x

Iklan

Ketut Budiasa

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pariwisata Halal untuk Bali, Cocokkah ?

Bali adalah icon Pariwisata Budaya. Tentu semua penganut agama berhak mendapat suasana yang sesuai agar mereka dapat menjalankan keyakinannya dengan baik.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 
Lagi rame tentang ide wisata halal untuk Bali. Baiklah, saya ingin sedikit menyampaikan pemikiran saya. Sebagai orang Bali, rasanya saya punya "legal standing" untuk ikut berpendapat. Tentu, pendapat partikelir.
 
Apa sih yang membuat Bali begitu dirindukan? Apa yang membuat Bali begitu unik dan berbeda dari yang lain ? Jujur saja, kalau soal laut, Maldives jelas lebih indah. Urusan gunung, ngarai dan air terjun, Niagara jelas tidak tertandingi. Mungkin yang agak berbeda adalah petak2 sawah dengan terasering yang khas itu. Tapi itu tidak seberapa.
 
Lalu apa ?
Itulah TAKSU.
TAKSU adalah madu yang dihasilkan melalui kehidupan spiritual dan laku sosial sehari2 masyarakat Bali. Di Bali, tidak ada sesuatu yang mati. Di Bali, semua "hidup". Pohon2, batu2, gunung2, laut2, danau2, semua diberi sesajen dan diajak bicara. Ada hari2 spesial untuk membuat sesajen dan persembahan doa bagi semua peralatan dari besi. Ada hari2 spesial untuk membuat sesajen dan doa bagi semua tumbuhan. Di hari itu tumbuhan diberi "pakaian", diajak bicara dan berdoa. Ada hari2 spesial untuk membuat sesajen dan doa bagi semua hewan. Di hari itu hewan diperlakukan seperti manusia ulang tahun, diberi makanan terbaik, diajak bicara dan berdoa. Praktek beragama ini, bila dilihat dari perspektif keyakinan lain, pasti akan disebut musryk. Tapi itulah pengejawantahan konsep Tri Hita Karana, harmoni, keseimbangan hubungan manusia-tuhan, manusia-manusia, dan manusia-alam. Bagi manusia Hindu Bali, itulah esensi persahabatan yang jujur dan setara antara manusia dengan alam, bahkan antara manusia dengan Tuhannya. Karena dalam pandangan filsafat Tuhan yang pantheistik seperti yang dianut ajarah Hindu, manusia bukanlah hamba sahaya dari Tuhan yang bersemayam di langit. manusia dan semua mahluk adalah bagian dariNya : sarvam khalv idam Brahman.  Setahun sekali, saat pergantian tahun Caka yang diperingati sebagai Hari Raya Nyepi (satu2nya hari raya Hindu yang diliburkan), harmoni itu dirayakan dengan keheningan penuh, melalui "Catur Brata Penyepian" (Amati geni, tidak menyalakan api sebagai symbol mengekang hawa nafsu dan ego. Amati Karya, tidak bekerja, untuk memberi istirahat bagi bhuana alit dan bhuana agung. Amati lelungan, tidak bepergian, menghentikan kebisingan dan polusi. Amati lelanguan, tidak bersenang2). Bali gelap gulita, mati suri, selama sehari. Moment terbaik bagi manusia dalam melakukan kontempasi. Tidak hanya dalam hubungan personal dengan sang pencipta, tetapi juga dalam konteks etika dan moral, terkait hubungan antar sesama dan dengan alam.
 
Karena dilakukan konsisten, tulus dan dari lubuk hati terdalam sejak ratusan tahun lalu, maka alampun menangkap getar2 itu dan membalasnya berupa frekuensi harmoni. Frekuensi yang menyebar melalui udara yang kita hirup, daun2 yang kita sentuh, air tempat kita berbasuh. Alam memang bukan benda mati. Alam adalah sesuatu yang hidup. Bagi penekun spiritual, mereka akan memahami ini dengan jernih. Dalam Hindu, zat penyusun tubuh tak ada bedanya dengan zat penyusun alam, disebut Panca Maha Butha. Maka badan disebut bhuana alit (jagat kecil), alam semesta disebut bhuana agung (jagat besar). Karena tersusun atas zat yang sama, maka keduanya sangat mudah saling mempengaruhi, baik dalam hal positif maupun dalam hal negatif. Memangnya zodiak dibuat gothak gathuk ? Tidak. Zodiak adalah salah satu wujud pengaruh alam pada perilaku manusia. Di Bali, dikenal dengan dowasa ayu, hari baik, yang merupakan gabungan beberapa perhitungan wewaran (dwi, tri, catur, panca, sad, sapta dan asta wara). Perhitungannya ribet dan kompleks, tetapi itulah bunga2 dan norma2 hubungan manusia dengan alam. Ketika manusia mengetuk pintu2 alam itu dengan ketulusan, alam membuka dirinya dengan menebarkan frekuensi harmoni. Itulah TAKSUnya Bali.
 
Lalu, dengan kondisi itu, cocokkah label wisata halal untuk Bali ? Kalau sekedar wisata halal, tentu cocok. Saudara2 yang beragama Islam berhak mendapatkan kondisi yang sesuai dengan keyakinan mereka, sebagaimana semua pemeluk agama berhak difasilitasi agar dapat menjalankan keyakinannya dengan benar, baik dari sisi makanan maupun ibadah. Tapi Orang Bali adalah orang terbuka. Tenang saja, di Bali tak ada padanan kata2 "kafir". Kami menyebut umat muslim sebagai "nyama selam", artinya "keluarga islam". Ada kata "keluarga" disana. Bila ada hajatan, kami biasanya menyediakan 3 menu terpisah : umum, vegetarian dan non babi. Ini sudah mentradisi sejak lama. Saya sendiri tidak tahu, siapa yang mengajari orang Bali tentang toleransi. Tapi menurut saya, siapapun leluhur yang mengajarkan itu, dia adalah pengajar terbaik. "Warung muslim" ada dimana-mana, sebaliknya tak akan ditemui "warung Hindu" di Bali. Masjid bertebaran, setiap berjalan 30 menit akan ditemukan setidaknya 1 masjid. Baru kemarin saya membaca berita Pemkab Badung memberi bantuan 3 milyar untuk pembangunan satu masjid di wilayahnya.
 
Lalu ?
Menurut saya, cukupkan pada kondisi dan fasilitas2 itu saja, tidak perlu labelling. Brand Bali sebagai destinasi wisata religi dan wisata budaya, sudah sangat kuat. Bali tidak perlu brand baru. Bali juga tidak serakah ingin merebut semua brand. Bali memiliki keterbatasan daya tampung. Pariwisata budaya membutuhkan space yang cukup agar masyarakat yang melahirkan budaya itu memiliki ruang untuk berkreasi. Banyak daerah lain yang memerlukan brand dan akan cocok antara mahkota dan badannya. Katakanlah NTB, Aceh, atau Puncak. Daerah2 itu tentu butuh pemerataan. Kesanalah energi wisata halal itu sebaiknya diarahkan. Jauh lebih cocok ketimbang memberikan label itu untuk pariwisata Bali yang berfondasikan patung2, bau kemenyan, bunga2 persembahan dan wanita2 berkebaya sexy dengan gebogan di kepala. Lagipula, memaksakan mahkota pariwisata halal kepada Bali, akan berpotensi ditertawakan oleh penduduk lokal sebagai NYONGKOKIN TAIN KEBO. Sesuatu yang tak enak didengar.
 
 
Cibubur, 27 Feb 2019
 

Ikuti tulisan menarik Ketut Budiasa lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu