x

Iklan

Tulus Abadi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Tarik Ulur Tarif Ojek Online

Puluhan juta ojek online telah beroperasi menjadi angkutan umum alternatif bagi masyarakat, yang merasa kian dimudahkan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tarik Ulur Tarif Ojek Online

 

Oleh: Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian YLKI

 

Fenomena kendaraan roda dua sebagai sarana angkutan, secara sosiologis sulit dihindari, bahkan sudah menjadi kebutuhan, baik angkutan pribadi dan atau angkutan umum. Padahal, manakala roda dua dijadikan instrumen angkutan, setidaknya mempunyai titik lemah yang amat serius. Pertama, kendaraan roda dua adalah jenis kendaraan bermotor yang tingkat safety-nya paling rendah. Terbukti, lebih dari 70 persen tingkat kecelakaan lalu lintas dengan merenggut korban meninggal, didominasi oleh pengguna roda dua. Saban tahun tidak kurang dari 30 ribu orang Indonesia meninggal dunia karena kecelakaan lalu lintas, dan pengguna sepeda motor menjadi korban masalnya. Kedua, berdasar itulah, secara normatif Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan tidak memasukkan sepeda motor sebagai angkutan umum. Namun fenomena ojeg online (ojol) menjadikan posisi roda dua sebagai angkutan umum kian tak terbantahkan. Fenomena ini kian tak terbendung karena gagalnya pemerintah menyediakan angkutan umum, baik pemerintah pusat dan atau pemerintah daerah.

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kini fenomena ojol telah mengepung seluruh kota di Indonesia. Bahkan ranah perdesaan pun sudah terambah oleh ojol. Puluhan juta ojol telah beroperasi menjadi angkutan umum alternatif bagi masyarakat, yang merasa kian dimudahkan. Masyarakat tinggal klik di telepon pintar miliknya, driver ojol akan nyamperin hingga ke depan rumah. Praktis banget kan? Namun fenomena ini pada akhirnya menimbulkan persoalan baru yang sangat pelik, terutama dari sisi regulasi dan bahkan persoalan sosial ekonomi. Pertama, desakan legalitas ojol adalah angkutan umum, sebagaimana angkutan umum yang sudah ada selama ini. Pada konteks UULAJ, sebagaimana saya sebutkan diatas, ini menjadi benturan normatif cukup serius. Sebab secara tekstual, UULAJ tidak mengakomodir kendaraan roda dua sebagai angkutan umum. Kecuali desakan ini berhasil menjebol regulasi, yakni merevisi UULAJ tadi. Namun, sepertinya pemerintah, dalam ini Ditjen Perhubungan Darat Kemenhub, tidak kehilangan akal. Maka kini Ditjend Perhubungan Darat Kemenhub sedang merampungkan sebuah regulasi, yakni Permenhub tentang Perlindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor Berbasis Aplikasi. Jadi spirit Permenhub ini, jika dilihat judulnya adalah perlindungan dan keselamatan pengguna ojol, bukan mengategorikan sebagai angkutan umum. Dalam Permenhub ini diatur berbagai hal, terutama menyangkut pentarifan ojol, dan jam kerja driver ojol.

 

Hal paling sensitif dalam hal ojol memang persoalan tarif. Selama ini tarif 100 persen ditentukan oleh aplikator, sebagai pengelola dan penyedia aplikasi ojol. Pemerintah tidak/belum intervensi sama sekali, baik masalah pentarifan dan atau operasional ojol. Namun dengan makin masifnya ojol, mau tidak mau pemerintah sebagai regulator harus ikut intervensi, alias ikut mengaturnya, dalam segala hal. Bisnis proses ojol memang unik, di satu sisi driver sebagai pemilik alat produksi (sepeda motor), namun di sisi lain perusahaan aplikatorlah yang menentukan segalanya, termasuk dalam hal tarif. Driver sebagai garda terdepan tidak pernah diajak bicara untuk menentukan berapa biaya operasional yang sebenarnya. Demikian juga tidak pernah melibatkan keterwakilan konsumen, terutama dalam menentukan standar pelayanan yang ditetapkan. Jika hal ini dibiarkan, dalam arti tidak ada keterlibatan pemerintah, memang potensi terjadi pelanggaran, baik pelanggaran kepada hak driver dan atau pelanggaran terhadap hak konsumen.

 

Jika terkait tarif untuk komoditas publik, parameter yang ideal tentunya memperhatikan dua hal, yakni memperhatikan kepentingan konsumen sebagai pengguna, dan juga kepentingan operator sebagai penyedia jasa. Dalam perspektif pengguna, maka juga terdapat dua aspek yang mesti diperhatikan, yakni aspek ability to pay, atau aspek keterjangkauan dan kemampuan membayar konsumen; plus aspek willingness to pay, atau aspek pelayanan. Kedua aspek ini sejatinya berkelindan, tak bisa dipisahkan. Selain itu, tarif juga harus memperhatikan kepentingan operator, jangan sampai tarif terlalu tinggi dan atau terlalu rendah, sehingga keberlanjutan operator bisa terjaga. Tarif yang terlalu tinggi akan melanggar hak konsumen, tetapi tarif terlalu rendah akan mematikan pelaku usaha. Oleh karenanya, desakan driver ojol untuk meminta kenaikan tarif batas atas, secara rasional dan operasional tentunya bisa dimengerti. Namun desakan driver untuk meminta kenaikan tarif batas atas, sepertinya masih berat, karena “dihadang” oleh pihak aplikator. Intinya aplikator tidak setuju atas usulan oleh driver untuk minta kenaikan tarif guna menutup biaya operasional. Mereka, driver ojol, meminta kenaikan tarif per km menjadi Rp 3.200, dari semula Rp 1.200 per km. Pihak aplikator tampak keberatan dengan usulan dari driver ini. Usulan kenaikan tarif yang terlalu tinggi justru dianggap akan mematikan eksistensi driver ojol, karena permintaan konsumen terhadap ojol akan turun. Bahkan pihak perusahaan aplikator pun melakukan sebuah survei, bahwa kenaikan tarif ojol akan menurunkan 72 persen kepeminatan konsumen untuk naik ojol.

 

Tuntutan kenaikan tarif ini bisa disikapi dari berbagai aspek. Jika dari aspek pengguna, tuntutan driver untuk kenaikan tarif batas atas adalah terlalu tinggi. Mereka mengusulkan kenaikan hingga Rp 3200 per km. Usulan kenaikan sebesar itu, dengan asumsi, bahan bakar yang digunakan driver adalah terlalu tinggi. Jika usulan kenaikan yang dipatok sebesar Rp 3200, lalu apa bedanya ojol dengan taksi online? Padahal, dengan besaran seperti itu, jika konsumen menggunakan taksi online, akan lebih banyak mendapatkan fasilitas yang jauh lebih baik dan lebih safety daripada sepeda motor. Oleh karenanya usulan Rp 3200 per km adalah kelewat tinggi. Namun, sikap perusahaan aplikator yang 100 persen menolak usulan driver untuk minta naik tarif, juga sikap yang arogan dan jemawa. Apalagi menurut berbagai analisa, dan juga survei (salah satunya dilakukan oleh INSTRAN), bahwa posisi driver sangat terjepit dan praktiknya cenderung eksploitatif. Cara yang paling ideal ya harus diambil jalan tengah, artinya kenaikan rupiah per km layak dilakukan, tetapi angkanya harus rasional. Tidak memberatkan konsumen sebagai pengguna ojol, tetapi juga tidak terlalu murah, sehingga driver bisa mati kutu karenanya.

 

Untuk memperkuat hal itu, seharusnya Kemenhub mempunyai data dan analisa yang akurat. Misalnya, Kemenhub melakukan survei kepada driver, dan juga survei kepada penggunanya. Selama ini survei yang diinisiasi/didominasi oleh perusahaan aplikator, sekalipun survei tersebut dilakukan oleh universitas ternama, dan atau lembaga riset manapun. Kemenhub harus mengambil alih untuk melakukan survei serupa, demi menemukan formulasi yang pas, yang win win solution, tidak memberatkan pengguna, dan tidak mengeksploitasi hak driver. Dalam bayangan keawaman, persentase tertinggi untuk kenaikan tarif ojol adalah 30-40 persen dari tarif sekarang. Ini pun harus diback up oleh survei Kemenhub, bukan survei oleh aplikator dan atau lembaga pesanan aplikator. Pun usulan kenaikan itu bukan atas usulan feeling driver saja. Angka persentase kenaikan sebesar Rp 3200 per km adalah terlalu tinggi, dan itu berasal dari versi driver ojol. Driver ojol memasukkan BBM jenis pertamaks dalam komponen tarifnya. Dari sisi energi dan lingkungan, adalah hal bagus jika ojol menggunakan pertamaks untuk operasinya, namun siapa yang bisa mengontrolnya? Jangan sampai driver memasukkan komponen pertamaks dalam tarifnya tetapi di lapangan mereka menggunakan bensin jenis premium untuk sepeda motornya. Padahal dampak terhadap tarif, antara pertamaks dengan premium, sangatlah mencolok. Siapa yang bisa mengawasi jika driver konsisten menggunakan BBM pertamaks, dan apa sanksinya jika tidak konsisten?

 

Pada akhirnya, Kemenhub sebagai regulator dalam finalisasi Permenhub tentang ojol jangan terjerembab dalam pengaturan tarif saja. Namun harus terfokus pada sisi safety dan perlindungan pengguna ojol, termasuk drivernya. Karena bagaimanapun ojol bukanlah angkutan umum, dan bukanlah kendaraan yang aman dan nyaman untuk berkendara. Memasukkan unsur asuransi dalam Permenhub tersebut, adalah wajib hukumnya. Perusahaan aplikator tidak boleh jemawa dan keras kepala, yang tak mau diatur. Demi sisi safety dan perlindungan dari berbagai aspek, maka diperlukan harmonisasi regulasi, baik untuk mengatur kondisi kekinian dan atau beberapa langkah ke depan. Mengingat fenomena transportasi berbasis teknologi, smart transportation, tak bisa dihindari. Bahkan merupakan keniscayaan dan mempunyai dimensi yang positif. ***

 

Ikuti tulisan menarik Tulus Abadi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler