x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Thousand Miles of Literacy

Perenungan setahun dari kehidupan seorang tokoh literasi Indonesia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Thousand Miles of Literacy

Penulis: Satria Dharma

Tahun Terbit: 2018

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Eurika Academia

Tebal: xiii + 512

ISBN:  978-602-53152-1-3

 

 

Tubuhku terhempas di atas ranjang. Serangkaian rapat dengan tensi tinggi sejak pagi benar-benar menguras tenaga dan pikiran. Belum sempat menata kepala di atas bantal, muncul kalimat di layar hp saya. "Pak tolong segera di-approve dan dijalankan MCM-nya. Terpaksalah saya bangkit dan membuka laptop lagi. Selera istirahatku kabur bersama senja. Untunglah Pak Satria Dharma mengajakku berwisata mulai dari Pukhet sampai Blora. Wisata yang ditemani oleh perempuan cantik yang pangkuannya rela digunakan sebagai bantal di atas Air Asia. Perempuan cantik yang tidak menolak naik Jeepny di Manila, naik becak di Kamboja dan naik Tuktuk di kepadatan jalanan Bangkok.

Saya berhenti di Cepu. Sebab perjalanan selanjutnya adalah tentang agama. Saya harus cari waktu yang agak longgar dan otak yang segar supaya bisa mencerna karya Agung beliau tentang agama. Setelah selesai membacanya, saya tak akan menuangkan kesan saya dalam resensi. Sebab sebagai seorang tripel minoritas saya harus benar-benar berhati-hati. Minoritas pertama saya adalah karena ada darah Tionghoa yang mengalir pada tubuh saya. Tapi saya yakin darah saya tidaklah 100% Tionghoa. Sebab payudara ibu dan nenek saya besar seperti payudara perempuan Jawa. Bukankah payudara para perempuan Tionghoa yang lebih murni lebih tipis? Minoritas kedua saya adalah saya bukan pedagang. Tionghoa tanpa toko adalah minoritas di tengah minoritas. Keminoritasan saya yang ketiga adalah karena saya Kristen.

Bagian agama ini memang berat. Pokok bahasannya adalah tentang keberagamaan di era demokrasi langsung. Apalagi yang membahas adalah Satria Darma al Makassari. Seorang ustazd (setidaknya menurut saya) yang telah khatam Quran berkali-kali dan berwawasan luas dari mulai filsafat Barat sampai ajaran Tao, Budha dan Konghucu dari timur. Seorang yang juga menggumuli ajaran Jawa Manunggaling Kawula Gusti. Tapi juga melahap semua serial Kho Ping Ho dan Api di Bukit Menoreh. Kepakarannya dalam membahas isu-isu agama (Islam) yang berhubungan dengan kehidupan nyata di era milenial tak perlu dipertanyakan. Bagi beliau Islam adalah Rahmatan lil alamin – Islam pembawa damai. Jadi kalau ada yang membawa Islam yang suka ngambeg, suka marah dan gampang tersinggung, Satria Dharma akan menentangnya dengan keras.

Bahasan tentang agama ini afdol tetapi renyah. Sebab meski ilmunya setinggi Gunung Semeru yang berpeci awan, beliau tetap update dengan teknologi jaman now. Tak segan beliau menggunakan emoticon gaya anak millennial. Kalimat-kalimatnya renyah seperti krupuk Sidoarjo yang lebarnya menyamai genangan lumpur lapindo. Namun jangan menyangka bahwa ungkapan beliau sesejuk beer bintang yang ditenggak bersama kacang goreng. Banyak hal pahit dan sengit yang membuat jantung lompat keluar dari tenggorokan. Sindirannya tajam setajam silet (kayak judul infotainment). Jadi....ya sebagai tripel minoritas saya hanya bisa mengangakan mulut saat menikmatinya. (Semoga tidak ada lalat iseng yang menyangka ada gua wisata seperti yang di Malaysia).

Bagian ketiga dari buku ini adalah tentang politik. Sebagai orang yang tidak suka hingar-bingar, saya baca dengan cepat saja bagian ini. Saya orang yang tidak suka politik. Meski saya ikut menulis di buku “#Kami Jokowi” tetapi yang saya tulis di situ bukan tentang karier politik Pak Jokowi. Saya menulis tentang Jokowi dan Buku. Menurut saya, meski Jokowi tidak dikenal sebagai orang yang dekat dengan buku seperti Sukarno atau Hatta, beliau adalah presiden yang sangat peduli dengan literasi untuk mencerdaskan bangsa. Sukarno jelas orang yang gila membaca. Selain menikahi sembilan perempuan, menurut Oei Tjoe Tat, Sukarno meniduri banyak buku di ranjangnya. Jokowi tidak pernah terlihat membaca buku. Tapi di era beliaulah gerakan literasi membuncah. Tentu saja gerakan literasi ini juga dikumandangkan oleh Mas Anies Baswedan dan teman akrabnya yang bernama Satria Dharma.

Nah bagian terakhir dari buku inilah yang sungguh menarik bagi saya. Satria Dharma mengenalkanku dengan tokoh-tokoh yang cinta literasi. Ada Pak Daud Yusuf sang mantan Menteri Pendidikan, si seksi Dolly Parton yang menyumbang 100 juta buku anak dan Dukut Imam Widodo yang suka dengan Tempo Doeloe. Mereka bertiga adalah teladan literasi.

Setelah menyinggung serba sedikit tentang hoax (entah mengapa beliau hanya bicara sedikit tentang hoax, padahal beliau adalah duta hoax…eh anti hoax dan sering muncul di TV-TV untuk membahas tema hoax), beliau membahas Dilanisme dan Homo Deus – sejarah tentang peradaban manusia. Dalam berbahasa kita sering terbawa gaya populer ala Dilan, Vicki Prasetyo dan lain-lain.

Eh…ternyata masih ada bagian yang lebih terakhir dari topik literasi. Bagian akhir yang paling akhir ini membahas serba-serbi. Saya jadi teringat komentar konsultan Bank Dunia - bank yang gak punya ATM, di sebuah seminar tentang pendidikan di Bangkok beberapa tahun lalu. “Orang Indonesia memang kreatif,” katanya. “Setiap membuat tabel selalu ada kolom ‘Keterangan’, meski tidak pernah diisi.”  Saya jadi tersindir dengan joke tersebut. Tapi memang benar. Hal-hal yang tak berhubungan dengan isi tabel atau tema tabel bisa dengan mudah dimasukkan ke dalam kolom ‘Keterangan’ tersebut. Hal-hal yang sebenarnya gelap, jadi terang karena masuk ke kolom ‘Keterangan’. Tapi jangan berprasangka dulu. Bagian Serba-Serbi ini bukan kolom ‘Keterangan’ meski sebenarnya mirip. Topik-topik tulisan yang tidak masuk ke golongan wisata, agama, politik dan literasi menjadi serabi yang enak untuk dinikmati di bagian Serba-Serbi ini.

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler