x

Iklan

Redaksi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Early Warning System Gempa dan Tsunami di Indonesia

Pada 2004 ketika gempa dan tsunami menerjang Aceh, saat itu pemerintah dan publik baru sadar bahwa pentingnya membangun dan memilki alat pendeteksi dini.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh Satria Antoni

PhD Candidate bidang Marine Geology di King Abdulaziz University Jeddah, Saudi Arabia.

                              

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Indonesia kembali dilanda tsunami pada hari Sabtu tanggal 22 Desember 2018. Tsunami kali ini agak berbeda sebab tidak didahului oleh gempa tektonik seperti yang sudah terjadi sebelumya di Aceh pada 26 Desember dan di Palu 28 September lalu. Tsunami yang melanda Selat Sunda disebabkan oleh dua hal yaitu pertama longsor bawah laut akibat aktifitas erupsi gunung anak Krakatau dan yang kedua disebabkan oleh gelombang pasang pada saaat bulan purnama. Hingga saat ini Ahad (23/12) pukul 16.00 WIB Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sudah 222 meninggal dunia dan 843 mengalami luka-luka dan jumlah korban akan terus bertambah seiring dilakukannya evakuasi.

Sebagai seorang Marine Geologist penulis ingin menyampaikan kajian mitigasi gempa dan tsunami dan rekonstruksi early warning system untuk proses preventif supaya berkurangnya korban jiwa dimasa yang akan datang.

Early warning system

Secara geografis, Indonesia berada di posisi cincin api (ring of fire) lempeng tektonik. Pada zona ini banyak sekali terdapat aktifitas seismic. Negara Indonesia terletak diantara Cincin Api dan Sabuk Alpide yang membentang dari Nusa Tenggara, Bali, Jawa, Sumatra, terus ke Himalaya, Mediterania dan berujung di Samudra Atlantik. Inilah sebabnya di Indonesia banyak gunung berapi aktif dan banyak terjadi gempa. Gunung-gunung berapi di Indonesia termasuk yang paling aktif dalam jajaran gunung berapi pada ring of fire. Mengingat lokasi yang sangat rawan ini maka seyogianya Indonesia mempunyai alat pendedektsi gempa dan tsunami yang memadai seperti di Jepang.

Pada tahun 2004 ketika gempa dan tsunami menerjang Aceh, saat itu pemerintah dan publik baru sadar bahwa pentingnya membangun dan memilki alat pendeteksi dini di tanah air. Banyak ilmuwan dan geologist menyarankan bahwa sudah saatnya Indonesia dengan posisi geografis yang berada dalam kondisi yang rawan akan gempa dan tsunami memiliki alat dan sistem deteksi dini tsunami. Sebenarnya Indonesia semenjak 1996 sudah memiliki system deteksi tsunami yang dikenal dengan Seawatch yang bekerjasama dengan Oceanor dari negara Norwegia (Joko, 2018).

Selain mampu mendeteksi tsunami, kemampuan kerja alat Seawatch juga bisa mengukur parameter kualitas air laut dan juga mampu mendeteksi tingkat pencemaran laut yang bisa bermanfaaat untuk nelayan ikan yang ingin berbudidaya ikan laut. Ada 12 sensor deploy buoy yang sudah dipasang di Indonesia dalam kurun waktu periode tahun 1996 sampai 2000 yang terletak di Teluk Jakarta, perairan masalembo, Selat Malaka dan lain-lain nya. Pemerintah Indonesia disaat itu menargetkan supaya pemasangan sensor buoy ditingkatkan menjadi 50 buah yang akan dipasangkan di derah perairan yang rawan dengan gempa dan tsunami, namun perencanaan itu tidak bisa terwujud disebabkan krisis moneter yang melanda bangsa kita pada tahun 1998 dan akhirnya program dan perencanaan ini diberhentikan.

Pasca gempa dan tsunami melanda Aceh tepatnya pada tanggal 26 Desember 2004, publik kembali mendorong pemerintah untuk mengaktifkan kembali sistem pendeteksi tersebut. Pemerintah Indonesia me-lauching sebuah program pendeteksi dini tsunami yang dikenal dengan Program Indonesia Tsunami Early Warning System (Ina-TEWS). Program ini menggunakan bahan material yang digunakan oleh program seawatch sebelumnya yang kemudian dikembangkan dan disempurnakan lagi oleh engineer di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Sebenarnya system ini sudah berfungsi dengan baik akan tetapi akibat sifat thamak yang tak bertanggung jawab akhirnya sensor buoy-nya banyak dicuri dan hilang dari stasiun nya. Masyarakat kita belum sadar dan bahkan tabiat mencuri masih tinggi walaupun sudah melihat fakta realitas betapa dahsyatnya bencana gempa dan tsunami yang melanda aceh tahun 2004 lalu.

Belajar dari Jepang

Saat penulis berkunjung ke Jepang bebrapa bulan lalu dalam agenda International Conference of Japan Geoscience Union, Penulis melihat bahwa Jepang adalah negara yang mempunyai alat pendeteksi gempa dan tsunami yang sangat canggih. Alat deteksi tsunami Jepang yang canggih itu dikenal dengan nama Sub-marine Cable Based System. Struktur teknologi ini lebih akurat dan lebih aman dari tangan manusia yang rakus karena sistem ini dipasang dibawah laut. Teknologi ini dikembangkan oleh JAMSTEC (Japan Agency for Marine-Earth Science and Technology).

Sampai saat ini, negara kecil seperti Jepang saja sudah memiliki lebih kurang sekitar 500 buah sensor bawah laut (Sub-marine Cable Based System,) (Joko, 2018). Dari total keseluruhan sensor sekitar 2500-3000-an sensor gempa dan tsunami yang dimilikinya. Melihat kesuksesan Jepang dengan menggunakan teknologi ini maka akhir-akhir ini Taiwan juga ikut mengembangkan dan mengadopsi alat dan teknologi deteksi tsunami bawah laut ini. Sehingga bisa dipastikan bahwa seluruh perairan Taiwan saat ini sudah memiliki system teknologi Jepang tersebut.

Indonesia yang merupakan negera yang memiliki garis terpanjang nomor 2 di dunia dengan panjang garis pantai 54.716 km belum memiliki alat dan teknologi gempa dan tsunami yang akurat dan optimal. Sumpah serapah yang dilontarkan oleh publik BMKG akibat mencabut kembali peringatan dini tsunami saat setelah gempa terjadi di Palu itu menandakan teknologi yang dimiliki belum mumpuni. Kita selaku warga negara yang baik tidak seharusnya menyalahkan BMKG karena memang alat dan teknologi itu sendiri belum tersedia dengan baik seperti negera Jepang dan Taiwan. Dengan berbekal sistem dan sensor tersebut, tentu akan memudahkan kita dalam melakukan analisis cepat untuk peringatan dini terkait dengan potensi gempa dan tsunami.

Indonesia sudah selayaknya harus mengikuti jejak Taiwan yang sudah lebih dahulu mengadobsi teknologi ini. Teknologi ini diyakini akan lebih aman dibandingkan teknologi buoy system yang sebelumnya pernah diterapkan oleh Indonesia, tetapi rentan aksi pencurian dan vandalisme. Teknologi ini juga akan sangat akurat mendeteksi longsoran bawah laut, seperti halnya yang terjadi di Palu, yang akhirnya memicu gelombang Tsunami. Fenomena longsoran bawah laut ini adalah sebuah fenomena yang tidak bisa terdeteksi oleh jaringan seismograf dan GPS yang ada di darat.

Tsunami akan terus mengancam Indonesia, karena kita berada di zona ring of fire. Hal yang harus dilakukan oleh pemerintah kita Indonesia adalah menyiapkan infrastruktur sistem peringatan dini dini (Sub-marine Cable Based System), sistem mitigasi dan penanganan yang cepat, serta mengedukasi masyarakat tentang gempa ataupun tsunami untuk mengurangi korban jiwa dan kerusakan lainnya dalam konteks tindakan mitigasi dimasa yang akan datang.

Wallahu Alam Bissowab.

 

Satria Antoni

PhD Candidate bidang Marine Geology di King Abdulaziz University Jeddah, Saudi Arabia.

 

 

Ikuti tulisan menarik Redaksi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB