksi protes kenaikan BBM sudah menyebar ke negeri tetangga seperti di Belanda, Belgia dan Jerman. Banyak pejabat pemerintah Perancis menganggap peristiwa ini adalah lebih buruk daripada peristiwa Mei 1968. 

 

Peristiwa Mei 1968 adalah sebuah demonstrasi mahasiswa Perancis yang menentang konservatif, kapitalisme, imperalisme dan terhadap kekuasaan (pemerintahan Presiden De Gaulle). Peristiwa ini diawali oleh pemogokan mahasiswa dan pelajar di kota Paris, lalu diikuti oleh para buruh dan pekerja. Aksi ini mengakibatkan kota Paris menjadi lumpuh dalam beberapa minggu. Kejadian ini berhasil membuat pemerintah Perancis bertekuk lutut terhadap rakyatnya dan lengsernya Presiden De Gaulle dari bangku kepresidenan.

 

Ada juga berapa sumber yang mengaitkannya dengan Revolusi Perancis (5 Mei 1789 – 9 Nov 1799). Revolusi Perancis juga disebabkan oleh kemarahan rakyat terhadap pemerintah Kerajaan Perancis yang disebabkan oleh pajak yang tinggi terhadap masyarakat kecil, sedangkan kaum bangsawan dan kaum pendeta mendapatkan peringanan dalam membayar pajak. Pajak yang tinggi itu berupa pajak tanah (taille), pajak gandum (gabelle), dan pajak anggur (aide). Pajak itu tidak digunakan untuk kepentingan negara melainkan untuk kepentingan raja dan kerabat istana. Mereka malah berpesta foya dan hidup nyaman di Versailles. Terutama gaya hidup Ratu Marie Antoinette dan putri-putri kerajaan yang sangat boros.

 

Krisis perekonomian yang parah, angka kriminalitas yang meningkat dan krisis keuangan yang tidak kunjung membaik telah membuat rakyat Perancis semakin menderita, ditambah dengan beban pajak yang semakin tinggi. Sedangkan, pihak kerajaan dan pemerintah tampak sangat acuh dengan permasalahan yang sedang dihadapi oleh masyarakat.

 

Kemarahan rakyat Perancis tidak terbendung dan akhirnya mereka melakukan penyerbuan terhadap Benteng Bastille yang disebut sebagai simbol kekuasaan monarki. Disana mereka juga membebaskan beberapa tahanan terutama tahanan politik kerajaan Perancis dan merebut senjata serta amunisi. Setelah peristiwa itu, terjadilah pertempuran antara rakyat sipil dengan tentara pemerintahan Perancis. Kekerasan, kekacauan dan penjarahan terjadi di seluruh kota Paris. Lama kelamaan aksi ini menyebar hingga seluruh Perancis.

 

Hal ini menyebabkan runtuhnya Kerajaan Perancis dan pemerintahan yang absolut. Raja Louis XVI dan Ratu Marie Antoinette juga tertangkap ketika hendak mengungsi keluar negeri. Mereka diadili dan dihukum mati pada 21 Januari 1793. Para bangsawan yang takut menjadi korban memilih untuk melarikan diri keluar negeri.

 

Dari peristiwa ini, kita harus belajar akan satu hal. Yaitu bukan rakyat yang takut pada pemerintah, melainkan pemerintahlah yang harus takut kepada rakyat. Sebab, pemerintah bisa menjabat karena dipilih dan diberikan mandat atau kepercayaan oleh rakyatnya untuk memimpin mereka. Bila pemerintah yang sudah dipilih malah mengecewakan rakyatnya dan bertindak sewenang-wenang, maka jangan heran bila rakyatnya akan mengamuk dan menggulingkan pemerintah yang sudah dipilihnya.

 

Apa yang sudah terjadi di Indonesia seperti peristiwa Mei 1998 adalah sekala kecil dengan apa yang telah terjadi saat Revolusi Perancis. Sebab warga Indonesia masih baik terhadap pejabat pemerintah ketimbang orang-orang luar. Contohnya di Ukrina yang dimana rakyatnya berbondong-bondong melempar para anggota DPR yang mereka pilih ke tempat sampah karena dianggap buruk kinerjanya.

Ikuti tulisan menarik Elnado Legowo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler