x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Sampar

Ketika manusia didorong sampai pada titik absurd dalam hidupnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Sampar

Judul Asli: La Peste

Penulis: Albert Camus

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penterjemah: N H Dini

Tahun Terbit: 2013

Penerbit: Yayasan Pustaka Obor Indonesia

Tebal: x + 386

ISBN: 978-979-461-582-9

 

Sampar atau judul asli dalam Bahasa Perancis adalah La Peste adalah karya Albert Camus yang diapresiasi banyak pihak. La Peste mengantarkan Camus mendapatkan hadiah Nobel Sastra pada tahun 1957. Harus diakui novel ini begitu mendalam mempertanyakan eksistensi manusia. Camus menggunakan sampar untuk mendorong manusia sampai kepada pojok dimana ia tak bisa menghindar dari eksistensinya. Camus menggunakan sampar untuk mendorong manusia sampai kepada pemahaman absurditas. Keterasingan. Keterpencilan. Kesia-siaan. Hukuman dari kejahatan yang tidak pernah diketahui.

Pada posisi ketelanjangan tersebutlah manusia menemukan eksistensinya yang absurd. Namun bagaimanapun manusia harus menjalani hidupnya yang absurd. Manusia tidak bisa menolak. Manusia tidak bisa melarikan diri kepada tuhan. Manusia pun tidak bisa melarikan diri dengan cara bunuh diri. Camus mengutip kejadian “bunuh diri” melalui sampar, yaitu orang-orang yang ingin masuk ke sorga secara segera dengan cara bergulung-gulung di bekas selimut atau sprei penyandang sampar yang mati. Camus juga tidak menganjurkan manusia menjadi pahlawan.

Dari mana ide Camus memilih wabah sampar sebagai bahan novelnya? Camus punya data tentang sampar (hitam) yang pernah menyerang Eropa dan Afrika Utara pada masa Paus Clemen VI. Ia juga pasti membaca kisah sampar yang melanda Italia di jaman Raja Umberto. Camus juga mengutip kisah Allah yang menulahi Firaun dari Kitab Keluaran. Sebagai seorang yang dilahirkan di Aljazair (Afrika Utara) tentu Camus mengenal kisah wabah yang tak terkendali ini. Sebab Aljazair juga pernah dilanda wabah ini. Pastilah ia melakukan riset mendalam tentang sampar sebelum menulis novel ini. Camus pasti sangat terkesan bagaimana penyakit ini bisa meluluh-lantakkan komunitas manusia. Camus pasti terkesan dengan ganasnya penyakit ini sehingga disebut sebagai tulah. Bahkan disebut sebagai alat Tuhan untuk menghukum manusia yang telah menjadi sombong. Namun Camus tidak mengulang pendapat para penulis sebelumnya. Ia menggunakan sampar untuk keperluan lain. Ia menggunakan sampar untuk menunjukkan ketidak-berdayaan manusia. Di dalam ketak-berdayaan itulah manusia harus hidup.

Novel diawali dengan paparan tentang Kota Oran. Sebuah kota yang penduduknya hanya peduli kepada kegiatan mencari uang. Masyarakat Kota Oran tidak terlalu menikmati hidup melalui hiburan. Pekerjaan mencari uang adalah hiburan utama warga kota ini. Di kota yang membosankan inilah wabah sampar terjadi. Mula-mula terjadi wabah tikus mati. Tikus yang ada di got, di gudang, di rumah penduduk, di kantor, di kereta api dan bahkan di restoran satu per satu mati. Kematian para tikus ini menggemparkan kota. Media lokal begitu getol memberitakannya. Setelah para tikus mati disusul dengan kematian manusia. Semakin hari semakin banyak jumlah manusia yang mati, sampai akhirnya kota ditutup karena dianggap terserang wabah sampar.

Penutupan kota yang dimaksudkan untuk mencegah penularan yang lebih luas ke luar kota, menyebabkan terisolasinya masyarakat Oran. Isolasi adalah masalah besar bagi manusia yang sudah terbiasa bersosialisasi. Penutupan kota yang tiba-tiba menyebabkan banyak warga kota yang terpisah dari keluarganya. Camus menggambarkan: “Manusia-manusia yang terikat oleh daya kecerdasan, rasa kasih sayang ataupun cinta fisik, turun derajatnya menjadi orang-orang yang mencari tanda-tanda hubungan masa lalu mereka di dalam huruf-huruf besar: telegram yang terdiri dari sepuluh kata.” Betapa mengerikannya upaya manusia untuk bersosialisasi dengan manusia lain yang dicintainya saat dia terisolasi.

Camus menggambarkan kondisi psikologis penghuni Kota Oran di awal penutupan kota sampai dengan saat akhir wabah sampar dengan sangat mencekam. Mula-mula orang-orang lebih peduli kepada kepentingan pribadi daripada persoalan wabah yang mengancam mereka. Penutupan kota membuat mereka marah karena kebebasan pribadinya terganggu. Mereka tidak bisa melihat masalah yang lebih besar. Sampai akhirnya mereka dikalahkan oleh wabah tersebut. Pelan-pelan wabah mengambil kebebasan warga Oran. Mula-mula hubungan antar sahabat atau keluarga. Kemudian barang-barang yang dibutuhkan, seperti bensin dan makanan. Kemudian pekerjaan dan kesibukan yang membuat manusia merasa punya arti. Bahkan wabah telah menang terhadap koneksi yang biasanya dipakai oleh manusia untuk keluar dari situasi gawat. Wabah telah menggerus habis kepentingan-kepentingan pribadi. Wabah telah menggerus kemanusiaan manusia. Wabah tak memberi pilihan kepada manusia untuk tetap bersama dengan orang-orang yang dicintainya. Hanya ada dua hal yang akan terjadi jika si sampar menghinggapi orang yang dicintai. Ia keluar dalam keadaan sembuh, atau ia keluar dalam kondisi mati. Bahkan saat mati, mereka tidak lagi dihargai sebagai mayat manusia yang perlu diperlakukan secara khusus. Mayat-mayat telah menjadi barang yang harus segera dikubur tanpa upacara. Mayat-mayat telah menjadi barang yang tidak perlu ada identitasnya saat menghuni lubang-lubang yang dipakai bersama-sama. Dan. Akhirnya ketika yang mati lebih banyak daripada kemampuan mereka yang menguburnya, mayat-mayat tersebut terpaksan dibakar. Namun di situasi keterpencilan itulah manusia bertindak untuk menjalani eksistensinya.

Dalam kondisi kesepian, kesendirian, tersiksa oleh cinta yang terpisahkan membuat manusia bertindak. Mula-mula manusia marah terhadap nasipnya. Kemudian manusia berusaha menghindar dari nasip tersebut. Pada tahap berikutnya manusia menjadi skeptik dan tidak peduli. Namun akhirnya manusia harus bertindak setelah memahami absurditasnya. Tokoh-tokoh dalam novel ini dipakai oleh Camus untuk menjelaskan tentang berbagai alasan yang menjadi landasan manusia untuk bertindak. Tokoh-tokoh dalam novel ini adalah dr. Rieux, wartawan Raymond Rambert, pelancong Jean Terrau, pegawai Balai Kota Joseph Grand, Pastur Paneloux dan Cottard. Masing-masing tokoh menggambarkan alasan mengapa mereka bertindak dalam keterpencilannya.

Dokter Rieux adalah seorang dokter yang tinggal di oran. Ia baru saja berpisah dengan istrinya karena istrinya harus mendapatkan tindakan medis di luar Oran, ketika wabah sampar mulai melanda. Ia menyadari bahwa kotanya telah terjangkiti wabah sampar. Isolasi total kota terhadap dunia luar adalah upaya yang harus dilakukan supaya wabah sampar tidak meluas. Mula-mula ia melakukan pemeriksaan biasa. Namun ketika sampar mewabah, ia harus berhadapan dengan keluarga-keluarga yang tak rela anggotanya yang terkena sampar dibawa keluar apartemen. Dr. Rieux terpaksa harus bekerja sama dengan polisi dan bahkan tantara untuk bisa membawa pasiennya dari ruang keluarga. Raungan tangis keputus-asaan ibu-ibu yang melihat anggota keluarganya terkena sampar menjadi hal yang biasa bagi Rieux. Ia tak lagi bisa merasakan derita ibu yang kehilangan harapan. Sampar membuatnya dari seorang dokter yang penuh perhatian kepada pasiennya – bahkan kepada keluarganya, menjadi orang yang masa bodoh terhadap jeritan putus asa anggota keluarga sang sakit. Kini ia menjadi orang yang masa bodoh. Ia hanya peduli kepada angka-angka yang menunjukkan betapa ganas sang sampar dan mereka yang menunjukkan gejala-gejala sampar yang harus disingkirkannya dari mereka yang sehat. Dengan cara masa bodoh itulah dr. Rieux bisa tetap mengerjakan tugasnya sebagai dokter. Sebab rasa kasihan yang tidak ada gunanya itu harus dibuang, supaya ia bisa bertahan sebagai seorang tenaga medis. Ia bertindak karena memang harus bertindak. Karena dia dokter makai a harus memenuhi tugasnya sebagai dokter. Kejujuran adalah landasan ia bertindak.

Raymond Rambert adalah salah satu orang luar yang terjebak di kota Oran saat wabah mengganas. Rambert adalah seorang wartawan. Saat ia berkunjung ke Oran untuk meliput kota, ia tak bisa keluar karena kota diisolasi karena wabah sampar. Ia sangat mencintai istrinya yang ada di Paris. Itulah sebabnya ia berupaya dengan berbagai cara untuk keluar dari Kota Oran supaya bisa menjumpai istrinya. Mula-mula ia mencoba menggunakan koneksi pejabat untuk bisa keluar. Upaya ini gagal. Selanjutnya ia menggunakan jasa Garcia, seorang agen yang katanya bisa menyelundupkannya keluar dari Oran. Perkenalannya dengan Garcia difasilitasi oleh Cottard. Rambert bertindak didasari rasa cinta dan kerinduan kepada yang dicintainya. Namun tindakan yang didasarkan kepada rasa cinta tidak berguna dalam absurditas manusia. Cinta memerlukan keyakinan akan masa depan. Sedangkan manusia tidak memiliki masa depan, seperti halnya Rambert yang disandera oleh sampar. Maka, ketika upayanya meninggalkan Oran semakin tidak pasti, ia bergabung dengan dr. Rieux dan Tarrou sebagai sukarelawan. Bahkan ketika ia berkesempatan untuk meninggalkan Oran, ia memutuskan untuk tinggal. Ia menyadari absurditasnya dan memilih untuk bersama dengan manusia-manusia yang tersandera.

Jean Tarrou adalah seorang pelancong di Oran. Tidak ada yang mengetahui apa tujuan Tarrou berkunjung ke Oran. Jean Tarrou menulis apa saja yang disaksikannya di Kota Oran dalam buku hariannya. Ia mencatat kelakuan orang-orang, ciri khas tempat-tempat dan sebagainya. Sepertinya Tarrou menjalani hidup untuk kenikmatannya sendiri. Kenikmatannya mengamati sebuah kota dan penduduknya menjadi semakin membosankan ketika kota Oran diisolasi. Di tengah kebosanan dalam keterasingan karena tanpa bisa keluar dari kota yang diisolasi tersebut akhirnya ia memilih untuk menjadi sukarelawan. Ia menjadi mitra dr. Rieux untuk mengatasi masalah sampar. Ia mengorganisir gerakan penyuluhan di daerah-daerah padat. Kelompoknya juga membantu masyarakat untuk melakukan pembersihan lingkungan, penyemprotan dengan anti kuman dan sebagainya. Bahkan mereka membantu mengangkut orang-orang yang terkena sampar supaya diisolasi di rumah sakit. Tindakan Tarrou didasarkan akan kesadaran bahwa ia dan seluruh warga kota mengalami kebosanan dan keterasingan yang sama. Maka yang perlu dilakukan adalah membantu sesama untuk terhindar dari kematian.

Joseph Grand adalah seorang pegawai rendahan Balai Kota. Ia membantu dr. Rieux dalam menangani masyarakat Kota Oran yang terisolasi. Ia orang yang kurang bisa berjuang untuk dirinya sendiri. Itulah sebabnya ia ditinggalkan oleh istri yang dinikahinya di kampungnya. Meski Grand adalah pegawai rendahan namun ia mempunyai hobi menulis. Salah satu mimpinya adalah menyerahkan naskah sastra kepada penerbit. Hobi menulisnya membuat Grand bisa melarikan diri dari kesumpekan yang ditimbulkan oleh sampar. Pada saat wartawan Tarrou membentuk tim sukarelawan, Grand bergabung untuk menjadi juru tulis. Hobi memang seakan bisa menjadi alasan untuk tetap hidup dalam kesepian. Ia terus bekerja untuk menggapai pengakuan dari pihak lain tentang keberhasilannya dalam cita-cita yang absurd.

Cottard tertolong dari upaya bunuh dirinya. Dia bunuh diri karena ingin menghindari hukuman yang harus diterimanya. Cottard takut menghadapi keterasingan dalam penjara. Namun saat sampar melanda Oran, dimana semua orang akhirnya menjadi terasingkan, ia merasa bahwa ia terselamatkan dari hukuman keterasingan. Jika banyak orang ingin meninggalkan Oran, Cottard malah memilih untuk tetap tinggal di Oran. Ia menjadi makelar penyelundupan barang-barang dari luar ke Oran. Ia juga jadi makelar bagi orang-orang Oran yang ingin meninggalkan kota. Salah satu yang dibantunya adalah Rambert sang wartawan. Cottard bertindak karena menyadari bahwa semua orang mengalami nasip yang sama, yaitu ketakutan akan keterasingan. Ia menjadi bahagia karena dia telah mengalaminya sebelumnya, dan kini terbebaskan saat manusia lain mengalami keterasingan karena sampar. Kesadaran akan kesamaan nasip membuat ia bisa menjalani hidupnya dengan bahagia.

Pastor Paneloux mula-mula memaknai wabah sampar sebagai peringatan cinta Tuhan kepada manusia. Namun Paneloux tidak hanya berkotbah. Ia juga bergabung sebagai sukarelawan. Ia bekerja bersama dr. Rieux dan Tarrou untuk melayani masyarakat yang sedang dilanda wabah tersebut. Pastor akhirnya menyadari bahwa cinta kepada Tuhan atau tidak, manusia bisa bekerjasama untuk melawan penyakit dan kematian. Bahkan Tuhan tidak bisa memisahkan manusia yang bekerjasama untuk memerangi penyakit dan kematian.

Di bagian akhir novel Camus menekankan bahwa kehidupan manusia memang sungguh absurd. Saat kebebasan sudah diambang pintu, ternyata nasip tidak pandang bulu. Saat waktu untuk bertemu kembali tiba, ternyata istri dr. Rieux meninggal. Saat sampar mulai pergi, ternyata mengajak Tarrou bersamanya. Tarrou mati terkena sampar. Saat kebebasan menjelang, Cottard tidak berani menghadapinya. Ia terbebani dosa masa lalunya. Ia menjadi gila dan mati dalam baku tembak dengan polisi. Hanya Grand yang melanjutkan hidup saat kebebasan Kota Oran kembali. Namun apa gunanya kebebasan bagi Grant? Ia toh tetap menjalankan hobinya yang sederhana tanpa halangan saat dalam keterasingan.

 

N H Dini menyampaikan bahwa Sampar sebenarnya adalah cara penggambaran Camus terhadap kondisi Perancis yang diserang Jerman. Memang dalam novel ini Camus menyamakan wabah penyakit dengan peperangan. Dalam kedua tragedi ini manusia tidak bisa mempersiapkan diri. Keduanya datang tiba-tiba. Saat wabah atau perang melanda, mereka yang mati menjadi sia-sia. Sebab kematian menyebabkan eksistensinya menjadi tidak ada lagi. Tidak ada yang merawat dan memperhatikan siapa si mayat tersebut saat masih hidup. Mereka hanya menjadi angka statistik yang melayang-layang dan kemudian hilang. Korban wabah dan perang hanya disebut jumlahnya, tetapi tidak disebut siapa-siapa mereka yang menjadi korban tersebut.

Benarkah? Atau memang Camus hanya ingin mengungkapkan pandangannya tentang absurditas manusia?

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler