x

Iklan

Zulhidayat Siregar

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Fatwa MUI Jadi Pedoman Rakyat Tidak Memilih Jokowi Lagi

Fatwa MUI yang dikeluarkan pada 2015 lalu agar tidak memilih pemimpin yang sudah terbukti ingkar janji

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ketika masih menjabat sebagai Walikota Solo, Joko Widodo dengan enteng mengatakan, "Rasanya tidak sulit-sulit amat untuk mengatasi banjir dan macet di Jakarta." Saat itu, nama Jokowi memang sudah mulai digadang-gadang sebagai tokoh yang layak untuk maju pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2012. Dia pun pada akhirnya terpilih mengalahkan Fauzi Bowo. Tapi, macet dan banjir tidak berhasil dibereskan.

Belum bisa mengatasi kedua persoalan yang kerap mendera Ibukota tersebut, tak menyurutkan langkah Jokowi untuk menapaki karier politik yang lebih tinggi. Baru sekitar 1,5 tahun menjadi orang nomor 1 di Jakarta, Jokowi memutuskan maju pada Pemilihan Presiden 2014 melawan Prabowo Subianto, orang yang dulu mendorong dan mengusungnya pada Pilgub 2012. 

Yang menarik ketika itu, Jokowi menyatakan persoalan di Jakarta akan lebih mudah diatasi atau dibereskan kalau dia menjabat sebagai Presiden. Mengingat kewenangan Presiden yang besar dan luas sehingga memudahkannya berkoordinasi atau bahkan memerintahkan kepada daerah yang berhubungan langsung dengan Jakarta. Jokowi lagi-lagi terpilih. Tapi janji tinggal janji. Bahkan banjir sampai menerjang Istana.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jokowi bisa menang pada Pilgub DKI 2012 karena janji-janji yang dengan enteng dia disampaikan mendapatkan kepercayaan dari rakyat. Rakyat percaya karena pada saat itu tidak ada perbandingan antara janji dan kinerjanya sebelumnya. Mengingat, Jokowi merupakan penantang, bukan petahana. Sementara inkumben saat itu, Fauzi Bowo sudah tidak dipercaya lagi bisa mengatasi persoalan DKI, terutama banjir dan macet sehingga membuatnya terjungkal.

Demikian pula pada Pilpres 2014. Selain masih dalam suasana histeria rakyat terhadap Jokowi, rakyat memilihnya juga karena tidak ada perbandingan antara janji dengan track recordnya. Karena dia lagi-lagi bukan petahana. Sehingga rakyat masih penasaran dan percaya, kalau kewenangannya semakin besar Jokowi akan mudah mengatasi banjir dan macet, sebagaimana dijanjikannya. 

Karena itulah, pada Pilpres 2019 ini Jokowi menemui jalan buntu. Sekarang dia tidak bisa lagi seenaknya berjanji akan membuat ini, akan menjadikan itu. Karena dia sudah diberi kesempatan oleh rakyat selama satu periode ini untuk memimpin negeri ini. Rakyat tidak butuh lagi janji Jokowi. Rakyat saat ini sudah pegang daftar janji-janji yang ia sampaikan lima tahun lalu. Mereka saat ini menagih janji tersebut.

Karena itu sebaiknya, bagi pejabat yang running kembali pada periode kedua, jangan terlalu banyak berjanji dan memberi harapan. Tapi seharusnya lebih banyak memberikan pertanggungjawaban poin per poin terhadap realisasi semua janji. Banyak media menulis setidaknya ada 66 janji politik Jokowi. Sementara versi Fadli Zon, janji Jokowi mencapai 100. Janji-janji tersebut bahkan sudah dibukukan, dengan judul "100 Janji Jokowi-JK."

Misalnya, mana bukti dari omongan Jokowi bahwa dia akan menyetop impor. Sekarang ini video saat dia menyampaikan akan setop impor tersebut sedang viral. Bahkan videonya ada dua versi. Salah satunya saat menyampaikan sambutan pada acara Muktamar PKB. Jokowi menyebut satu per satu komoditas yang diimpor. "...Apalagi yang belum saya sebutkan. Kalau nanti Jokowi dan JK yang menjadi presiden dan wakil presiden kita harus berani setop impor," katanya.

Begitu juga dengan utang. Mana realisasi dari janji Jokowi bahwa dia tidak akan membuat utang. Publik juga masih ingat Jokowi dengan enteng mengatakan buat apa utang karena uang kita masih banyak. Sementara Prabowo yang menyebut kita tidak punya uang karena adanya kebocoran kekayaan negara, ditertawakan. Belakangan bahkan diakui sendiri oleh menteri-menteri Jokowi memang terjadi kebocoran.

Sejak awal sebenarnya sudah terlihat janji-janji Jokowi bakal tidak terealisasi. Yaitu saat janji yang paling pokok tidak tepati. Janji Jokowi yang paling pokok karena akan menjadi penentu apakah janji-janji lainnya bakal terlaksana atau tidak adalah penentuan dan komposisi kabinet yang akan membantunya dalam menjalankan pemerintahan. Jokowi berjanji akan membuat kabinet ramping dan profesional. Tapi tidak terbukti.

Jokowi bagi-bagi kursi menteri dan jabatan kepada partai pendukung dan relawan. Bahkan kursi Jaksa Agung dipegang orang Nasdem, yang sebelumnya dijanjikan tidak akan dipercayakan kepada politikus. Jokowi juga tidak melibatkan KPK lagi dalam mengangkat menteri saat reshuffle kabinet, yang dilakukannya sampai 4 kali. Ketidaktepatan dalam memilih orang karena ketidakkonsistenan terhadap prinsip sebagaimana dijanjikan di awal, merupakan pintu pembuka janji-janji Jokowi yang lain menjadi tidak terpenuhi.

Keunggulan Jokowi sebagai orang baru di pentas nasional, tidak punya beban masa lalu, dan bukan orang partai murni yang digembar-gemborkan sebagai kelebihan Jokowi justru menjadi beban utamanya. Karena terbukti Jokowi tampak bingung, mudah dipengaruhi. Dia juga justru dikelilingi orang-orang yang punya beban masa lalu. Apalagi statusnya sebagai petugas partai yang membuatnya semakin tersandera.

Karena itulah misalnya, Jokowi dinilai tidak bisa berbuat banyak terhadap Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, yang merupakan kader Nasdem. Padahal desakan publik sangat kuat agar Jokowi mencopot Enggar, yang menjadi menteri hasil reshuffle, karena sangat gencar dalam melakukan impor. Belum lagi Menko PMK Puan Maharani yang dinilai tidak layak menjadi menteri tapi tetap dipertahankan. Hanya karena dirinya anak Ketua Umum PDIP. Padahal 3 Menko lainnya sudah berganti berkali-kali. Sementara Rizal Ramli yang sudah terbukti kebijakan dan keberaniannya pro rakyat justru dicopot dari Menko Maritim.

Karena itu, tidak terealialisasinya janji-janji politik yang membuat Jokowi terancam akan kalah pada Pilpres 2019 ini. Rakyat sudah tidak percaya lagi. Jadi bukan karena alasan SARA dan hal-lain yang terkait dengan itu. Kalaupun ada faktor agama, itu lebih sebagai pedoman umum, yang bisa mengena kepada setiap orang.

Misalnya berpedoman kepada Fatwa MUI yang dikeluarkan pada 2015 lalu agar tidak memilih pemimpin yang sudah terbukti ingkar janji. Apalagi ini sejalan dengan Al Quran. Dalam surah An-Nisa ayat 59, umat Islam diperintahkan untuk mentaati pemimpin (ulil amri). Namun taat kepada pemimpin ini tidak mutlak, tapi bersyarat. Salah satu syaratnya disebutkan dalam ayat sebelumnya, surah An-Nisa ayat 58. Yaitu, pemimpin tersebut harus amanah dan menegakkan hukum dengan adil.

Selain tidak amanah seperti disampaikan di atas, penegakan hukum di era Jokowi juga memprihantikan. Tidak ada keadilan, bahkan hukum menjadi alat politik untuk menjerat pihak-pihak yang berlawanan dengan pemerintah. Contoh yang teranyar adalah bagaimana responsifnya Kepolisian dalam mengusut kasus pengeditan foto cawapres KH Maruf Amin berkostum sinterklas. Sementara jauh sebelumnya, Habib Rizieq dan sejumlah tokoh umat Islam lainnya juga mendapat perlakuan sama. Tapi sampai saat ini polisi belum juga mengusut dan menangkap siapa orang yang mengedit foto Habib Rizieq Cs berkostum sinterklas tersebut.

Ketidakadilan hukum yang dipertontonkan ini semakin membuat rakyat tidak mau memilih Jokowi. Bahkan tidak sedikit rakyat saat ini sudah sampai pada taraf "asal bukan Jokowi". Apalagi bagi mereka, Pilpres merupakan hal biasa, wadah untuk mengevaluasi pemimpin. Mereka berharap ada perobahan dan perbaikan seiring dengan pergantian Presiden.

Terlebih Prabowo-Sandi sudah menjanjikan banyak hal, terkait perbaikan ekonomi dan keadilan hukum. Terutama, seperti sering disampaikan Juru Bicaranya, Dahnil Anzar Simanjuntak, Prabowo-Sandi akan menghadirkan kepemimpinan yang memimpin. Yaitu pemimpin yang tidak bisa didikte atau dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan jahat. Kalau misalnya capres-cawapres nomor urut 02 ini tidak amanah saat menjabat nanti, tidak usah dipilih lagi seandainya maju kembali pada Pilpres 2024. Tapi yang pasti untuk saat ini, rakyat menghukum pemimpin yang sudah terbukti gagal dalam merealisasikan janji-janji politiknya.

Ikuti tulisan menarik Zulhidayat Siregar lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu