x

Iklan

Rofiq al Fikri

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Tidak Mengerti APBN, Kapasitas Drajad Wibowo Dipertanyakan

Tidak Mengerti Mekanisme Hibah APBN dan Sebar Hoax, Label Pengamat Ekonomi Drajad Wibowo Harusnya Dicopot

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

 Oleh : Rofiq Al Fikri (Koordinator Jaringan Masyarakat Muslim Melayu / JAMMAL)

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pekan lalu, tepatnya 3 Januari 2019, di beberapa media online secara serempak memuat berita tentang kritikan realisasi APBN 2018, khususnya setelah Menteri Keuangan Sri Mulyani melaporkan kepada publik bahwa realisasi penerimaan APBN 2018 melampaui target. Tentu saja, sebagai aktivis saya antusias melihat kritikan itu. Dalam negara demokrasi tentu saja kritik yang membangun sangat diperlukan.

 

Akan tetapi, setelah membaca berita tentang kritikan itu saya pun jengkel, karena apa yang dikritik oleh yang dikatakan media sebagai pengamat ekonomi itu cacat logika bahkan cenderung penggirigan opini yang sifatnya tuduhan bahkan hoax. Lebih menyedihkan, kritik itu muncul karena ketidaktahuan Drajad Wibowo, seorang yang dikatakan pengamat ekonomi INDEF terhadap mekanisme menghitung APBN.

 

Entah, itu murni ketidaktahuannya tentang prinsip dasar ekonomi atau memang sengaja berpura-pura tidak tahu karena kepentingannya sebagai kader PAN sekaligus Dewan Pakar Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi. Yang jelas apa yang dilakukannya saat ini adalah penghinaan terhadap label pengamat ekonomi dan juga pembodohan kepada masyarakat.

 

Kritik apa yang disampaikan Drajad? Ia mempertanyakan asalnya penerimaan dana hibah pemerintah di 2018 yang mencapai Rp 13,9 triliun, atau 1.161% dari target APBN yang jumlahnya hanya Rp 1,2 triliun.

 

Drajad bahkan cenderung mencurigai penerimaan hibah yang sangat besar, ia meminta Kemenkeu secara transparan membuka siapa saja penyumbang hibah karena ini tahun politik. Drajad mengatakan, biasanya setiap tahun, sejak dahulu pemberi hibah itu adalah World Bank, IMF, ADB, dan lembaga donor internasional lainnya.

 

Di sini kita melihat seorang Drajad yang sebenarnya seorang politisi yang memiliki pengetahuan ekonomi bahkan tidak benar-benar tahu kondisi politik apa yang terjadi di negaranya pada 2018. Kita tahu pada 2018 ada Pilkada serentak di 171 daerah di Indonesia. Dalam UU Pilkada, dana penyelenggaraan Pilkada berasal dari hibah APBD pemda masing-masing. Saya pun tidak perlu menjelaskan ke Drajad Wibowo jika jenis hibah ada dua, yaitu hibah yang berasal dari dalam negeri dan hibah yang berasal dari luar negeri.

 

Jika pemberi hibah yang dimaksud Drajad hanya donor lembaga internasional, dari laporan Kemenkeu tahun 2018 itu pun ada, jumlahnya Rp 2,96 triliun yang berasal dari JICA, KFW, Arab Saudi, Australia, dan Austria (Rp 2,26 triliun) dan Rp 0,7 triliun sisanya berasal dari World Bank, ADB, dan IDB. Hibah tersebut digunakan untuk berbagai kegiatan seperti green energy, air minum, kesehatan, persiapan proyek, dll.

 

Selain hibah luar negeri, hibah dari dalam negeri jumlahnya mencapai Rp 11,3 triliun. Kenapa bisa banyak sekali dan melonjak cukup tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya? Itu lah tadi yang saya katakan ada seorang pengamat ekonomi yang tidak tahu apa yang terjadi di 2018. Jelas di tahun 2018 ada Pilkada serentak yang sumber dananya diambil dari hibah APBD.

 

Dari 11,3 Triliun hibah dalam negeri, Rp 10,92 triliunnya adalah dari Pemda dan yang untuk penyelenggaraan Pilkada diserahkan kepada KPU, Bawaslu, dan TNI-Polri jumlahnya mencapai Rp 8,04 triliun. Sementara sisanya, Rp 111 miliar berasal dari BUMN seperti Pertamina dan Bank Umum Daerah. (Ini lebih digunakan untuk menunjang tugas dan fungsi beberapa kementerian/lembaga).

 

Karena dalam laporan keuangannya oleh Pemda biaya pemilu ke KPU, Bawaslu, Polri dicatat sebagai belanja hibah, maka oleh pemerintah pusat dicatat sebagai pendapatan hibah. Itu hukum dasar ekonomi, ada pendapatan pasti ada belanja. Pencatatan itu adalah amanat dari UU No. 15 tahun 2017 tentang APBN tahun 2018 dan UU No 1/2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Semoga Drajad tahu tentang ini.

 

Lantas kemana sisa uang hibah yang berasal dari dalam negeri sebanyak Rp 2,63 triliun yang tidak digunakan untuk operasional Pilkada serentak? Itu digunakan untuk menunjang tugas kementerian dan lembaga, beberapa contohnya antara lain, undian berhadiah kemensos, hibah uang ke Polri dan Kementerian Pertahanan, hingga biaya riset Molekuler oleh Kemenristekdikti.

 

Jadi, sebenarnya sudah jelas siapa saja pemberi hibah dan juga untuk apa peruntukan hibah tersebut. Dari laporan Kemenkeu itu nampaknya semua dapat dipertanggung jawabkan dan memang nyata dirasakan masyarakat.

 

Mungkin untuk media ke depannya bisa dipertimbangkan untuk lain kali menyebut Drajad Wibowo sebagai pengamat ekonomi, karena selain dia jelas sangat politis (Tim BPN Prabowo-Sandi), logika dasar ekonomi dia dalam memahami mekanisme hibah di APBN pun nyatanya lemah.

 

Ikuti tulisan menarik Rofiq al Fikri lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu