x

Iklan

Zulhidayat Siregar

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Prabowo Pemimpin Autentik

Prabowo Subianto merupakan pemimpin yang autentik, genuine, natural. Dia tampil apa adanya, sebagaimana biasanya

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Prabowo Subianto merupakan pemimpin yang autentik, genuine, natural. Dia tampil apa adanya, sebagaimana biasanya. Tanpa ada polesan dan pencitraan. Termasuk dalam tahun politik atau masa kampanye seperti sekarang ini, yang umumnya para politikus biasanya menjadi seseorang yang bukan dirinya hanya karena ingin mendapat suara.

Pernyataan-pernyataan seperti ini biasanya disebutkan dan disampaikan oleh para pendukung atau tim suksesnya. Misalnya, Koordinator Juru Bicara Prabowo-Sandi, Dahnil Anzar Simanjuntak. Dalam sebuah kesempatan, mantan Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah itu mengakui Prabowo sulit melakukan pencitraan. Bahkan model pakaian Ketua Umum DPP Gerindra tersebut, kata dia, itu-itu saja.

Seiring perjalanan waktu, rakyat sepertinya juga sudah bisa melihat dan menyaksikan sendiri bahwa Prabowo memang benar-benar seorang yang autentik. Bukan lagi karena disampaikan oleh tim suksesnya. Keautentikan tersebut, semakin jelas kalau diperbandingkan dengan lawan politiknya pada Pemilihan Presiden 2014  ini. Yaitu, pasangan Joko Widodo-KH Maruf Amin.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam tulisan singkat ini, kita ambil dua contoh saja. Pertama, praktik keberislaman. Kedua, perlakuan terhadap saudara sebangsa yang berbeda keyakinan. Dua contoh ini penting untuk diangkat. Karena keduanya menyangkut cara kehidupan yang paling asasi dari rakyat Indonesia pada umumnya.

Harus diakui bahwa mayoritas pemilih Indonesia masih emosional. Memilih calon pemimpin yang punya kedekatan secara emosi. Para calon tentu tidak mau mengabaikan ceruk suara yang besar ini. Karena itulah para calon melakukan apa saja, agar dianggap sebagai bagian dari pemilih. Termasuk melakukan hal-hal yang biasa dilakukan oleh pemilih. Disinilah biasanya terjadi politisasi.

Soal keberislaman misalnya. Jokowi harus diakui bukan berasal dari keluarga santri, yang kuat dan mendalam soal pemahaman serta praktik keberislaman. Malah, sepanjang pemerintahannnya ini, Jokowi dianggap anti Islam, anti ulama. Sadar mempunyai kekurangan dari sisi itu, Jokowi mengambil ulama sebagai cawapres, dan berakrobat dengan tampil selayaknya tokoh Islam atau orang yang paham agama.

Kamera pun selalu stand by untuk mendokumentasikan saat dia shalat. Pemberitaan Jokowi tetap menyempatkan shalat meski waktu mepet seperti dalam perjalanan, kerap menghiasi media. Tak hanya makmum, Jokowi juga tampil sebagai imam meski banyak orang yang lebih fasih bacaan Al-Qurannya. Karena itupun rakyat bertanya-tanya, kalau memang merasa layak, kenapa tidak sekalian jadi imam shalat Id atau shalat Jumat di masjid Istiqlal.

Belum lagi cara berpakaiannya, kadang bersarung malah juga bersorban seperti Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro atau  laksana tuan guru, syeikh, mursyid dari sebuah tarekat. Malah lebih lucu, para pendukungnya termasuk juga dari kelompok agamawan, membesar-besarkan Jokowi rajin puasa Senin-Kamis. Padahal, sangat mudah menemukan pemberitaan media yang menunjukkan Jokowi makan dalam sebuah acara pada hari-hari itu.

Sementara Prabowo tampil autentik. Sadar bahwa dia bukan orang yang paham agama  seperti ulama, sehingga tidak mau memaksakan diri untuk menjadi imam shalat. Bahkan Prabowo, berdasarkan pengamatan sejauh ini, tidak pernah menggunakan sarung atau sorban. Seperti kata Dahnil, pakaian Prabowo yang itu-itu saja, yang tentu sudah jamak diketahui rakyat Indonesia.

Kedua, perlakuan terhadap kelompok masyarakat yang berbeda keyakinan. Contohnya terkait Natal. KH Maruf Amin merupakan orang yang pernah mengimbau umat Islam untuk tidak mengucapkan Selamat Hari Raya Natal kepada umat Kristiani. Bahkan ada sebuah media online sampai menurunkan judul, “MUI Haramkan Seorang Muslim Mengucapkan Selamat Natal” dengan narasumber Ketua Umum MUI tersebut. 

https://www.google.com/amp/aceh.tribunnews.com/amp/2016/12/20/mui-haramkan-seorang-muslim-mengucapkan-selamat-natal

Tapi yang terjadi kemudian, seperti disaksikan rakyat Indonesia, Kiai Maruf Amin menyampaikan ucapan selamat Natal pada tahun politik ini.

Tak lama setelah dia dipilih sebagai cawapres, para pendukung Jokowi memang banyak mempertanyakan sikap Kiai Maruf soal Natal. Termasuk ada yang mengkonfirmasi langsung seperti Ahoker yang tergabung dalam Relawan Nusantara. Bahkan dalam wawancara khusus dengan Kompas TV, ini juga jadi materi pertanyaan. Dia memang menjelaskan bahwa tidak ada fatwa haram mengucapkan selamat Natal. Tapi imbauannya yang melarang umat Islam mudah ditemukan di media internet.

https://www.google.com/amp/s/nasional.tempo.co/amp/449329/mui-umat-islam-tidak-usah-ucapkan-selamat-natal

Karena itulah, dari sikapnya tersebut, rakyat menilai, bahwa Kiai Maruf sudah tidak tampil autentik. Karena dia menyampaikan ucapan selamat Natal bahkan dengan video khusus yang disebarkan secara masif oleh para pendukungnya. Padahal dia sebelumnya menyerukan umat untuk tidak melakukannya. Makanya tidak salah orang menilai, Kiai Maruf hanya mempolitisasi ucapan selamat Natal.

Sementara Prabowo lagi-lagi tampil autenitk. Mantan Danjen Kopassus itu tetap mengucapkan selamat Natal seperti tahun-tahun sebelumnya. Padahal mungkin, ada satu dua dari pendukungnya yang menyarankan atau  berharap Prabowo tidak melakukannya. Kuatir menggerus suara dari pemilih muslim. Karena ucapan selamat Natal ini selalu jadi polemik di tengah masyarakat terutama bagi yang konsisten mengikuti 'fatwa' atau imbauan Kiai Maruf. Apalagi dukungan umat Islam sangat besar kepada Prabowo.

Meski pada umumnya masih emosional dalam menentukan pilihan, tapi rakyat tahu mana yang pura-pura, siapa yang hanya mempolitisasi, dan calon mana yang tampil autentik. Karena itu mereka tidak mau dan tidak bisa dikecoh hanya karena jadi imam shalat atau mendadak ikut ngucapin selamat Natal. Rakyat pasti akan memilih calon yang tampil apa adanya, yang autentik, yang murni.

Artikel pendek ini, kita tutup dengan  kutipan singkat dari Bung Karno: “Dan agar yang tidak murni terbakar mati.”

Ikuti tulisan menarik Zulhidayat Siregar lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler