x

Iklan

YOHAN MISERO

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kita dan Intoksikasi

Sebuah tulisan tentang manusia, zat yang ia konsumsi, dan regulasi. Kata sudut dalam "sudut pandang" memberitahu ada cara-cara lain untuk melihat sesuatu.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Di era ini, tekanan muncul dari mana saja dan kapan saja. Kita ada di era di mana kebebasan individu dirayakan – namun keluarga kita tanpa tedeng aling-aling dengan ringan menanyakan, “Kapan nikah?” Kita ada di era di mana bos-bos kita menelepon tentang pekerjaan di jam satu malam. Kita ada di era di mana orang-orang menghakimi kita dari apa yang kita tunjukan di media sosial. Kita ada di era di mana muncul informasi dan inovasi baru setiap detik yang sulit untuk dikejar. Tidak pernah ada hari seriuh dan secepat hari ini. 

Tentu kita butuh rehat – melepas beban sesaat untuk kemudian melanjutkan pertarungan melawan dunia. Dan bentuk rehat bisa bermacam-macam. Ada yang melakukannya dengan ibadah, liburan ke luar negeri, naik gunung, yoga, menonton drama korea seharian, moshing di konser-konser metal, melompat-lompat di klub malam, tai chi di akhir pekan, atau bertualang dengan zat atau tanaman tertentu.

Zat yang paling populer tentu nikotin. Di Indonesia, ia tersedia luas. Harganya pun murah. Karena regulasi distribusi yang lemah dan berantakan, kita bahkan dapat menyuruh seorang anak kecil untuk membelikannya di warung untuk kita. Jika mengonsumsinya dalam bentuk rokok, asapnya mengganggu orang lain yang tak suka dengan baunya. Oleh karenanya, regulasi tentang kawasan bebas rokok dan smoking room pun diberlakukan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Rokok juga terbukti menjadi salah satu penyebab berbagai macam penyakit seperti serangan jantung dan kanker paru-paru. Teknologi kemudian mencoba memberikan jawaban dalam bentuk inovasi seperti nicotine patch dan e-cigarette.

Minuman beralkohol juga kerap jadi zat yang menemani seseorang yang ingin melepas kepenatan. Tentunya hanya untuk dijual pada orang dengan umur tertentu, sebuah aturan yang kerap terlupakan oleh pebisnis. Dalam skena kota besar, ia dulu mudah diakses secara legal, aman, dan mudah dibeli di toko-toko ritel. Namun karena sebuah Peraturan Menteri Perdagangan beberapa tahun lalu dan meningkatnya konservatisme di Indonesia, membuat ritel-ritel tadi sulit untuk menjual alkohol.

Tidak mudahnya alkohol untuk dijual secara ritel membawa dampak buruk yakni masyarakat sulit untuk mengakses alkohol. Lah, memangnya kenapa kalau masyarakat sulit untuk mengakses alkohol? Intervensi kebijakan seperti ini sesungguhnya sebuah denial akan sebuah fakta bahwa masyarakat membutuhkan sesuatu untuk melepas kepenatan. Jika alkohol legal dan aman tidak tersedia, apakah masyarakat akan berhenti mencari minuman beralkohol?

Harapan, pembuat kebijakan, di atas tentu saja naif dan tidak realistis. Kebijakan dan situasi ini justru membuat masyarakat mengakses alkohol yang tidak tersertifikasi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Masyarakat juga bereksperimen dengan minuman dan zat kimia lain, tanpa pengawasan ahli tentu saja, untuk menciptakan minuman yang memberi dampak yang sama dengan minuman beralkohol – sebuah fenomena yang kemudian kita kenal dengan fenomena minuman keras oplosan. April 2018 lalu, puluhan orang di Jakarta dan Jawa Barat meninggal dunia karena fenomena ini.

Di luar zat-zat legal di atas, ada banyak orang yang memilih untuk menghibur diri dengan zat atau tanaman yang, tidak saja belum diregulasi namun juga dinyatakan, ilegal. Zat atau tanaman yang dinyatakan ilegal tersebut misalnya sabu (metamfetamina), ganja, (cannabis sativa atau cannabis indica), ekstasi (MDMA), magic mushroom (psilosibina), dll. Jika orang-orang ini kemudian ditemukan oleh penegak hukum menggunakan atau memiliki zat atau tanaman di atas, celakalah dia: 4-12 tahun penjara jadi risiko yang harus ia tanggung. 

Salahkah orang-orang ini? Memangnya negara sudah melakukan apa untuk membuat rakyatnya kembali segar dalam pikiran untuk kembali produktif bekerja? Adakah taman yang bagus di kotamu? Apakah taman tersebut mudah diakses? Mudahkah untuk mondar-mandir dengan transportasi umum di kotamu? Sudahkah negara membangun insentif untuk acara-acara TV yang bermutu? Adakah regulasi yang jelas mengenai pembatasan jam kerja? Pun ada, sudahkah regulasi tersebut ditegakkan?

Masalah penggunaan napza (narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya – termasuk alkohol dan rokok) tidak akan selesai dengan mengutuk zat dan tanamannya apalagi memenjarakan orangnya. Masalah ini harus diatasi secara holistik. Inisiatif regulasi hari ini nampaknya menyalurkan amarah ke arah yang keliru. Rancangan revisi UU Narkotika yang sekarang beredar di parlemen memiliki niat untuk mendekriminalisasi penggunaan dan penguasaan narkotika selama dilakukan untuk diri sendiri. Hal yang baik tersebut kemudian dihalangi oleh keberadaan pasal-pasal mengenai narkotika di rancangan perubahan KUHP saat ini.

Di sisi lain, Parlemen juga tengah menyusun RUU Pelarangan Minuman Beralkohol (RUU Minol) yang, jika rancangannya tidak diubah, hanya akan mengulangi kesalahan UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika) yang setiap tahunnya memenjarakan puluhan ribu orang. RUU Minol juga memiliki pasal yang dapat memenjarakan orang yang mengonsumsi dan menguasai minuman beralkohol.

Tidakkah mereka yang mengonsumsi napza, tanpa pengawasan dan pengetahuan yang memadai, sudah memiliki risiko kesehatannya sendiri? Haruskah negara datang dan mengancamnya dengan hukum pidana? 

Konsumsi napza adalah kenyataan. Negara tidak seharusnya marah pada hal itu namun menghadapinya dengan solusi. Contoh solusinya sudah banyak diimplementasi negara-negara lain. Kuncinya sederhana: jujur pada situasi, edukasi masyarakat – juga dengan jujur, dan mengambil solusi yang pragmatis dan realistis.

Kalaupun negara mau marah, marahlah pada kematian yang berhubungan dengan napza. Namun kemarahan tersebut akan percuma bila diarahkan pada mereka yang mengonsumsi napza. Negara seharusnya marah pada dirinya sendiri yang gagal melindungi rakyatnya dari kematian. Jika anggaran pemenjaraan diarahkan untuk layanan kesehatan yang lebih komprehensif, lebih banyak nyawa akan diselamatkan.

Kalau mau rakyatnya untuk “Kerja, kerja, kerja”, tolong rakyatnya diberdayakan bukan dipenjarakan. Mabuk malam ini, semangat kerja lagi besok pagi: semua untuk GDP negara yang sama-sama kita cintai.

Ikuti tulisan menarik YOHAN MISERO lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu