x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Debat Capres, bukan Debat Kusir

Mudah-mudahan saja, debat capres tidak mengarah debat kusir. Debat kusir membuat banyak orang tersesat jalan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Rakyat Indonesia menunggu momen penting dalam rangkaian pemilihan presiden, yakni debat antar calon presiden. Peristiwa yang berlangsung pada Kamis, 17 Januari 2019, ini akan disaksikan jutaan pasang mata melalui jaringan teknologi televisi maupun internet. Artinya, bukan hanya warga yang sedang berada di tanah air saja yang bisa menonton debat kedua pasangan ini, tapi warga Indonesia yang tengah merantau ke negeri orang pun bisa.

Setelah perang kata berlangsung berminggu-minggu melalui ‘jarak jauh’—media cetak, televisi, media sosial, internet, kini kedua calon bisa beradu kata dari jarak kurang dari 10 meter. Tentu saja, nuansa debat jarak jauh dan debat di atas panggung yang ditonton orang secara langsung maupun melalui televisi jelas berbeda. Auranya berlainan sama sekali. Sekalipun keduanya berusaha tampil setenang mungkin di hadapan publik, ketegangan tetap akan menyelinap ke dalam dada masing-masing.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saya sih berharap debat pasangan capres ini akan berlangsung penuh semangat, cerdas dan cerdik, imajinatif dan inspiratif, mencerahkan, serta menghibur. Menghibur itu tidak mudah, sebab diperlukan kecerdasan untuk bisa menghibur. Seorang pelawak yang mampu mengguncang perut penonton, seperti Asmuni Srimulat, adalah seorang yang memiliki kecerdasan yang khas dan unik, sebab guyonannya lahir dari kecerdikan berpikir.

Rakyat niscaya berharap debat capres ini akan memperlihatkan kelasnya—kelas dari orang-orang yang dijagokan untuk memimpin negeri ribuan kepulauan, kelas dari sedikit orang yang merasa dirinya mampu memimpin 250 juta orang lain dan karena itu berani mencalonkan diri jadi capres dan cawapres. Tentu saja, kelasnya bukan sekedar kelas orang-orang yang mengobral janji, tapi kelas orang-orang yang sanggup memegang amanah.

Debat yang menghibur sungguh penting agar debat capres ini tidak bermetamorfosis jadi debat kusir. Apa debat kusir itu? Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan bahwa debat adalah ‘pembahasan dan pertukaran pendapat mengenai suatu hal dengan saling memberi alasan untuk mempertahankan pendapat masing-masing’. Kamus yang sama menerangkan, debat kusir ialah debat yang tidak disertai alasan yang masuk akal.

Entah dari mana kata ‘kusir’ masuk dalam istilah yang memberi kesan buruk itu, sehingga tak mengherankan bila ada kusir (delman) yang merasa tersinggung oleh pemakaian istilah ini. Seolah-olah, kata kusir delman ini, kami para kusir itu tidak punya cukup akal untuk bertukar pikiran. Seolah-olah, kami para kusir ini hanya bisa berdebat tanpa ujung pangkal karena pakekeuh-kekeuh (merasa paling benar, karena itu bertahan dengan pendapatnya tanpa mau mendengar pendapat orang lain).

Kendati para kusir melancarkan protes, toh istilah debat kusir tetap dipakai hingga sekarang. Apa boleh buat. Di televisi sering ditayangkan acara debat di antara orang-orang yang pandangannya diasumsikan berseberangan. Misalnya saja, acara ILC yang dipandu Bung Karni Ilyas. Sayangnya, meskipun yang diundang umumnya orang-orang yang dianggap berpikiran maju dan pandai akal, toh gontok-gontokan kata kerap tidak terhindari. Debat kusir tetap saja terjadi.

Debat kusir tak terhindari ketika masing-masing pihak merasa dirinya paling benar. Bahkan, jika merasa tersudut, para pihak ini berkelit ke sana lalu berkelit ke mari. Mereka sanggup berdebat sampai seperti kehabisan napas. Kalaupun pada satu titik kemudian ia—siapapun orangnya—merasa bahwa ada kebenaran juga pada pendapat lawan bicara, ia merasa sudah kepalang basah membantah habis lawan bicara. Ia merasa malu untuk mengakui kebenaran itu. Sudah terlambat.

Di media sosial, lapangan sosial yang relatif baru bagi kita semua, adalah medan lain tempat debat kusir kerap berlangsung dan mengerikan ungkapan-ungkapannya. Medan debat memang bertambah dengan adanya twitter, facebook, ataupun vlog. Pertarungan ala debat kusir di medsos ini bisa berlangsung hingga jari-jemari menjadi kaku dan susah digerakkan.

Sungguh debat kusir itu (sebaiknya pakar bahasa mencari kata lain yang tidak menyinggung kusir delman) tidak membawa kebaikan bagi siapapun, bukan hanya orang-orang yang saling berdebat, tapi juga yang menonton debat. Debat kusir membuat banyak orang tersesat jalan. Mudah-mudahan saja, debat capres tidak mengarah debat kusir. Saya percaya debat kusir tidak akan terjadi, tapi saya juga tidak sepenuhnya yakin bahwa debat capres ini akan menghibur rakyat. (Debat capres dalam Pilpres 2014, Foto tempo.co)  **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler