x

Iklan

Yugha Erlangga

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Adonara, Kaimana, dan Wajah Teduh Indonesia

Perjalanan melawan perbedaan, memang sama jauhnya dengan sejarah saling membenci antarumat manusia itu sendiri. Bangsa kita memiliki potensi untuk melawan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Piala itu terpajang rapi di lemari kaca ruang guru pesantren Ikhwatul Mukminin, Desa Adonara, Kecamatan Adonara, Flores Timur, Nusatenggara Timur, Agustus 2013. Ada tulisan menarik di piala itu: Piala Bergilir Bola Voli Putri. Piala itu terasa istimewa karena bertepatan dengan perayaan hari jadi Paroki Santa Tarcisius di Desa Sagu, wilayah tetangga Desa Adonara.

“Lombanya diadakan di gereja tapi peserta dan pemenangnya memakai jilbab,” seloroh Arifudin Anwar, kini 56 tahun, pendiri sekaligus pesantren itu. Hubungan antara dua komunitas agama terbesar, Islam dan Katolik, di Pulau Adonara terbilang harmonis. “Kami jaga betul (kerukunan) itu,” ujar Arifudin. Bagi Arifudin, yang juga lulusan Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah, tak hanya kebanggaan atas menangnya anak didik namun juga keharmonisan antarkomunitas yang terjaga.

Arifudin adalah anomali. Menyandang predikat sebagai lulusan Al-Mukmin jelas tidak mudah bagi Arifudin. Al-Mukmin yang didirikan Abu Bakar Ba’asyir dan Abdullah Sungkar pada 1972 itu adalah lembaga pendidikan yang disorot pemerintah karena dianggap menyebarkan radikalisme Islam. Abu Bakar Ba’asyir, bahkan dituduh sebagai pucuk Jemaah Islamiyah, sebuah kelompok militan Islam yang memiliki benang merah dengan al-Qaeda, dan kini mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Lulus dari Ngruki pada 1986, Arifudin sempat mengajar di pesantren tersebut. Selepas mengajar di Ngruki, Arifudin menjalani tugas dakwah di Kampung Arab, Bima, Nusatenggara Barat. Dua tahun berdakwah di Bima, Arifudin kembali ke Adonara, kampung halamannya. Sikapnya yang luwes menghapus momok Arifudin sebagai lulusan pesantren Ngruki. Pada 1998, Arifudin bersama beberapa kawannya mendirikan Pesantren Al-Mukmin. Bahkan, “Suatu kali saya pernah diundang untuk mengisi ceramah di tengah-tengah komunitas gereja Katolik,” kenangnya. Arifudin adalah purnarupa kerukunan Indonesia.

Arifudin di Adonara, sama halnya dengan kisah di Kaimana, Papua. Ada sebuah falsafah yang dikenal dengan “Satu Tungku Tiga Batu”, nilai-nilai adat yang dilukiskan sebagai sebuah tungku, ditopang oleh tiga batu yang menggambarkan tiga agama yang dianut oleh masyarakat asli Papua: Protestan, Katolik, dan Islam.

Pemandangan kebersamaan dan kerukunan di Papua dapat dilihat ketika datang hari besar agama di sana. Lebaran atau Idul Fitri di Papua bukan semata milik umat Muslim. Masyarakat Papua yang mayoritas Kristen juga larut dalam kegembiraan saudara-saudara Muslimnya. Mereka akan berkunjung ke saudara, tetangga, dan kerabat Muslimnya.

Pusat perbelanjaan menjelang Lebaran juga dipadati oleh Umat Kristiani. Mereka juga menganggap Lebaran bagian dari kebahagiaan. Saat Natal tiba, umat Muslim juga menyambutnya dengan bahagia karena bisa bersilaturahmi dengan saudara-saudaranya umat Kristiani. Jika bertamu ke rumah saudara mereka yang beragama Kristen, umat Islam tidak perlu khawatir dengan makanan yang tersaji. Dijamin halal! Tuan rumah akan menyajikan makanan halal khusus untuk tamu Muslimnya.

Tradisi menarik juga dapat ditemukan di Kabupaten Kaimana. Umat Kristiani di Kaimana biasa menyediakan seperangkat alat makan seperti piring, mangkuk, kuali, sendok, juga garpu. Perangkat makan itu biasa mereka tempatkan di atap rumah tradisional mereka. Jika saudara muslim mereka datang, baru seluruh perangkat makan khusus itu dipakai untuk menyajikan makanan kepada tamu istimewa tersebut.

                                        ***

Kisah Arifudin dan cerita dari Kaimana adalah inspirasi toleransi dan saling menghargai di negeri ini. Meski catatan-catatan kelam masih melekat dalam memori kolektif bangsa ini seperti Konflik Ambon dan Poso, diskriminasi pada kelompok Ahmadiyah, Syiah, dan golongan minoritas lain dalam menjalankan ibadahnya, Indonesia sesungguhnya punya modal kuat untuk lebih mengutamakan persatuan di atas perbedaan. Tak mudah. Karena itu, “Di mana, di atas segalanya, hak asasi manusia itu dimulai? Ia dimulai dari sebuah tempat sederhana, dekat rumah kita. Tempat di mana pria, wanita, serta anak-anak mendapat perlakuan sama, kesempatan sama, kehormatan sama, tanpa diskriminasi,” tulis Eleanor Roosevelt, aktivis, kolumnis sekaligus istri dari Presiden Amerika Serikat ke-32, Franklin Delano Roosevelt.

Perjalanan melawan perbedaan, memang sama jauhnya dengan sejarah saling membenci antarumat manusia itu sendiri. Amerika punya cerita. Meski para Founding Fathers mendeklarasikan kemerdekaan Amerika Serikat pada 4 Juli tahun 1776, nyatanya butir-butir luhur yang termaktub dalam kertas berukuran 24 x 30 inci dan ditandatangani 56 delegasi itu masih perlu diperjuangkan. Perang Sipil Amerika Serikat selama empat tahun antara 1861-1865, adalah bukti bahwa menciptakan kesetaraan dan humanisme masih jauh dari kata sepakat di antara sesama warga Amerika sendiri saat itu. Negara-negara bagian yang menolak penghapusan perbudakan (Konfederasi) menyatakan ingin melepaskan diri. Meski sejarah mencatat kekalahan pihak Konfederasi, namun Amerika Serikat harus kehilangan Presiden Abraham Lincoln, seorang pejuang hak asasi manusia, yang ditembak dari jarak dekat oleh simpatisan Konfederasi yang juga seorang aktor, John Wilkes Booth pada 14 April 1865.  

Lepas dari Perang Sipil, benih-benih kebencian itu tak lantas hilang. Peristiwa kematian tiga aktivis hak asasi manusia, James Chaney, Andrew Goodman, Michael Schwerner, di Mississippi pada 1964, adalah sinyal bahwa diskriminasi adalah bom waktu yang bisa meledak kapan dan di mana saja.  Tak jauh setelah peristiwa di Mississippi, pada 1967 terjadi peristiwa serupa, yang lebih dikenal dengan Algiers Motel Incidents di Detroit.  Tiga pemuda kulit hitam tewas dianiaya oknum aparat dalam peristiwa itu. Diskriminasi masih terjadi, sekalipun seorang keturunan kulit hitam bernama Barack Obama menduduki posisi Presiden Amerika Serikat ke-44 selama dua periode. Amerika Serikat adalah rumah besar yang dihuni oleh keberagaman ras, agama, dan pandangan politik yang rentan bergesekan dan meledak.

Indonesia adalah rumah besar yang sama dengan Amerika Serikat. Berbeda dengan Sumpah Palapa, di mana tekad Sang Mahapatih Gajah Mada hendak menyatukan Nusantara dilakukan dengan ekspansi, pengakuan, atau penaklukan oleh Kerajaan Majapahit. Maka Indonesia dibangun di atas sebuah kesepakatan bersama dari mereka yang senasib sepenanggungan digilas Kolonialisme. Ada saling pengertian untuk hidup bersama di sana: berbeda-beda tapi tetap satu tujuan.

Ketika kolonialisme berakhir, maka rumah besar Indonesia harus menjaga komitmennya untuk berbeda-beda tapi tetap satu tujuan. Rumah besar kembali diuji oleh manusia-manusia kerdil dengan kepentingan-kepentingan picik di tahun politik. Bagaimana menjaga keutuhan Indonesia? Sederhana. Mulailah dari diri sendiri. Seperti kata Gus Dur, “Tidak penting apa pun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesautu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu.” Pelajaran sederhana ini yang mulai langka di sekitar kita.

 sumber foto: taman toleransi oleh m4b3I 

 

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Yugha Erlangga lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu