x

Iklan

Venta Pertiwi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Iblis-Iblis Capres, Novel untuk Kaum Golput?

Novel ekperimen seorang pengagum Tan Malaka. Kaya dari sisi pendalaman dan penyajian renungan pengarangnya atas kacau-balau politik hari ini.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Hanya Tuhan yang Mahatahu, dan saya pesimis Dia mau berpihak pada iblis-iblis pemerintah.” (Hal 106)

Iblis-Iblis Capres memang novel politik. Sumbernya kentara benar digali dari pengalaman dan kejadian politik terakhir di Indonesia. Mujur, novel ini tidak jatuh jadi propaganda. Isu-isu politik disusun dan dihaturkan secara halus lalu dikawinkan dengan mitologi 72 Iblis Segel Solomon. Proses terakhir adalah mengemasnya dalam gaya hidup kaum urban ibu kota. 

Imajinasi dan fantasi itu lalu menjelma semesta bernama Kalbusia di mana setiap pembaca punya hak untuk menafsirkan pelbagai kecenderungan manusia sebagai mahluk politik, dan sekaligus reaksi serta penyikapan insan-insan politik itu dalam menghadapi situasi-situasi terjepit.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Hendri Teja mengisahkan bagaimana usaha politisi menyintas dari zaman ke zaman. Juga bagaimana penguasa mempertahankan status quo. Tentu ada cara-cara yang bijak dan beradab, tapi di tengah-tengah situasi yang permisif akibat bujuk rayu iblis maka stategi dan taktik keji kerap kali serasa jadi hak.

Makanya tirani, kezaliman dan kesewenang-wenangan yang ditopang kabar bohong, tahyul sampai pengkultusan individu menjadi marak, termasuk dalam konteks Indonesia hari ini. Tragisnya, publik yang sehari-hari dicekoki citra-citra palsu itu bersorak riuh-rendah.

“Musa datang untuk membenahi kerusakan akhlak ini. Dan Musa mesti berkali-kali tersungkur sebab dia coba mempersembahkan cahaya kebenaran yang serbaasing bagi kaum yang terlanjur mengakrabi kegelapan.” hal. 162

Novel ini menceritakan tim strategi politik bernama Wiski7. Nama-nama anggotanya jelas meminjam nama-nama mahluk halus khas bumi Nusantara, seperti Lampir, Gepeng, Jiangshi, Suwanggi dan Pokpok. Mereka berbeda dari sisi umur, sifat, watak. Juga kosok-balik dari sisi pengalaman, kompetensi dan latar belakang pembentukan pribadinya.

Tapi di bawah kepemimpinan Dantalion, Iblis Segel Solomon no. 71, mereka punya satu ambisi, yaitu membuat Jakeem Wyman terpilih kembali sebagai Presiden Kalbusia untuk periode kedua. Ambisi ini tidak berjalan lancer sebab Penrod Sigra pesaing terkuat Jakeem juga didukung oleh Valak yang juga merupakan anggota Iblis Segel Solomon.

Seperti apa negeri Kalbusia tempat iblis-iblis ini wara-wiri? Teja menulisnya dalam sebuah sindiran.

“Kalbusia? Satu negeri yang sudah bisa bikin pesawat terbang, tapi tetap menyangka mobil impor lebih keren.” (Hal 125)

Tidak ada sihir macam Harry Potter di sini. Tindak tanduk Dantalion dan Valak dirumuskan bak konsultan politik kawakan. Bahkan akses mereka kepada dunia manusia cuma bisikan-bisikan jahat di telinga para Inang. Terkadang, mereka juga mesti bernegosiasi dengan tim-tim iblis lain untuk mencapai tujuannya.

Dantalion sendiri digambarkan sebagai iblis jadul dan gagap karena ketertinggalan tiga millennium riwayat peradaban bani Adam. Dia punya karakter kaum urban, hobi pergi ke coffee shop, tapi tidak pernah bisa meneguk kopi tanpa mengernyit.

Pada pertengah novel, ketegangan dan konflik baru memuncak dan bersamaan dengan itu masalah politik yang hendak ditampilkan semakin terasa. Tapi, novel ini bukan cuma memamerkan konflik sesama iblis. Sarat pula intrik-intik politisi manusia baik yang standar, maupun yang dituntaskan secara absur.

“Aku membaca orang-orang perasa, mereka yang siap mengobarkan pergolakan-pergolakan besar untuk merebut pulang anak yang diculik pada tujuh puluh tahun silam. Pergolakan-pergolakan yang bertumpu pada rasa insaf kalau keluh-kesah sudah tak memadai, kalau amarah yang kosong bakal dianggap sepi.” (hal. 69)

Pelukisan pengarang mengenai setting, kejadian, perwatakan tokoh dan pembatinannya memukau, meskipun belum lepas dari gaya sastra konvensional sehingga agak kedodoran saat memasukan ragam percakapan milenial dalam dialog para tokoh.

Seperti novel Tan, novel ini belum lepas dari sifat yang terlalu mengajar, terutama di bagian tengah ke akhir. Ini jelas bagian simbolisasi keresahan pengarang terhadap pola kekuasaan di Indonesia, serta harapan dan cita-citanya melawan praktek politik yang tidak beradab.  

Iblis-Iblis Capres jelas merupakan novel ekperimen pengarang. Masalah yang diangkat begitu aktual dan menarik. Dibandingkan dengan seri Tan Malaka, meskipun sama-sama novel politik, Iblis-Iblis Capres punya kelebihan utama. Bukan cuma dari sisi alur, tema, dan penokohan, tapi dalam pendalaman dan penyajian renungan pengarangnya atas realitas kekacau-balauan politik hari ini.

Ikuti tulisan menarik Venta Pertiwi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB