x

Iklan

Syarifuddin Abdullah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Dinamika Konflik Suriah Menjelang Akhir Tahun 2018

Rezim Bashar Assad di Damaskus makin tidaki efektif mengendalikan dan mengontrol seluruh wilayah Suriah, khususnya wilayah utara Suriah bagian timur.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sekitar dua pekan menjelang akhir tahun 2018, terjadi setidaknya tiga perkembangan menonjol di Suriah: Pertama, keputusan Donald Trump pada 19 Desember 2018 untuk menarik pasukan Amerika dari Suriah, yang jumlahnya sekitar 2.200 personil; Kedua, keputusan Turki untuk menuntaskan penyerangan terhadap kantong-kantong pejuang Kurdi di Suriah; Ketiga, serangan udara Israel ke basis-basis militer Iran di Suriah pada 25 Desember 2018.

Penarikan pasukan Amerika dari Suriah

Banyak pengamat Amerika yang menyesalkan kebijakan Donald Trump, yang dianggap tidak strategis, dan bahkan memicu pengunduran diri Menhan Amerika James Mattis, yang akan berlaku efektif di awal tahun 2019.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tapi Trump tentu punya argumen sendiri: “We have defeated ISIS in Syria, my only reason for being there during the Trump Presidency (kami telah mengalahkan ISIS di Suriah, dan itu adalah alasan utama kehadiran militer Amerika di Suriah di era pemerintahan Trump) ” (Twit Donald Trump pada 19 Desember 2018).

Namun argumen para penentang kebijakan Donald Trump tak kalah kuatnya: berdasarkan pengalaman, ada sejumlah kasus historis yang menunjukkan bahwa penarikan pasukan Amerika dari suatu wilayah justru memicu munculnya kelompok teror yang semakin terorganisir.

Ketika Amerika menarik pasukan dari Afghanistan paska kekalahan Uni Soviet dalam perang Afghanistan, justru memicu terbentuknya rezim Taliban, yang kemudian menjadi semacam breeding zone bagi Al-Qaeda, yang leluasa melakukan rekrutmen dan pelatihan, dan berujung pada serangan 11/9 tahun 2001.

Selanjutnya, ketika Barack Obama menarik pasukan Amerika dari Irak pada 2011, hanya berselang tiga-empat kemudian, muncul ISIS yang puncaknya terjadi ketika ISIS berhasil mencaplok Raqqah di Suriah dan Mosul di Irak pada 2014.

Mengacu pada dua alasan itu, tidak tertutup kemungkinan, penarikan pasukan Amerika dari Suriah justru akan menjadikan Suriah sebagai breeeding zone kelompok radikal dan teror. Sebab argumen Donald Trump bahwa kehadiran militer Amerika di Suriah hanya untuk mengalahkan ISIS, dan tujuan itu sudah tercapai (meski tak pernah dinyatakan secara resmi mission accomplished), sebenarnya terbantahkan. Sebab alasan serupa pernah dikemukakan pada saat penarikan pasukan Amerika dari Afganistan pada akhir 1980-an, dan penarikan pasukan Amerika dari Irak pada tahun 2011.

Selain itu, yang paling diuntungkan oleh penarikan pasukan Amerika dari Suriah adalah Iran dan Rusia. Tidak aneh, jika Rusia dan Iran terkesan tidak terlalu peduli, atau bahkan diam-diam berharap agar Amerika menarik pasukannya dari Suriah.

Sebagai catatan, kehadiran pasukan Amerika di Suriah sebenarnya ilegal. Sebab pemerintahan resmi Suriah (baca: rezim Bashar Assad) tidak pernah meminta bantuan ataupun intervensi militer Amerika di wilayah utara Suriah. Kehadiran militer Amerika di Suriah dilakukan dengan cara main belakang atau main mata dengan pasukan Kurdi SDF (Syrian Democratic Forces) yang kini menguasai utara Suriah bagian timur.

Turki dan Kurdi

Salah satu kebijakan strategis Turki di Suriah adalah mengepung dan tidak akan membiarkan anasir Kurdi Suriah membentuk basis kekuatan di Suriah, apapun bentuk dan alasannya, karena jika itu dibiarkan akan berpotensi menjadi ancaman terhadap keamanan nasional.

Seperti diketahui, warga Kurdi Suriah yang beroperasi di utara Suriah bagian timur adalah SDF (Syrian Democratic Forces), organisasi baru yang dibentuk untuk memerangi ISIS, namun sebagian besar pasukannya dari anasir PKK dan YPG, dua kelompok bersenjata Kurdi yang dianggap oleh Turki sebagai kelompok teror dan separatis.

Yang unik sebenarnya, sejak awal, pasukan Amerika di Suriah bekerjasama dan mendukung SDF dalam memerangi ISIS di Suriah. Bahkan disebutkan bahwa pasukan yang paling dominan dalam mengalahkan ISIS di Suriah pejuang SDF. Pada kasus SDF inilah terjadi inter koneksi antara kepentingan Amerika dan Turki di Suriah. Dan Turki lebih dari bersedia untuk menggunakan segala sumber dayanya untuk melumpuhkan anasir Kurdi Suriah cq SDF.

Karena itu bisa dikatakan, penarikan pasukan Amerika dari Suriah bertujuan memberikan ruang kepada Turki untuk melumpuhkan SDF. Artinya juga, dukungan dan kerjasama antara Amerika dan SDF bersifat sementara: hanya untuk mengalahkan ISIS.

Serangan Israel ke Suriah

Serangan udara Israel terhadap beberapa titik di Damaskus pada 25 Desember 2018 (yang dikonfirmasi Israel pada 26 Desember 2018), sebenarnya bukan kasus pertama. Masih segar dalam ingatan ketika pesawat Jet tempur F16 milik Israel berhasil ditembak jatuh oleh pertahanan udara Suriah seusai menggempur wilayah Suriah pada Februari 2018.

Salah satu kebijakan strategis Israel di Suriah adalah membendung kehadiran militer Iran di Suriah, yang menurut Israel Iran berupaya memiliki basis kuat di Suriah, sebagai agenda jangka panjang Iran, dan antisipasi jika sewaktu-waktu, suatu keitka di masa depan, terjadi konfrontasi militer langsung antara Iran dan Israel.

Catatan:

Tiga dinamika perkembangan menonjol tersebut semakin membuktikan bahwa rezim Bashar Assad di Damaskus tidak lagi mampu mengendalikan dan mengontrol seluruh wilayah Suriah, khususnya wilayah utara Suriah bagian timur. Suriah menjadi semacam bancakan oleh berbagai kekuatan global dan regional.

Syarifuddin Abdullah | 30 Desember 2018/ 22 Rabiul-akhir 1440H

Sumber foto: diolah dari thecipherbrief

Ikuti tulisan menarik Syarifuddin Abdullah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler