x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Konsensus Agung Pendiri Bangsa

Proses negosiasi isu-isu kebangsaan, khususnya masalah agama dan keyakinan menjelang kemerdekaan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Pejambon 1945 - Konsensus Agung Pendiri Bangsa

Penulis: Daradjadi dan Osa Kurniawan Ilham

Tahun Terbit: 2018

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Puspawedha

Tebal: xxii + 350

ISBN: 978-602-52848-0-9

 

Kesadaran akan kemajemukan sudah begitu kental di antara para pendiri bangsa. Kesadaran tersebut mewujud saat para pendiri bangsa mendiskusikan tentang dasar negara dan undang-undang dasar. Meski berdebat sangat keras, tetapi akhirnya mereka bisa berkompromi dan sepakat untuk mengutamakan berdirinya Negara Republik Indonesia dengan mengesampingkan ego masing-masing. Dalam sidang-sidang BPUP dan kemudian PPKI, para pendiri bangsa ini berdebat sengit. Tapi akhirnya saling berkorban dan saling memberi sehingga NKRI bisa berdiri. Bagaimana jadinya jika saat itu masing-masing ngotot dengan pendapatnya sendiri? Niscaya sampai kini kita tak akan mengenal negara bernama Republik Indonesia.

Di awali dengan kisah Jepang yang mulai kalah di Perang Pasifik, buku ini mengalirkan kisah-kisah rapat BPUP dan kemudian PPKI, baik yang resmi diagendakan oleh Jepang maupun yang illegal yang kebanyakan diprakarsai oleh Sukarno. Janji baik Jepang sebagai pemimpin Asia untuk memberi kemerdekaan kepada Indonesia tak kunjung nyata. Baru setelah kekalahan demi kekalahan, dan Okinawa sudah di genggaman Sekutu, barulah Jepang memberikan janji yang lebih pasti. Jepang membentuk Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan (BPUPK) pada tanggal 1 Maret 1945. Para intelektual dipilih sedemikian rupa supaya kekuasaan Jepang tetap bisa dipertahankan (hal. 17). Namun kondisi Perang Pasifik memang tidak memihak kepada Jepang. Para pemimpin bangsa Indonesia yang sudah mengantisipasi kondisi tersebut segera mengambil inisiatif untuk mempercepat proses-proses menuju kemerdekaan.

Buku ini memberikan sumbangan yang sangat besar tentang detail rapat-rapat BPUP dan PPKI dari hari ke hari, jam ke jam dan bahkan menit per menit. Pidato-pidato dimasukkan sebagai bahan, bahkan dengan detail posisi duduk dan setting ruangan. Demikian pula dengan diskusi-diskusi dan kadang-kadang debat sengit. Penyampaian detail suasana sungguh membuat seakan-akan kita hadir dalam ruang rapat. Detal dan suasana ini juga bisa membangun imajinasi kita tentang bagaimana spikologi para pendiri bangsa saat itu. Kita menjadi tahu upaya besar yang dilakukan oleh para pendiri bangsa untuk membangun persatuan. Sejak awal, Rajiman Wedyodiningrat sebagai Ketua BPUP sudah mengingatkan bahwa musuh utama kita adalah diri sendiri, oleh sebab itu untuk mewujudkan kemerdekaan kita harus membebaskan diri dari kelemahan-kelemahan diri sendiri sehingga biwa mewujudkan persatuan (hal. 29). Peringatan akan pentingnya mengutamakan kepentingan bersama juga disampaikan oleh Soeroso, Wiranatakoesoema dan para pembicara lainnya.

Sangat menarik membaca persiapan kemerdekaan Indonesia. Topik agama atau Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi bahan diskusi yang dalam, tajam dan panjang. Topik agama sudah disinggung di pidato-pidato awal. Muhammad Yamin, Dasaad, Muhammad Hatta, Sukarno dan Ki Bagoes hadikoesoemo. Pembahasan tentang ketuhanan juga berlangsung di rapat panitia kecil yang dipimpin oleh Sukarno untuk membahas Dasar Negara. Topik ketuhanan juga mewarnai pembahasan pasal-per-pasal rancangan Undang-Undang Dasar, khususnya pasal tentang presiden dan wakil presiden.

Pembahasan tentang pembukaan pada rapat tanggal 13 Juli 1945, topik ketuhanan kembali memanas. Ki Bagoes Hadikoesoemo mengusulkan perubahan dari draf yang sudah dibawa oleh Sukarno. Pembahasan tentang topik ketuhanan kemudian berlanjut di Sidang tanggal 15 Juli 1945. Saat pembahasan tentang sumpah presiden. Bahkan pada sidang ini, emosi mulai muncul. Moezakir sampai mengetok (menggebrak?) meja karena perdebatan yang berlarut-larut (hal. 111). Pada keeseokan harinya, tanggal 16 Juli 1945, pembahasan ayat tentang presiden ini kembali dilanjutkan. Sukarno memohon “dengan rasa menangis” supaya rumusan hasil kompromi bisa diterima, khususnya dari golongan Kristen (yang saat itu diwakili oleh Maramis dan Latuharhary).

Meski rumusan Pembukaan UUD sudah disepakati, namun ternyata pada tanggal 14 Agustus 1945, ada keberatan dari kelompok Indonesia Bagian Timur. Delegasi Indonesia Timur dengan komposisi 3 orang Islam, 2 Kristen dan 1 Hindu mengajukan keberatan terhadap rumusan Panitia Kecil. Menariknya keberatan pertama kali muncul dari kalangan Bugis dan juga dari intelektual Minang di Surabaya. Mereka keberatan terutama karena bisa bermasalah dengan adat. Itulah sebabnya Hatta kemudian kembali ke rumusan yang semula dibuat oleh panitia kecil (hal. 129). Meski pembahasan kembali sengit, tetapi akhirnya semua sepakat untuk menggunakan versi panitia kecil.

Tidak selesai di rapat-rapat Bulan Juli dan lobi-lobi, rapat-rapat di Bulan Agustus juga masih diwarnai pembahasan topik ketuhanan. Pada rapat PPKI tanggal 18 Agustus 1945, yaitu tentang pembahasan naskah UUD diwarnai pembahasan redaksional di beberapa bagian. Ki Bagoes Hadikoesoemo sebagai wakil Islam mengusulkan kalimat-kalimat atau frasa-frasa yang lebih islami yang dipakai. Sementara kelompok kebangsaan mengusulkan kalimat-kalimat yang lebih mewadahi agama-agama lain. Demikian juga dengan wakil-wakil agama lain, seperti I Goesti Ketoet Poedja yang merupakan perwakilan Bali (Hindu) mengusulkan istilah Tuhan daripada Allah (hal. 131).

Namun kita patut berbangga akhirnya pembahasan tentang ketuhanan ini bisa selesai dengan baik. Masing-masing pihak lebih mengutamakan berdirinya NKRI daripada mempertahankan keinginan masing-masing. Semua pihak menyepakati bahwa “Piagam Jakarta” di pembukaan dihilangkan dan syarat presiden dan wakil presiden harus beragama Islam juga dihapus.

Pembahasan tentang topik-topik lain tidaklah setajam pembahasan tentang topik ketuhanan. Buku ini menyajikannya dengan sangat sistematis dengan menggunakan sila-sila Pancasila sebagai judul bab. Pembahasan tentang Kemanusiaan hampir tidak ada perdebatan. Usulan-usulan dari berbagai pihak bisa disepakati dengan cukup cepat tanpa harus melibatkan emosi. Pembahasan tentang persatuan Indonesia juga berjalan lancar. Hanya terjadi sedikit ketegangan saat pembahasan tentang warga negara. Persoalan siapa yang menjadi warga negara dibahas dengan cukup intens, khususnya dalam hal orang-orang keturunan asing (Tionghoa, Arab dan lain-lain). Pembahasan ini sampai menyebabkan Liem Koen Hian mengundurkan diri dari BPUP karena merasa tidak berhak ada di dalamnya. Rumusan tentang warna negara membuat para keturunan asing tidak otomatis menjadi warga negara Indonesia. Itulah sebabnya Liem Koen Hian mengundurkan diri (hal. 241).

Pembahasan tentang topik-topik yang berhubungan dengan sila keempat Pancasila juga berlajan lancar. Pembahasan tentang bentuk negara bisa diputuskan dengan voting yang sangat damai. Demikian juga dengan pembahasan topik-topik yang berhubungan dengan Keadilan Sosial. Para pendiri bangsa sepakat untuk menolak ekonomi liberal. Mereka juga sepakat bahwa negara harus mengambil peran yang besar dalam menyejahterakan masyarakatnya (hal. 265).

Bisa dilihat dari buku ini bahwa persoalan agama di negara ini adalah persoalan yang sangat sensitif. Pembahasan yang tajam dan berlarut-larut di sidang-sidang BPUP dan PPKI membuktikan bahwa agama menjadi topik yang sangat diperhitungkan. Memang para pendiri bangsa telah mampu mengatasinya dengan kerelaan masing-masing untuk berkorban. Itu berkat Pancasila yang dipegang oleh para pendiri bangsa.

Harus diakui topik agama masih sering muncul bahkan sampai dengan saat ini, setelah kita merdeka selama73 tahun. Bahkan kadang topik agama bisa membuat suasana kita bernegara menjadi menghangat. Tetapi jika kita semua mau meneladani para pendiri bangsa dan berpegang kepada Pancasila sebagai dasar negara, maka persoalan agama ini tidak akan meruntuhkan kita sebagai bangsa.

Selain dari paparan detail rapat-rapat BPUK dan PPKI, rapat-rapat tidak resmi serta lobi-lobi yang digambarkan dengan suasananya, buku ini memberi kita bonus tentang riwayat singkat para pendiri bangsa yang terlibat dalam BPUP dan PPKI. Riwayat singkat ini membantu kita memahami mengapa mereka berpendapat seperti yang mereka sampaikan di dalam rapat-rapat dan diskusi-diskusi. Latar belakang para pendiri ini ternyata beragam baik dari sisi suku, keyakinan, aliran politik dan latar belakang keluarga dan kariernya.

Jadi, Indonesia memang lahir dari para pendiri yang bhineka.

 

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB