x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Identitas Etnis Tionghoa di Kota Solo

Pergumulan identitas etnis Tionghoa di Kota Solo. Mereka beragam dan tidak seragam.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Identitas Etnis Tionghoa di Kota Solo

Penulis: Ayu Windy Kinasih

Tahun Terbit: 2007

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Laboratorium Jurusan Ilmu Pmerintahan Fisipol UGM

Tebal: xviii + 248

ISBN:  979-2536-63-9
Tionghoa di Kota Solo mempunyai sejarah yang sangat panjang. Lebih panjang dari sejarah Republik Indonesia. Bahkan lebih panjang dari sejarah Hindia Belanda. Orang-orang Tionghoa sudah berada di Kota Solo sejak era Pajang, Kartosuro dan kemudian Surakarta. Kisah Geger Pecinan adalah salah satu bukti yang sangat kuat tentang peranan Tionghoa dalam sejarah Surakarta atau Solo.

Meski kehadirannya sudah sangat lama, namun dinamika hubungan Tionghoa dengan penduduk setempat masih sangat dinamis sampai dengan saat ini. Hubungan yang sangat mesra sampai dengan kerusuhan bisa dijumpai dari jaman lalu sampai dengan saat ini. Kerusuhan-kerusuhan yang dialamatkan kepada Etnis Tionghoa sering terjadi di Kota Solo. Termasuk diantaranya adalah kerusuhan 1998 yang belum hilang dari ingatan kita.

Peran orang Tionghoa Solo bukan hanya di bidang perdagangan saja. Peran mereka di bidang sosial, sastra dan budaya dan politik bisa ditemukan dengan mudah. Kita mengenal dr. Oen Boen Ing dan dr. Lo Siaw Ging di dunia kesehatan di Kota Solo. Kita mengenal Go Tik Swan alias K.R.T Harjonegoro dan Asmaraman Kho Ping Ho sebagai budayawan keturunan Tionghoa. Kita mengenal Yap Tjwan Bing dan Oei Tjoe Tat sebagai politisi keturunan Tionghoa asal Solo.

Buku ini membahas sejarah Tionghoa di Solo, termasuk di dalamnya adalah kedatangan Laskar Tionghoa pada tahun 1740 yang mendukung R.M Garendi untuk bertahta di Kartosuro. Kinasih juga menjabarkan bagaimana pemukiman orang-orang Tionghoa mulai diatur di jaman Hindia Belanda di abad 19. Sayang sekali buku ini tidak membahas perpindahan orang-orang Tionghoa tatkala Kerajaan Demak pindah ke Pajang.

Seperti yang terjadi di banyak tempat di Indonesia, meski mengalami tekanan budaya yang luar biasa, khususnya di era orde baru, etnis Tionghoa Solo berhasil mempertahankan budayanya. Organisasi sosial (kematian) adalah tumpuan utama yang digunakan oleh tenis Tionghoa di Indonesia, termasuk di Solo untuk mempertahankan budaya. Melalui organisasi sosial inilah kontak antar orang Tionghoa dalam upaya mempertahankan budaya berlangsung. Tidak heran jika era Gus Dur, tiba-tiba budaya Tionghoa bisa muncul kembali dengan semarak. Barongsay dan Liong, sebagai simbol budaya tiba-tiba muncul di jalanan dengan penuh kemeriahan.

Buku ini secara cukup dalam memberikan informasi tentang organisasi-organisasi masyarakat Tionghoa Solo, khususnya Persatuan Masyarakat Surakarta (PMS). Selaras dengan kesadaran Bangsa Indonesia untuk berorganisasi di tahun 1920-an, etnis Tionghoa di Solo juga mendirikan banyak organisasi. Kebanyakan organisasi yang didirikan berbasis marga atau asal. Selain dari organisasi-organisasi berbasis marga atau asal, di Solo juga muncul organisasi-organisasi yang bergerak di bidang pendidikan. Organisasi pendidikan yang diprakarsai oleh etnis Tionghoa Solo diantaranya Yayasan Tripusaka, Yayasan Kalam Kudus, Yayasan Bintang Laut. Organisasi berbasis pendidikan ini muncul setelah organisasi yang menunjukkan ke-etnis-an atau ke-Tionghoa-an mendapat cap yang kurang baik di masyarakat Solo.

PMS adalah organisasi etnis Tionghoa yang besar di Solo. Awalnya organisasi yang berdiri tanggal 1 April 1932 ini bernama Chuang Ming Kung Hui (CMKH). CMKH menjadi alat bagi BAPERKI untuk berjuang di kota Solo. Karena BAPERKI dianggap berhalauan kiri dan berafiliasi dengan PKI, maka PMS pun ikut terkena getahnya. Apalagi beberapa pengurus CMKH terdapat agen komunis (hal. 143). Itulah sebabnya pada tahun 1957 keanggotaan CMKH tidak lagi eksklusif etnis Tionghoa, tetapi membuka diri untuk kalangan pribumi.

Sayang sekali buku ini tidak membahas lebih dalam sisi-sisi lain kehidupan orang Tionghoa di Solo. Sisi sosial dan budaya adalah hal yang sangat menarik untuk dibahas ketika membicarakan etnis Tionghoa di Kota Solo. Sumbangan etnis Tionghoa dalam pengembangan budaya dan sosial (kesehatan dan pendidikan) tak bisa diabaikan. Semoga pada karya berikutnya Kinasih bisa menulis tentang kontribusi etnis Tionghoa di bidang sosial dan budaya di Kota Solo.

Dalam kesimpulannya, Kinasih menyatakan bahwa etnis Tionghoa di Kota Solo telah berupaya untuk menyesuaikan identitasnya dengan identitas Jawa, Indonesia maupun identitas warga dunia. Namun upaya-upaya yang dilakukan ini ternyata tidak mendapat penerimaan yang baik. Akibatnya mereka kembali kepada budaya primordial mereka, yaitu identitas etnis Tionghoa. Saya kurang setuju dengan kesimpulan ini. Menurut saya, perasaan primordial bukan disebabkan karena penolakan. Perasaan ini tertanam begitu dalam di setiap insan maupun kelompok. Sebab diapapun dan di manapun seseorang atau sekelompok orang akan mengidentifikasikan dengan identitas asalnya (primordial). Orang Jawa yang sudah bertahun-tahun di Suriname tetap bertahan dengan budaya Jawanya. Orang Irlandia, Itali, Yunani tetap mempertahankan identitasnya, meski mereka telah bergenerasi hidup di Amerika. Jadi, adalah wajar etnis Tionghoa di Solo dan di Indonesia, atau di mana saja tetap memelihara identitasnya. Meski tentu saja penyerapan budaya dimana mereka tinggal akan selalu terjadi.

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB