x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Suara Hati Sang Perempuan Tionghoa

Pandangan tentang hidup dari dua perempuan Tionghoa yang berlatar belakang keluarga yang berbeda dalam sebuah nivel.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Pecinan – Suara Hati Sang Perrmpuan Tionghoa

Penulis: Ratna Indraswari Ibrahim

Tahun Terbit: 2011

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Laksana

Tebal: 246

ISBN:  978-602-978-715-3


Lely dan Anggraeni dibesarkan di kota yang sama. Malang. Mereka seumur dan saling kenal dan berteman. Keduanya adalah gadis Tionghoa. Meski keduanya adalah gadis Tionghoa, tetapi mereka dibesarkan dengan cara yang berbeda. Lely dibesarkan dalam tradisi Tionghoa totok yang kurang menghargai anak perempuan. Sementara Angraeni dibesarkan oleh orangtua yang berpendidikan, bekerja sebagai dokter gigi dan aktif dalam politik. Orangtua Lely adalah imigran dari Tiongkok yang baru datang ke Malang. Sementara salah satu buyut Anggraeni adalah seorang Jawa – prajurit Diponegoro yang melarikan diri dari Jawa Tengah ke Malang. Perbedaan lainnya, Lily hanya menyelesaikan pendidikan sampai SMP, sementara Anggraeni sedang menyelesaikan disertasi doktoralnya.

Saat kecil mereka dibesarkan dalam lingkungan yang sama. Mereka sempat bermain bersama meski tidak terlalu akrab. Setelah terpisah beberapa tahun, Lely dan Anggraeni bertemu lagi saat keduanya sudah menikah dan memiliki keluarga. Lely tidak bahagia karena mempunyai konflik dengan suami yang dicintainya. Sementara rumah tanggal Anggraeni biasa-biasa saja. Lely datang kepada Anggraeni untuk minta bantuan menulis biografinya. Sementara Anggraeni merefleksikan hidupnya yang datar kepada kisah hidup Lely yang sukses tetapi penuh warna.

Sebagai anak yang dibesarkan di keluarga Tionghoa totok yang kurang menghargai anak perempuan, Lely akhirnya kabur dari rumah. Ia berusaha untuk bekerja menghidupi dirinya sendiri. Ia nekat menikah dengan pemuda bernama Gunaldi meski tidak disetujui oleh orangtuanya. Ayahnya bahkan memasang iklan memutuskan hubungan keluarga dengannya. Usahanya yang gigih membuat Lely berhasil menjadi seorang pengusaha sukses bersama suaminya. Sayangnya Lely tidak dikaruniai anak laki-laki. Akibatnya suaminya menyeleweng dan mendapatkan seorang anak laki-laki dari salah satu pegawainya. Lely yang menghargai kesetiaan sebagai salah satu nilai luhur perempuan Tionghoa merasa tertekan karena dikhianati. Kemarahannya meledak, tetapi ia tidak bisa menyampaikan ke suaminya karena nilai yang dianutnya. Perempuan harus menghargai suami. Itulah sebabnya Lely mencari psikolog untuk membantunya. Ia juga meminta Anggraeni teman masa kecilnya untuk membantunya menulis biografinya.

Anggraeni dibesarkan dalam keluarga Tionghoa babah. Yaitu Tionghoa yang sudah bergenerasi tinggal di Indonesia. Ayahnya adalah seorang aktifis partai politik dan berpandangan keindonesiaan. Meski demikian, saat terjadi kerusuhan 1965, ayah Anggraeni memutuskan untuk pindah ke Jakarta. Dan, ketika peristiwa 1998, kedua adik laki-laki Anggraeni pindah ke luar Indonesia.

Anggraeni menikah dengan Rahman teman sekampungnya dari Malang. Rahman adalah anak Pak Saleh seorang aktifis partai politik teman ayahnya. Mereka hidup damai. Rahman menjadi psikolog dan Anggraeni menjadi dosen.

Novel karya Ratna Indraswari ini berkisah tentang Lely dan Anggraeni – dua gadis Tionghoa, yang mempunyai berbagai perbedaan pandang. Lely yang dibesarkan dalam keluarga Tionghoa totok berorientasi untuk bekerja dan bekerja. Keberhasilannya adalah jika ia sukses dalam pekerjaan. Sedangkan Anggraeni yang dibesarkan dalam keluarga Tionghoa babah cenderung untuk hidup mapan.

Pergumulan Anggraeni terjadi karena ia merenungkan ia tidak cukup mandiri secara ekonomi dibanding dengan Lely. Usulannya untuk membuka usaha tidak ditanggapi oleh Rahman suaminya. Ia juga sangat terkejut dengan pilihan anak perempuannya yang mau serius berpacaran, padahal umurnya baru 20 tahun. Anaknya memilih untuk mandiri dan membuka usaha, seperti layaknya anak seorang Tionghoa. Anggraeni terkejut dan takut dengan pilihan anaknya ini.

Ia juga menjadi marah melihat Lely yang terlalu lemah kepada suaminya. Ia mendukung Lely jika seandainya Lely mau bercerai. Bahkan dia menganjurkannya. Sebab cerai adalah pilihan rasional jika hubungan suami istri sudah saling berkhianat. Ia marah saat Lely memutuskan berkonsultasi dengan paranormal karena sudah tidak mau lagi berkonsultasi dengan dokter dan psikolog. Namun melalui konsultasi dengan paranormal ini akhirnya hubungan Lely dengan suaminya bisa diselesaikan.

Sementara itu Anggraeni mengalami gegar nilai. Ia mulai mencari akar identitasnya. Apakah ia mewarisi nilai-nilai tionghoa? Atau dia mewarisi nilai-nilai prajurit Diponegoro? Apakah ia siap jika anak perempuannya lebih memilih hidup dengan nilai-nilai Tionghoa? Apakah pilihannya menikah dengan Rahman dan hidup galipnya seorang priyayi Jawa itu pilihan yang tepat?

Ah...memang benar bahwa Tionghoa di Indonesia itu beragam. Demikian pula dengan perempuannya.

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler